Jumat, 09 April 2010

BATAS NALAR, BATAS MORAL


…..nun jauh di sana, rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta jiwa disiksa dan dihisap atas namamu........

AKU memulai catatan ini tepat ketika sepuluh tahun lalu empat anak muda terkapar disergap peluru. Aku tak tahu. Adakah peluru itu betul-betul nyasar atau justru tepat sasaran. Sampai hari ini, jawabnya tidak pernah jelas, setidaknya itulah yang aku tahu. Satu catatan yang pasti, kematian itu memancing gelombang massa untuk bergerak gegap. Merobohkan benteng-benteng tebal lagi bebal. Orang-orang pun serentak berteriak: Reformasi kita mulai.

Hari ini, lebih seratus tahun yang lalu—persisnya pada 1907……..Wahidin visited STOVIA and there ... he encountered an enthusiastic response from the students. It was decided to create a student organization to further the interests of the lesser priyayi and in May 1908 a meeting was held at which Boedi Oetomo (BO) was born"; demikian tulis MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia.

Kita tahu, dalam sejarah Indonesia modern, kelahiran BO ini, kemudian dianggap sebagai inspirasi kebangkitan Indonesia, seperti juga pencabutan paksa nyawa anak-anak muda di halaman kampus Trisakti, Jakarta yang dianggap sebagai inspirasi lahirnya era reformasi. Anggapan itu saya kira sah-sah saja, seperti juga sahnya anggapan yang ada di seberangnya. Saya tak hendak memasuki domain para sejarahwan ini. Sebab, jauh sebelum BO lahir, di Jepara, RA Kartini telah melahirkan banyak catatan pendobrakan yang bukan saja melawan keterkungkungan kaumnya oleh tradisi lokal, tetapi juga pada tuan dan puan londo yang begitu bangga menzalimi anak-anak bangsa Hindia-Belanda. Juga jangan lupa, kehadiran surat kabar "Bintang Timur" di Surabaya pada 1862 yang sudah mulai menggunakan Bahasa Melayu dan membebaskan keterkungkungan Jawa semata.

Tapi sudahlah. Aku hanya ingin membuat catatan hari ini, pada seratus atau sepuluh tahun sesudah peristiwa-peristiwa yang kita gantungkan pada kapstok sejarah dengan bekal lembaran-lembaran yang sudah mulai kusam. Pada Undang-Undang Dasar 1945 yang kini tidak lagi mudah dihafal. Pada kehebohan pesta untuk memilih para penghulu Negara, diantara lapar sebagian penduduk yang mulai tak tertahankan. Pada sajian-sajian media massa yang menganggap bad news is good news. Pada rentetan petaka yang begitu bersimaharaja. Pada kekayaan negeri yang mestinya dibuat untuk kesejahteraan anak-anak negeri, tetapi kini raib entah kemana. Pada deretan orang-orang yang telah terlampau letih mengantri di terik surya untuk sekadar mendapatkan beberapa liter minyak tanah, atau berdesak untuk mendapat sedekah.

Setidaknya bagiku, catatan ini menjadi perlu aku lakukan karena hari-hari ini, kita digesa oleh begitu banyak perubahan. Pada hampir semua hal yang berlomba menjadi prioritas utama, ya hukumnya, ya demokrasinya, ya anti korupsinya, ya pengelolaan lingkungan, ya reformasi birokrasi, dan seterusnya, dan sebagainya. Dan akhirnya, kita sepertinya dipaksa meningkatkan laju kendaraan yang kita kemudi sambil pada saat yang sama menambal salah satu ban yang tengah berputar. Begitu absurd.

Akibatnya, batas nalar dan batas moral kita sebagai bangsa pun secara perlahan pudar. Satu per satu sumberdaya alam negeri ini dilego kepada perusahaan-perusahaan multinasional (TNC's). Sebagian anak-anak negeri ini telah mencoba menginterupsi berulang kali, namun obral sumberdaya alam pada TNC's itu tetap dilanjutkan. Negeri ini juga menjadi begitu ramah pada aneka produk impor, termasuk mengimpor habis-habisan idiologi, paradigma, pemikiran, dan gaya hidup agar dianggap sebagai warga dunia yang baik serta layak diteladani. Para penghulu negeri, nampaknya yakin betul akan adanya the invisible hand.

Lalu apa yang terjadi kemudian?

Ketimpangan ekonomi semakin menjadi-jadi, lalu polarisasi kekuatan ekonomi pun menjadi tak terelakkan dan selanjutnya, polarisasi sosial pun menjelma. Orang-orang kaya sudah mulai jijik bertetangga dengan orang miskin dan mulai bikin lingkungan rumahnya sendiri dengan pagar tinggi, berduri, dan bahkan dialiri listrik tegangan tinggi. Anak-anak orang kaya itu kemudian juga hanya boleh bersekolah di sekolah mewah mereka sendiri, menjauhi dengan jijik anak-anak dari keluarga miskin. Dan celakanya, negara ternyata secara menerus turut memfasilitasi kecenderungan ini.

Aku pun termangu.

Apa yang terjadi kini ternyata seperti pengulangan peristiwa masa kolonial dulu, ketika pemerintah kolonial membagi masyarakat Hindia-Belanda kedalam tiga katagori: masyarakat keraton, rakyat biasa, dan masyarakat Timur Asing (India, China, dan Arab). Masyarakat keraton dijadikan tangan kanan dalam bidang pemerintahan, warga Timur Asing dijadikan tangan kanan di bidang perekonomian, sedangkan mayoritas rakyat biasa dijadikan tenaga kerja paksa untuk kepentingan ekonomi Belanda.

Diskriminasi sosial pada masa penjajahan itu juga terjadi di bidang pendidikan. Warga Belanda dan keturunan Eropa lainnya mendapat fasilitas pendidikan terbaik, menyusul sekolah untuk kalangan bangsawan dan Timur Asing, sedangkan untuk rakyat biasa hanya tersedia sekolah seadanya. Pada jenjang pendidikan dasar, misalnya, lama pendidikan pada sekolah untuk anak Belanda sekitar tujuh tahun, untuk golongan bangsawan dan Timur Asing sekitar lima tahun, sedangkan untuk rakyat biasa hanya dua tahun.

Akumulasi diskriminasi sosial masa kolonial ini mengakibatkan tertutupnya stratifikasi sosial dalam masyarakat Indonesia. Sekolah, yang seharusnya berfungsi sebagai pendorong berkembangnya masyarakat berstratifikasi terbuka, karena bersifat diskriminatif, justru berfungsi sebagai pembentuk dan pengukuh masyarakat berstratifikasi tertutup. Karena bersifat diskriminatif, sekolah kehilangan fungsi sebagai sarana mobilitas sosial vertikal naik bagi warga masyarakat. Praktis tidak ada peluang bagi warga kelas bawah yang ditempati rakyat pekerja kasar untuk meningkatkan status sosialnya melalui sekolah.

Setelah merdeka, secara formal diskriminasi sosial zaman penjajahan dihapus. Meskipun demikian, penghapusan tersebut tidak serta-merta menciptakan masyarakat berstratifikasi terbuka. Ratusan tahun penerapan sistem diskriminasi sosial telah menghasilkan masyarakat berstratifikasi tertutup amat kukuh sehingga tidak mudah dikembangkan menjadi masyarakat berstratifikasi terbuka. Dan ironisnya, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan pun jauh dari memadai untuk menghilangkan dampak negatif dari diskriminasi sosial tersebut.

Saat ini relatif sama seperti masa penjajahan dahulu, masyarakat kelas bawah, seperti petani, nelayan, pekerja sektor informal, serta buruh perusahaan, yang merupakan mayoritas warga, praktis tidak memiliki peluang untuk meningkatkan status sosialnya melalui pendidikan. Anak-anak mereka sulit mengenyam pendidikan bermutu karena impitan ekonomi dan biaya pendidikan yang terlampau mahal. Kalaupun mereka dapat mengenyam pendidikan, mutu sekolah yang dimasuki jauh di bawah sekolah-sekolah yang dimasuki anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Mereka umumnya sulit mencapai jenjang pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi. Akibatnya, mereka tidak memiliki cukup bekal akademis untuk bersaing secara adil dengan anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas dalam memanfaatkan peluang usaha yang tersedia.

"Dan, nun jauh di sana, rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta jiwa disiksa dan dihisap atas namamu........", tulis mantan asisten residen Lebak, Multatuli, dalam Max Havelaar of de Koffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij (Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda).

Bagian dari roman pedih-perih itu memang ditulis jauh di masa kolonial, pada tahun 1860. Hanya kemudian, ketika lebih dari 60 tahun negeri ini merdeka, kenapa rakyat Tuan yang sekian puluh juta jiwa masih disiksa dan dihisap atas namamu......?

Di banyak pelosok negeri gemah ripah loh jinawi ini, aku menjadi penyaksi atas begitu banyak rakyat yang tidak diurus negara, bahkan meninggal karena lapar yang tak lagi bisa ditahan, saat saudara sebangsanya yang lain sedang berpesta-pora atasnama demokrasi. Ada ketidakpedulian yang meluas di antara masyarakat seusai kita meneriakkan reformasi kita mulai dan benteng-benteng tebal lagi bebal tumbang. Lebih menakutkan lagi, ketika negara seperti tidak berbuat apa pun untuk mengatasi problem kerakyatan saat ini.

Padahal, mensejahterakan rakyat adalah bagian dari cita-cita kehidupan bernegara yang diamanatkan konstitusi. Tetapi, bentuk kesejahteraan seperti apa yang dilakukan negara, tampaknya tidak kunjung terwujud.

Lalu, batinkupun menjadi tidak lagi heran, bila di antara kita—rakyat Indonesia—mulai muncul apatisme dan keraguan tentang untuk apa kita bernegara, jika fakir miskin dan anak telantar yang seharusnya dipelihara negara dibiarkan hidup tanpa bantuan negara. Juga untuk apa kita berbangsa, jika sekelompok orang—atas nama apapun—dibiarkan memberangus kehidupan sesamanya, tanpa sedikit pun negara tampil sebagai pelindungnya.

Aku membayangkan rumah kelahiran Multatuli di jalan Korsjespoortsteeg 20, Amsterdam. Jalan sempit dan pendek itu malamnya disulap menjadi etalase kupu-kupu malam sambil tulisan penutup buku Max Havelaar. "Ada negara pembajak di tepi laut, antara Friesland Timur dan sungai Schelde!. Buku ini akan aku terjemahkan ke dalam banyak bahasa, dan meminta Eropa, apa yang aku cari sia-sia di Belanda. Kalau tak berhasil, akan kuterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Alifuru, Bugis, Batak,…dan aku lontarkan lagu-lagu: Mengasah Kelewang. Dan nun jauh di sana rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta disiksa dan dihisap atas namamu..."

Dan tanpa terasa, kudukku bergidik kencang....

Aku bayangkan wajah yang ditopang badan kurus Mahatma Gandhi sambil mencoba menahan lapar karena solider pada bangsanya yang juga menerus menahan lapar, tetapi Gandhi tetap tegar berujar, "my nasionalism is humanity" Dan, aku pun masih bisa mengenang ucapan Bung Karno, ".......ya....ya....my nasionalism is humanity too sir....".

Hanya kemudian, batas nalar dan juga moral itu, kini nampak semakin pudar. Sepudar sila Kemanusiaan yang adil dan beradab yang kini tinggal hiasan dinding yang secara perlahan dihilangkan maknanya dari kehidupan kebangsaan kita.**(Sahabat Pena)

0 komentar: