Jumat, 09 April 2010

WARAS


MINGGU lalu, saya menonton di sebuah film dokumenter tentang Mordechai Vanunu, orang Israel yang membocorkan rahasia proyek senjata nuklir di Reaktor Dimona milik Israel. Pertama, saya merasa biasa-biasa saja. Saya tahu bahwa reaktor nuklir itu dibangun Israel atas bantuan AS dan Perancis; bahwa usia reaktor yang sudah hampir 30 tahun itu, sudah tidak layak beroperasi dan setiap saat bisa memuntahkan radiasi di area yang sangat luas; bahwa minimalnya, pada saat 1986, reaktor itu sudah memproduksi 200 hulu ledak nuklir, entah berapa persediaan mereka saat ini, bla…bla..bla…
Namun, film itu menjadi menarik ketika Vanunu menceritakan pengalaman batinnya. Dia mulai bekerja di reaktor nuklir Dimona sejak tahun 1976. Ketika ia mengetahui bahwa reaktor itu memproduksi senjata nuklir, batinnya mulai memberontak. Secara diam-diam, ia mengambil 57 foto (dan ini merupakan satu-satunya rangkaian foto bagian dalam reaktor Dimona yang sampai ke dunia luar hingga kini). Dia lalu memutuskan berhenti dari tempat kerjanya tersebut, dan hijrah ke Australia, sambil membawa rol film rahasia itu.
Di benua Kangguru itu, ia masuk Kristen dan bekerja sebagai sopir taksi. Dia pun kembali bergulat dengan batinnya sendiri. Bila ia membocorkan rahasia ini, nyawanya menjadi taruhan. Namun bila dia diam saja, nyawa seluruh umat manusia di dunia berada dalam ancaman. Akhirnya, Vanunu mengambil pilihan pertama: ia menyerahkan foto-foto itu kepada wartawan Sunday Times, sebuah surat kabar yang berpusat di London. Vanunu pun dipanggil ke London untuk dikonfirmasi dengan para pakar nuklir Inggris untuk membuktikan kebenaran laporannya.
Sunday Times bahkan juga mengirimkan pakar ke Israel, untuk mengecek identitas Vanunu dan reaktor Dimona. Namun inilah kesalahan besar Sunday Times, dan inilah awal dari malapetaka yang menimpa Vanunu. Mossad, Dinas Rahasia Israel, mencium jejaknya dan mengirimkan seorang agen cantik. Pada saat itu, kondisi psikologis Vanunu sangat down. Ia benar-benar ketakutan. Ia merasa dikhianati oleh Sunday Times yang tidak kunjung menerbitkan berita mengenai senjata nuklir Israel. Ia merasa sendirian. Si cantik agen Mossad itu datang menawarkan cinta dan Vanunu pun terpikat. Ia mau saja diajak ke Roma untuk berlibur. Di sana, Vanunu ditangkap dan diselundupkan dengan kapal ke Israel.
Pada tanggal 5 Oktober 1986, Sunday Times memasang sebuah headline: "Revealed: The Secrets of Israel's Nuclear Arsenal." Dunia pun gempar. Namun, di mana Vanunu? Dia saat itu berada di sebuah sel sempit, dengan lampu super terang yang bersinar 24 jam, yang membuatnya tidak bisa tidur. Dia dilarang bicara dengan siapapun. Dia tidak tahu hari, jam, detik. Dia tidak mendengar apapun, tidak melihat apapun. Dua setengah tahun ia menjalani kehidupan seperti ini. Mentalnya jatuh, jiwanya terkoyak. Namun ia bertahan.
Setelah melewati dua setengah tahun penyiksaan itu, dia menjalani pengadilan. Dia sama sekali tidak berhak berbicara satu patah katapun. Dia berkali-kali diberangus, ketika berusaha meneriakkan suatu kalimat. Vonis pun jatuh. Dia harus menjalani kehidupan penjara hingga tahun 2004. Selama 18 tahun masa penjara, 11 setengah tahun di antaranya, dilaluinya dalam sel isolasi. Sendiri. Namun ia bertahan.
Saya terus menatap layar televisi. Saya lihat rekaman ketika Vanunu dibebaskan tanggal 21 April 2004. Rambutnya memutih. Wajahnya yang dulu tampan, nampak mulai keriput. Saya perhatikan matanya yang memancarkan ketegaran, meski terkadang memancarkan kepahitan tak terkira ketika menceritakan pengalamannya di sel isolasi.
Saya bertanya-tanya, kekuatan apa yang membuatnya bisa bertahan menghadapi siksaan psikis selama 18 tahun itu? Kekuatan apa yang membuatnya tetap menjadi manusia waras dan bahkan langsung melanggar peraturan ketika ia dikeluarkan dari penjara: ia langsung melakukan wawancara dengan wartawan asing. Bila dia seorang muslim, akan mudah dicari jawabannya, mungkin keimanan pada Allah, mungkin jihad, mungkin…entahlah.
Di akhir film, baru saya tahu jawabannya: “Saya tidak mau mereka (Israel) merenggut kebebasan saya. Saya adalah manusia bebas dan tidak ada siapapun yang bisa mengambil kebebasan itu dari diri saya.” **IBA

0 komentar: