Sabtu, 10 April 2010

Keterjebakan Indonesia dan Babad Indonesia


Ekonomi pasar, bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum, yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil dicapai. Sebab, ekonomi pasar itu secara prinsipil tidak dapat diterapkan sama untuk semua bangsa. Nicht verallgemeinerungsfaehig
“DALAM lomba”, tulis Kurt Beidenkopf, “sistem komunislah yang kalah”. Tetapi jika permasalahan paling mendasar dari bumi ini dipandang serius dan jujur. Maka, harus diakui bahwa, negara-negara dengan orientasi pasar bebas pun, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sistem pasar itu. Sebab, sistem pasar maupun komunisme, yang sangat menentukan dunia budaya industrial kita, pada hakikatnya sama saja. Yakni, pertumbuhan terus-menerus. Dari penyediaan barang-barang dan pelayanan material. Sasaran dari pertumbuhan itulah, yang diikhtiarkan tanpa henti. Dengan demikian, perbedaan antara dua sistem itu bukan pada sasaran mereka. Melainkan hanya pada jalan yang ditempuh. Padahal, pertanyaan paling mendasar hari ini dan masa datang adalah justru pada sasaran itu.
Tulisan Beidenkopf dalam majalah Die Zeit, itu cukup menarik. Sebab, kala tulisan itu diterbitkan, 26 September 1991, ia adalah Perdana Menteri di negara bagian Shachsen, Jerman. Ia juga anggota Partai Kristen Demokrat yang biasanya berhaluan konservatif tradisional sayap kanan, pemuja sistem ekonomi pasar. Karena itu, pernyataannya itu seolah guyuran air dingin bagi masyarakat Barat yang tengah dimabuk kejayaan pasar bebas setelah tembok berlin runtuh. Patung Lenin rubuh.
Seperti juga pernah diingatkan mendiang Paus Yohanes Paulus. “Dengan runtuhnya kaum komunisme tidak berarti, bahwa kapitalismelah yang akan menjadi dewa keselamatan. Khususnya bagi negara-negara berkembang.”
Ya.....dengan begitu. Bagi kita di Indonesia kini, persoalannya bukan lagi pada Adam Smith atau Karl Marx. Bukan pada ekonomi pasar yang begitu dielu-elukan sebagian besar elit bangsa ini, terutama setelah ekonomi komunisme yang terpusat runtuh dan seolah tata dunia baru sudah jelas terbentang di depan. Tetapi meneguhkan jawaban atas pertanyaan, untuk apa dan siapa sesungguhnya sasaran seluruh ikhtiar bangsa ini akan dipersembahkan?
Seperti juga Beidenkopf dalam tulisannya itu. Bangsa-bangsa kaya hanya dapat mengadakan ekspansi dengan pengorbanan bangsa-bangsa yang lebih lemah. Karena itu, untuk membebaskan ancaman-ancaman yang melekat pada sistem pasar negara-negara industri maupun komunis yang industrial maju, yang padanya terjadi penghisapan struktural terhadap mayoritas bangsa manusia, hanya mungkin bisa dilakukan bila cara berfikir negara Barat dirubah secara radikal. Jika tidak maka, kendati menamai diri sebagai negara demokrasi, dunia akan mengalami keruntuhan, yang oleh Beidenkopf disebut regierbarken. Keruntuhan yang dapat diperintah atau keruntuhan yang bisa diatur. Dan semua itu mewujud pada berbagai tindak kekerasan. Perang, terorisme dan sebagainya.
Dengan begitu, ekonomi pasar, bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum, yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil dicapai. Sebab secara prinsipil, ekonomi pasar memang tidak dapat diterapkan sama untuk semua bangsa. Nicht verallgemeinerungsfaehig.
Ya....aku rasa betul juga. Sistem ekonomi pasar yang dianut faktual oleh dunia Barat dan yang diterapkan secara luas di dunia Timur tanpa kritik, jelas bukanlah hasil hukum kodrat manusia. Seperti juga ekonomi terpusat yang kini runtuh.
Titik berangkatnya berasal dari konstruksi-konstruksi buatan pikiran, bayangan-bayangan instrumen, tata masyarakat yang datang dari ideologi tertentu, yang dikembangkan historis oleh manusia Barat tertentu untuk menangani masalah-masalah konkrit tertentu dalam alam sistuasi kondisi yang tertentu pula. Sekali lagi, bukan dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil untuk dapat diwujudkan.
Hanya persoalannya, bangsa Indonesia ini sepertinya sudah tidak lagi bisa terbebas dari pilihan tunggal. Ekonomi pasar. Juga dengan kiblat tunggal. Kelompok negara adidaya yang dikomandani Amerika Serikat. Meski sudah cukup lama, juga cukup intens sebagian dari para pakar ekonomi kita mencoba merumuskan ekonomi Pancasila.
Namun, dalam praktik keseharian kita, ekonomi pasarlah yang nyata berjaya.
Dan selanjutnya, godaan besar yang kemudian mencuat di hadapan kita, dan kita sepertinya juga tidak bisa mengelak, adalah pada munculnya ideologi yang mengerikan. Yakni, segala yang mungkin bagi manusia, boleh dikerjakan juga.
Kemudian, dari hari ke hari hutan-hutan dibantai dengan cara yang sungguh sulit dinalar. Tambang-tambang di perut bumi dikeruk tanpa kendali dan tanpa peduli lingkungan sekitarnya. Limpahan hasil laut terus pula diekspolitasi tanpa sedikit pun keinginan untuk mengembalikan agar bisa pulih lestari. Dan akhirnya, sumberdaya alam amanah Tuhan untuk anak cucu kita, kini teronggok tinggal sisa-sisa.
Lalu bencana?
Rakyat miskin di pedalaman kini selalu dicekam oleh datangnya aneka petaka. Banjir, longsor, serbuan aneka hama, juga kekeringan yang mengerontangkan jiwa raga. Semua sudah tidak lagi bisa kita hitung, berapa korbannya.
Berikutnya. Kita seperti berada pada lingkar keterjebakan.
Ya....deretan persoalan yang saling berkelindan. Begitu melelahkan. Juga begitu mengerikan akibatnya.
Tapi bagaimana konstruksi lingkar keterjebakan bangsa ini hingga kita begitu susah keluar dari belitannya itu?
Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man, John Perkins, warga Amerika Serikat itu mengungkapkan sejumlah fakta. Tentang sebuah potret jaringan corporatocracy elit politik dan bisnis AS yang begitu kuat menjerat kita. Cara kerjanya mirip mafia. Mereka menggunakan segala cara. Termasuk membunuh atau mempekerjakan pelacur. Semua upaya itu ditujukan untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi mereka.
”Kita melakukan pekerjaan kotor. Tak ada yang tahu apa yang kamu lakukan. Termasuk istrimu“, kata Charlie Illingworth, bos Perkins.
Untuk menjalankan operasinya, Perkins diberi dua tugas utama. Pertama, menyusun laporan fiktif agar IMF, Bank Dunia, dan USAID bersedia mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur. Kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang setinggi gunung, negara penerima hutang kemudian dijadikan kuda yang dikendalikan sang kusir yang duduk di ibukota negara Amerika Serikat sana.
Praktik corporatocracy itu di Indonesia ternyata disambut hangat para pejabat kita. Sebab, di negeri ini gerilya Perkins menemukan sekutu dengan kelompok yang telah disiapkan oleh Amerika Serikat sebelumnya. Kelompok itu dikenal dengan sebutan ’Mafia Berkeley’.
Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan, MAIN, dan para pejabat itu pun kemudian saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek pembangkrutan. Maaf, faktanya memang bukan pembangunan Indonesia itu pun dimulai. Dan, dimulai pulalah lingkaran setan utang luar negeri yang dielu-elukan sebagai ideologi pembangunan.
Tapi...ah, cerita corporatocracy AS di Indonesia itu sebetulnya punya akar sejarah cukup dalam dan waktu yang lama. Kuku-kukunya telah mulai ditanam sejak awal abad ke 20. Ketika imperialisme Amerika mulai menjadi tantangan bagi kekuatan kolonial Eropa. Terutama setelah AS menduduki Filipina, tahun 1898. Lebih seabad lalu.
Strategi AS di daerah ini waktu itu, seperti ditulis Terri Cavanagh dalam Lessons of the 1965 Indonesian Coup, dapat diringkas dari pendapat Senator William Beveridge:
"The Philippines are ours forever ... and beyond the Philippines are China's illimitable markets. We will not retreat from either. We will not repudiate our duty in the archipelago. We will not abandon our duty in the Orient. We will not renounce our part in the mission of our race, trustee under God, of the civilisation of the world ... We will move forward to our work ... with gratitude ... and thanksgiving to Almighty God that he has marked us as his chosen people, henceforth to lead in the regeneration of the world ... Our largest trade henceforth must be with Asia. The Pacific is our ocean ... and the Pacific is the ocean of the commerce of the future. The power that rules the Pacific, therefore, is the power that rules the world. And with the Philippines, that power is and will forever be the American Republic." (Emphasis in the original)
"Filipina adalah milik kita selamanya...dan lewat Filipina adalah pasaran Cina yang tak terbatas. Kita tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggungjawab kita di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan, untuk peradaban di dunia ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina, kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik Amerika."
Sejak itu, perusahaan minyak Standard (AS) mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak di Indonesia yang semula dikuasai penuh oleh Royal Dutch Company. Tahun 1907, Royal Dutch dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai mengebor minyak di Jawa Tengah. Dalam tahun yang sama perusahaan-perusahaan AS mulai menguasai perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre and Rubber membuka perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber membuka perkebunan-perkebunan karet di bawah satu kepemilikan yang terbesar di dunia.
Pada tahun 1939, lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah yang penting bagi Amerika Serikat dipasok dari Indonesia. Waktu itu masih dikenal dengan nama East Indies Belanda. Bagi Amerika Serikat, kekuasaan atas daerah ini merupakan misi utama dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dan setelah Perang Dunia II, kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.
17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Banyak negara-negara Asia-Afrika juga kemudian merdeka. Sejak itu, kapitalisme yang menjadi pendorong imperialisme, dan kolonialisme pun meluruh pamornya. Amerika Serikat sebagai pemenang atas Perang Dunia II merasa berhak mengambil manfaat atas kemenangannya itu.
Satu tahun sebelumnya. 1944, di pegunungan New Hampshire, di Bretton Woods, AS, dibentuklah IMF dan saudara kembarnya World Bank. Dari sana kemudian lahir gagasan Harrod-Domar yang menegaskan bahwa, pembangunan adalah masalah penyediaan modal semata. Dikembangkan pula gagasan David Mc Clelland yang menyatakan bahwa untuk menjadi maju, sebuah bangsa harus dibenahi mental dan motivasinya agar mereka mempunyai hasrat untuk meraih setinggi-tingginya prestasi dalam hidup. Need for achievement (n-ach). Untuk mewujudkan semua itu, perlu dikembangkan nilai-nilai budaya yang menjadi penunjangnya, usul Max Weber. Dan salah satunya adalah agama. Kemudian dilanjutkan oleh Rostow dan Hozelits yang mengusulkan perlunya lembaga-lembaga yang memungkinkan semua itu dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Dan itu adalah birokrasi, teknokrasi dan tentara.
Inilah garis besar tatanan ekonomi liberal yang dikenal dengan sistem Bretton Woods dan penerimaan atas cara pengelolaan ekonomi oleh kalangan elit-elit penguasa yang kemudian dikenal dengan nama Marshall Plan. Kompilasi atas teori-teori itu kemudian dikenal sebagai teori modernisasi. Di Indonesia, kita mengenalnya sebagai pembangunan.
Ya……sebuah ramuan lama dalam botol baru.
Dalam beleidnya, World Bank dimaksudkan untuk mengatasi kepincangan neraca pembayaran perdagangan internasional, terutama kelak sesudah perang selesai (setelah diyakini Sekutu akan menang). Tetapi secara tidak langsung, namun ini justru menjadi inti perkara: untuk konsultasi sistem liberalisme yang menjadi jiwa sistem mereka. Atau dengan kata lain, dan dari kacamata bekas negara-negara jajahan, untuk memperkokoh kembali struktur-struktur kolonialisme berpola menyetor bahan-bahan mentah (yang juga harus murah) dan menjual barang jadi (yang harus mahal), secara lebih intensif dan efisien dengan cara lain, mengingat dan kendali koloni-koloni itu politis resmi sudah merdeka.
Adapun IMF bertugas mendesak ditumbuhkannya keleluasaan maksimal untuk arus-arus barang-barang komoditi. Dan, Bank Dunia bertugas mempromosikan keleluasaan maksimal dalam arus internasional dari investasi modal.
Betul, IMF secara de yure hanya promotor, perantara dan penasihat bila menghadapi suatu pemerintah di suatu negara. Akan tetapi, praktis, segala penerimaan dan penolakan nasihat-nasihatnya adalah otomatis lampu hijau atau lampu merah yang menentukan suatu pemerintahan didukung atau dilawan. Sebab, liberalization is the prince of aid.
Januari 1948, pemerintahan Republik Indonesia, dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifuddin, menandatangani Perjanjian Renville. Perjanjian ini ditandatangani di atas kapal Amerika Serikat. USS Renville.
Fasilitasi oleh Amerika Serikat itu bukan bantuan gratis tentu saja. Peminjaman USS Renville untuk penandatanganan perjanjian itu juga dimaksudkan untuk memastikan keselamatan pasokan bahan mentah dari Indonesia ke negeri Paman Sam itu.
Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 persen dari karet Indonesia, 65 persen perkebunan kopi, 95 persen perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang difasilitasi AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran unit-unit rakyat bersenjata untuk kemudian disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia.
Desember 1948, Belanda menjalankan serangan militer. Tetapi perlawanan rakyat yang meluas memaksa Belanda menyerah dalam waktu enam bulan. Dan, konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Belanda itu diselenggarakan.
Inti perjanjian itu, Pemerintah Indonesia setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan di balik aling-aling pemerintahan parlemen di republik yang baru.
Tahun 1953, presiden AS Eisenhower, dihadapan konperensi gubernur negara-negara bagian mengatakan bahwa, pembiayaan oleh AS untuk perang kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.
Eisenhower menerangkan: "Sekarang marilah kita anggap kita kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan Tungsten yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India akan terkepung.”
Karena itu, Pemerintah AS memutuskan menyumbang US$ 400 juta untuk membantu perang di Indoncina. Kata Eisenhower, "Kita bukannya menyuarakan program bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan, kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia Tenggara."
Sampai kemudian, tahun 1954, Perancis kalah dalam perang di Indocina. Pemerintah AS menjadi khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol mereka atas Indonesia. Maka, didatangkan pasukan-pasukan Amerika Serikat ke wilayah Vietnam, juga ditebarkan ranjau darat serta bom-bom kimia yang bukan saja membunuh ribuan manusia. Tetapi juga kerusakan ekosistem yang luar biasa dan bayi-bayi dari perempuan tak berdosa yang mengalami mutagenik begitu luar biasa.
Tahun 1956-1965, Pemerintah Amerika Serikat mulai serius ’menggarap’ pemuda Indonesia. Kelompok ini disiapkan sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California.
Universitas Berkeley sendiri merupakan salah satu universitas terkemuka di Amerika dan para mahasiswanya terkenal progresif dan mayoritas anti perang Vietnam. Tetapi program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk di kemudian hari menjadi bagian dari hegemoni global Amerika. Disebut “Mafia”, mengambil idea dari organisasi kejahatan terorganisir di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisir menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Tahun 1965, sebelum kudeta 30 September, Richard Nixon, yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman saturasi guna melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelah itu, 1967, Nixon menyatakan bahwa, “Indonesia merupakan hadiah terbesar Asia Tenggara.”
Tahun 1971, Charlie Illingworth menuturkan pesan Nixon seperti ditulis John Perkins dalam Confessions of An Economic Hit Man yang populer itu. ”Presiden AS, Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China,“ kata bos Perkins itu, suatu kali di Bandung.
Aku tercenung…….entah murung, entah merenung, atau mungkin bingung…….
5 Juni 2006. Koalisi Anti Utang menyelenggarakan sebuah diskusi di Jakarta. Diskusi ini mengusung thema menarik. “Mafia Berkeley: Kegagalan Indonesia Menjadi Negara Besar di Asia.”
Ya....mereka membedah sebuah jaringan yang perannya begitu signifikan dalam perjalanan ekonomi, politik, sosial dan juga budaya Indonesia. Terutama sejak Pemerintahan Orde Baru menggantikan Orde Lama dan masih terus berlangsung hingga sekarang. Jaringan itu dikenal dengan nama Mafia Berkeley.
Dari cara kerja mereka, para pembicara menyebut bahwa, anggota Mafia Berkeley adalah pengabdi kekuasaan. Tak ada etis apapun, selain kekuasaan. Dalam banyak kasus, mereka juga menjadi public relations di berbagai forum dan media untuk memperlunak dan mempermanis image pemerintahan otoriter dan represif.
Efektifitas media relations itu terutama dilakukan dengan memberikan akses khusus, dalam bentuk bocoran informasi dan dokumen konfidential kepada satu media harian dan satu mingguan berita terkemuka. Kedua media tersebut memiliki pandangan yang sangat liberal dalam bidang politik dan sosial, tetapi sangat konservatif dalam bidang ekonomi.
Pola rekruitmen Mafia Berkeley dilakukan dengan prinsip utama loyalitas dan feodalisme, di atas kriteria profesionalisme. Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberikan kesempatan akademis di Amerika Serikat sehingga terjadi sikronisasi dan kesamaan cara berfikir.
Banyak di antara mereka kemudian diberikan kesempatan untuk menduduki berbagai posisi strategis. Di samping itu para kader diberikan berbagai bonus dalam bentuk perjalanan ke luar negeri, keanggotaan di berbagai komite dengan kompensasi finansial. Dengan struktur dan skala pendapatan yang berkali lipat lebih tinggi dari pegawai negeri dan ABRI, kader Mafia Berkeley merasa dirinya sangat elitis sehingga tidak memiliki emphati terhadap nasib pegawai-negeri, ABRI, dan rakyat.
Sumber pembiayaan utama dari lembaga-lembaga yang dikontrol mafia ini berasal dari bantuan dan grants dari IMF, Bank Dunia, USAID dan lembaga-lembaga kreditor internasional lainnya sehingga tidak aneh bila hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia, policy papers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Jika ada kebijakan Presiden atau menteri, yang bukan anggota Mafia Berkeley, dan menyimpang dari arahan Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia, USAID, anggota-anggota Mafia dengan cepat melaporkan kepada perwakilan IMF–Bank Dunia, USAID untuk dikritik di laporan-laporan resmi lembaga-lembaga kreditor. Kritik-kritik tersebut kemudian dipublikasikan di media-media kolaborator di dalam negeri.
Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dengan arahan IMF–Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman hutang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan global sehingga berbagai potensi Indonesia untuk menjadi negara besar di Asia tidak akan pernah terealisasikan. Mekanisme mengaitkan hutang luar negeri dengan covenants berupa penyusunan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, serta institusi-institusi baru yang makin super dan kompleks, juga memungkinkan adanya intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.
Adakah ini yang menyebabkan lingkar keterjebakan Indonesia kita?
Adakah karena itu pula, upaya bangsa ini dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan rasa-rasanya begitu sulit dan bahkan semakin jauh dari jangkauan?
Aku tidak tahu. Tetapi begitulah kenyataannya.......
Malam terus melarut.......hening....sepi....mengantar ingatanku singgah pada deretan waktu....
Sebuah layar bioskop seperti membentang di hadapan. Sebuah film disuguhkan.
”Need Full Things”, begitu judulnya.
......ketika laku setan dalam tubuh manusia mendatangi perkampungan. Di kampung yang damai itu, ia membuat berbagai macam jebakan. Tidak saja banyak jumlahnya. Tetapi juga disusun bertingkat. Saling kait dalam rumit. Complicated and multilevel traps, sehingga tidak satu pun penduduk kampung itu dapat terbebas dari jebakan sang setan.
Aku tercekat. Betapa cermat jebakan itu dibangun. Sebuah strategi penguasaan yang mengandalkan rasionalitas cerdas, seperti kerap dijumpai dalam dunia bisnis yang sarat persaingan atau perang moderen dewasa ini. Begitu tertata tertib jebakan demi jebakan itu dipasang. Sehingga manusia yang ada di dalam permainan itu tidak lagi merasakan bahwa yang ia dapati adalah jebakan. Para pemain justru merasa mengejar sesuatu yang ideal. Kerap, jebakan yang didapat justru dianggap sebagai solusi. Bahkan rakhmat Tuhan.
Tapi ternyata, satu solusi yang didapat, pada kenyataannya justru melahirkan dua permasalahan baru. Seperti deret ukur. Satu menjadi dua. Dua menjadi empat. Empat menjadi delapan, dan seterusnya. Sekali lagi, si penyusun strategi telah merancang sedemikian rupa cantiknya, sehingga para pemain tidak mudah sadar. Sampai kemudian, para pemain itu mendapati bahwa dirinya telah terjebak dalam sebuah lingkaran yang mungkin sudah tidak bisa lagi dilerai.
Plot film ini memang hampir serupa dengan The Devil’s Advocate yang terkenal itu.
Tapi.....Ah....kenapa begitu mirip dengan situasi Indonesia kita?
Ya....ketika situasi keterjebakan itu sudah terjadi, juga mantap dan melembaga dalam struktur sistem kepemerintahan suatu negari, maka hampir semua pilihan yang harus diambil untuk mengatasi suatu persoalan akan menempatkan kita seperti ”memakan buah simalakama.”
Atau.....
Aku merasa keadaan justru lebih parah dari itu. Dan mungkin lebih tepat bila disebut sebagai The Devil’s Alternative, seperti judul buku Frederick Forsyth. Ya...sebab apapun pilihannya, semuanya akan memakan korban. Ratusan, ribuan dan bahkan jutaan jiwa. Tanpa kuasa kita menghindarinya.
Aku tercenung…….entah murung, entah merenung, atau mungkin bingung…….
Sebab faktanya. Nyaris tidak ada kasus sejenis di dunia, di mana satu kelompok ekonom eksklusif berkuasa selama hampir 40 tahun nyaris tiada henti. Dari 1966-2006. Mereka menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi suatu negara.
Dan, negara itu bernama Indonesia.
Ya.....Indonesia telah mengalami pergantian presiden 5 kali sejak tahun 1966. Juga berulang kali melakukan perubahan sistem dan struktur politik. Pergantian pemimpin sipil maupun militer. Reformasi tentara dan sebagainya. Tetapi, pelaku perumus kebijakan ekonominya, nyaris tidak berubah selama 40 tahun. Tidak aneh tidak ada terobosan inovatif dalam strategi dan kebijakan ekonomi sehingga Indonesia semakin ketinggalan dibandingkan negara-negara besar lainnya di Asia.
Lalu, adakah pemerintahan kita yang telah dihasilkan dari pilihan rakyat secara langsung akan bertekuk-lutut di hadapan kekuatan serupa ini?
Aku tahu. Ini tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin.
Kita tahu pengalaman waktu Presiden BJ Habibie maupun Abdurrakhman Wahid tempo hari. Betapa segala penolakan dan penerimaan nasihat-nasihat IMF menjadi lampu merah dan lampu hijau yang menentukan suatu negara dilawan atau didukung?
Tapi, Malaysia di tangan Dr. Mahatir Mohammad terbukti bisa. Bahkan jauh memberikan maslahat yang lebih sempurna ketimbang kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis 1998 itu.
Sebab, seperti juga ditulis Cheryl Payer, kesediaan yang selalu dituntut IMF kepada negara-negara yang meminta bantuan ialah program stabilisasi. Hanya untuk apa?
”Liberalization of exchange and import control is the heart of each IMF stabilization programme,“ tulis Cheryl Payer dalam bukunya The Debt Trap. Stabil untuk siapa?
Ya...siapa lagi kalau bukan World Bank dan IMF yang menanamkan modal asing dalam negeri itu, agar arus import-export dapat diselenggarakan secara bebas maksimal.
Dalam buku The Debt Trap yang kini terasa sudah begitu klasik (terbit di pertengahan 70-an), dari sejak awal hingga akhir kita seperti ditunjukkan betapa bangsa-bangsa miskin berusaha keras untuk meraih kontrol sekadarnya atas ekonomi-ekonomi mereka, dan bagaimana peranan IMF yang justru meremuk (frustrating) usaha-usaha itu....selaku penghalang perkembangan bangsa yang otonom.
Sebagai ilustrasi, Cheryl Payer menguraikan penyelidikannya atas sejumlah kasus yang cukup tipikal. Mulai dari masalah impor-ekspor di Filipina, lika-liku panas perang Vietnam, kasus Yugoslavia selaku sistem sosialis yang terkena jaring-jaring IMF, penghancuran demokrasi di Brazil dan Korea Utara. Juga, satu bab penuh tentang kasus Indonesia dengan IMF, World Bank, IGGI dan sebagainya dalam judul, Indonesia: A“Success Story“ (dengan tanda petik), karena dalam bagian itu, Cheryl Payer berkesimpulan bahwa, Indonesia adalah sama sekali bukan kisah sukses.
Meski begitu, sebagian besar elit pemikir yang menjadi pengendali berbagai lembaga negara sejak masa awal Orde Baru justru terus saja berupaya keras untuk memastikan peran IMF/Bank Dunia dengan berbagai jejaringnya di negeri ini. Ya...jejaring pengendali di dalam negeri itu salah satunya adalah Mafia Berkeley ini. Dan jejaring ini telah membengkak dan berbiak selama 40 tahun, sehingga.........
Ya.....Aku tahu. Ini tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin.
Dan harapku. Ada baiknya kita mengingat kembali tekat para pendiri republik Indonesia ini. Bahwa, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Juga harapku, ada tekat untuk mandiri, dengan keluar dari segala bentuk penjajahan, juga berbagai bentuk jebakan.
Ya....tantangan hari ini memang jauh lebih majemuk ketimbang di masa lalu. Tetapi, seperti juga para pendiri republik ini yang dalam segenap keterbatasan, toh bisa mengatasi permasalahan, tantangan dan ancaman pada jamannya. Dan mewariskan kepada kita sebuah negara merdeka. Betapapun centang-perentangnya.
Meski tentu. Kita juga jangan pernah lupa. Bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu adalah, Berkat Rakhmat Allah Subhana Wa Ta’ala, juga.
Ya......semoga saja bisa segera.**


(2) INIKAH BABAD INDONESIA RAYA?
Tuhan Maha memahami bahasa setiap makhluk-Nya dan tidak meminta orang hutan belantara pedalaman menggunakan bahasa orang pesisir, karena sepatah kata bisa menentukan apakah sebilah pedang disarungkan atau ditancapkan.
MALAM telah cukup larut, di atas batu datar itu, di Lipuro, Panembahan Senopati lelap tertidur. Letih. Ia ingin bebas. Lepas dari kekuasaan Pajang. Begitu ditulis dalam Babad Tanah Djawi. Tak lama kemudian, ia dibangunkan Ki Mondoroko Juru Martani. Penasehat spiritualnya. Dan, ketika itu pula, sebuah bintang turun di dekat kepalanya.
Dan, terjadilah dialog itu. Si bintang berucap, keinginan Senopati akan diluluskan Hyang Maha Kuasa..........
Seting sejarah dimulai. Sebuah transformasi politik diawali. Dari gaya kepemimpinan pesisiran yang berwatak lebih terbuka, egaliter dan demokratis, menuju atau menjadi kekuasaan pedalaman yang relatif lebih tertutup. Proses pemusatan kekuasaan pun dibuat memusat agar stabilitas negara tetap terjaga.
Di mata para penelaah, ketertutupan dan pemusatan inilah yang menjadi awal dan sekaligus sumber kegagalan kerajaan Jawa, Mataram. Namun kemudian, di-copy begitu saja setelah Indonesia merdeka. Ya....sentralisasi kekuasaan. Pada satu tangan yang kemudian menghadirkan beragam persoalan.
Sebab, sentralisasi kekuasaan itu, tidak pernah bisa membawa kemajuan kepada rakyat Jawa. Dan, dalam pidato budayanya, WS Rendra menyebutkan bahwa, ”dipandang dari segi kepentingan rakyat, raja-raja Mataram adalah raja-raja yang gagal. Tidak ada kharisma mereka, sehingga gagal menyatukan Jawa”.
Rendra, dalam pidatonya itu kemudian mengutip laporan Joonnes de Barros, dalam bukunya Decadas Da Asia, yang juga merupakan sebuah dokumen pertama Eropa yang menuliskan nama Jayakarta. ”Orang Jawa itu angkuh, berani, berbahaya dan pendendam. Kalau tersinggung perasaannya sedikit saja, terutama kalau disentuh kepala atau dahinya, terus mengamuk dan membalas dendam.”
Seorang Portugis lain, Diego de Couto, yang juga dikutip Rendra, melaporkan bahwa ia mengagumi kecakapan berlayar orang-orang Jawa. Begini kutipan itu:
“Bahasa Jawa selalu berkembang dan punya aksara sendiri. Namun, mereka begitu angkuh sehingga menganggap bangsa lain lebih rendah. Maka kalau orang Jawa lewat di jalan, dan melihat ada orang bangsa lain yang berdiri di onggokan tanah atau suatu tempat lain yang tinggi dari tanah tempat ia berjalan, dan apabila orang itu tidak segera turun dari tempat semacam itu, maka ia akan dibunuh oleh orang Jawa itu. Sebab ia tidak akan memperkenankan orang lain berdiri di tempat yang lebih tinggi. Juga orang Jawa tak akan mau menyunggi beban di atas kepalanya, biarpun ia diancam dengan ancaman maut. Mereka adalah pemberani dan penuh keyakinan diri dan hanya karena penghinaan kecil saja bisa melakukan amuk untuk balas dendam. Dan meskipun ia telah ditusuk-tusuk dengan tombak sampai tembus, mereka akan terus merangsek maju sehingga dekat kepada lawannya.”
Ah....mungkin terlalu berlebihan gambaran itu. Tapi, ada juga kebenarannya. Orang Jawa akan mudah marah bila disentuh kepala atau dahinya.
Mereka penuh harga diri dan pasti diri. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab Salokantara dan Jugul Muda. Keduanya adalah kitab undang-undang semasa Demak yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para Wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun.
Hanya kemudian, begitu muncul Panembahan Senopati, rasa hormat pada daulat hukum itu dilecehkan. Sultan bergelar Sayidin Panatagama, dan terus sampai kepada seluruh keturunannya ini begitu fanatik terhadap kekuasaan raja yang mutlak dan sentralisasi kekuasaan. Rakyat disebut kawula (abdi) dan bukan warganegara. Hidup rakyat tidak pasti. Inisiatif mereka mulai terbatas. Banyak larangan untuk ini dan itu. Rakyat tak bisa mengontrol atau memberi tanggapan kepada kekuasaan. Maka daya hidup rakyat merosot.
Yacob Couper, panglima tentara Belanda, menganggap daya tempur tentara Mataram sangat rendah. Sangat jauh dari deskripsi yang dilukiskan Joonnes de Barros ataupun Diego de Couto.
Ah..... mungkin sejarah memang tidak ada, karena yang nyata adalah kekuasaan.
Dan, Babad Tanah Djawi, baik bentuk maupun isinya memang ditentukan oleh kepentingan raja-raja Mataram. Termasuk plot dialog antara bintang –mewakili penguasa semesta alam—dengan Panembahan Senopati.
“Karena Babad, memang diberi fungsi sebagai alat legitimasi yang melembagakan definisi dari realitas,” begitu kata ahli sejarah Sartono Kartodirdjo.
Dengan demikian, ia berfungsi pula sebagai pengelola universum serta orde yang berkuasa. Dan, di tengah tradisi yang tertutup diselimuti kabut ini, persoalan kepemimpinan di dalam tradisi Jawa nampak disarati misteri. Hal itu masih terus berlangsung hingga kini. Konsep ‘raja’ adalah penyangga dan sekaligus penghubung mikrokosmos dan makrokosmos kehidupan manusia dan alam semesta terus diberlangsungkan hingga kini.
Walau, menarik juga mengutip pemikiran A.Teeuw. Menurutnya, babad bukanlah sekadar cerita sejarah, tetapi juga sebagai karya sastra. Dalam babad sebagai karya sastra, genealogi, silsilah, raja-raja barangkali bisa dipandang sebagai plot cerita. Dengan kata lain, genealogi menentukan urutan peristiwa yang diceritakan. “Sebagian besar unsur-unsur cerita tidak saling berhubungan satu sama lain, tetapi unsur-unsur itu bertaut konsistensi dan relevansinya pada plot utama, yakni genealoginya,” begitu A.Teeuw dalam Genealogical Narrative Texts as an Indonesian Literary Genre.
Dan, si bintang, dalam Babad Tanah Djawi itu kemudian meneruskan ’titahnya’.....
Ia (Panembahan Senopati) akan memerintah Mataram, demikian pula putra dan cucunya. Tetapi, buyutnya akan menjadi raja terakhir dan Mataram kerajaannya akan ditimpa bencana.
Buyut itu tidak lain adalah Amangkurat I, putra Sultan Agung, cucu Seda ing Krapyak dan tentu saja buyut Senopati. Ia terpaksa meninggalkan Mataram, akibat pemberontakan Trunojoyo. Setelah peristiwa itu, kraton dipindahkan oleh Amangkurat II ke Wonokerto, yang kemudian diubah namanya menjadi Kartosuro.
”Kala semanten sang nata sabarang karsanipun ewah kalijan adatipun, asring misesa tijang, tansah nggelaraken sijasat. Para boepati, mantri toewin para sentana sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung resah tataning nagari. Tijang samatawis sami miris manahipoen, serta asring grahana woelan toewin srengenge; djawah salah mangsa, lintang koemoekoes ing saben daloe ketingal. Djawah awoe oetawi lindoe. Akatah delajat ingkang ketingal. Poenika pratandanipoen, jen negari bade risak.”
“Ketika itu, raja bertindak sekehendak hatinya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindakan kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalahgunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhana bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.”
Ya.....meski sempat dua kali Sultan Agung menyerang VOC, tetapi raja kedua Mataram ini tidak mampu menjamah Batavia. Dilemahkannya wibawa dan daulat rakyat oleh para raja Mataram menjadikan daulat raja semakin meluruh. Dan, pada masa Amangkurat I, kerajaan sudah mulai compang-camping. Rakyat semakin menderita. Baik oleh kelakuan raja maupun oleh letusan Gunung Merapi serta juga tertimpa kelaparan selama 1674-1676, begitu ditulis de Graaf.
28 Juni 1677, Kraton Mataram di Plered jatuh. Rakyat yang menderita kelaparan, serbuan tentara Trunojoyo, serangan pihak Makasar, intervensi bala tentara VOC dan pecahnya kekerabatan kraton menjadi komponen penyebabnya. Dan akhirnya, Amangkurat I pergi ke Tegal, meminta perlindungan kepada VOC. Belum sampai Tegal ia sudah sekarat. Di Tegal Wangi, pada 10 Juli 1677, Amangkurat I mangkat. Konon, dalam keadaan sekarat, ia diracun anaknya yang kemudian menggantikannya dan bergelar Amangkurat II.
Gubernur Jenderal VOC, Cornelius Speelman, menyebut Amangkurat II ini sebagai "anak emas kompeni". Raja ini menyebut Gubernur "Eyang" dan menyebut komandan militer lokal Belanda dengan sebutan "Romo". Dan, di tangan Amangkurat II inilah, hutan-hutan dan wilayah Semarang hingga Surabaya digadaikan kepada VOC.
Dan, si bintang, dalam Babad Tanah Djawi itu kemudian meneruskan ’titahnya’..... dalam ’Babad Indonesia Raya’, diakhir milenium II dan diawal milenum III ........
Babad ini sedang disusun sendiri oleh perjalanan sejarah.... yang sekali lagi seperti pemikiran A.Teeuw, . “Unsur-unsur cerita sebagian besar tidak saling berhubungan satu sama lain, tetapi unsur-unsur itu bertaut konsistensi dan relevansinya pada plot utama, yakni genealoginya,”
Juga seperti kata ahli sejarah Sartono Kartodirdjo: “Karena Babad, memang diberi fungsi sebagai alat legitimasi yang melembagakan definisi dari realitas”.....
Si bintangpun mengingatkan aku tentang drama pergulatan kita beberapa waktu lalu dengan ExxonMobil menyangkut sumber minyak dan gas di Blok Cepu yang begitu seru. Juga tentang Freeport McMoran dan berbagai sumber-sumber tambang yang mengisi perut bumi Indonesia. Apa yang terjadi dengan semua itu?
Dari waktu ke waktu. Dari kontrak karya ke kontrak karya lainnya......plot cerita dan deritanya hampir sama.
11 Agustus 2004, Widya Purnama diangkat menjadi Dirut Pertamina, menggantikan Ariffin Nawawi. Lima belas hari kemudian, 26 Agustus 2004, kerjasama ExxonMobil dan Pertamina di Blok Cepu dihentikan. Alasannya, ExxonMobil tidak beritikad baik.
Presiden AS, George W. Bush meradang. Dan Bush, konon mengagendakan hal itu pada saat berbicara dengan Presiden RI. Saat keduanya berjumpa di pertemuan APEC, di Cili November 2004.
Entahlah apa isi pembicaraan itu,
Bagi Bush, kehadiran ExxonMobil di Blok Cepu adalah sebuah keharusan. Dan, Bush merasa perlu ‘menekan’. Sebab, ExxonMobil kabarnya menyumbang US$ 2,8 juta kepada Bush dalam pemilu presiden 2004. Angka ini belum terhitung sumbangan-sumbangan lain terhadap orang-orang di sekitar Bush.
29 Maret 2005, Pulang dari Cile, pemerintah langsung berbenah. Meneg BUMN membentuk tim perunding dengan ExxonMobil. Tim itu diketuai Martiono Hadianto, yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Anggota tim 10 orang, terdiri dari Martiono, Roes Aryawijaya, Lin Che Wei, Muhammad Abduh, Umar Said, Mustiko Saleh, Iin Arifin Takhyan, Achmad Rochjadi, M. Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng.

Dalam daftar itu tidak tampak nama Widya Purnama. Direksi Pertamina hanya diwakili Mustiko Saleh, Wakil Direktur Utama Pertamina. Sedangkan semua anggota komisaris Pertamina ada di sana. Lin Che Wei adalah tenaga ahli Meneg BUMN, Sugiharto yang menjabat sebagai sekretaris dalam tim tersebut. Sedangkan M. Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng konon adalah orang dekatnya Aburizal Bakrie yang kala itu masih menjadi Menko Perekonomian.

Perebutan soal siapa pengelola Cepu ini memang sudah cukup lama. Sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid, Exxon sudah berulangkali melobi pemerintah agar bisa lolos. Begitu juga ketika Presiden Megawati. Tapi belum juga ada keputusan bulat. Kwik Kian Gie, konon merupakan menteri yang paling getol menolak Exxon.
Tarik ulur pengelolaan Cepu kembali marak setelah pertemuan di forum APEC itu. Pertamina dan Exxon masing-masing ngotot agar bisa menjadi pengelola. Keduanya merasa mampu mengelola lapangan minyak dan gas tersebut. Pertamina didukung oleh sebagian tokoh-tokoh kritis yang peduli terhadap nasib bangsa: Bangsa Indonesia. Exxon juga didukung mereka yang peduli nasib bangsa: Bangsa Amerika.
Lebih dari enam bulan, perang wacana dan perang data diluncurkan. Pemerintah mendapat tekanan dari tokoh-tokoh kritis dan anggota DPR agar Pertamina lolos. Pemerintah juga mendapat tekanan dari Amerika agar Exxon lolos. Entahlah apa alasannya. Hasil akhirnya, tekanan Amerika lebih dipertimbangkan: mereka (di)menang(kan).
Ahaa…..sebesar apa toh pepesan yang diperebutkan itu?
Menurut hasil kajian Humpuss Patragas (pemilik pertama blok ini), cadangan minyak yang bisa dieksploitasi mencapai 2,6 miliar barrel, dengan total produksi nantinya 170 ribu barel per hari. Kelak miliaran dolar akan bisa diraih dari sumber minyak dan gas ini.

Soal teknologi, Pertamina dengan pengalaman selama 48 tahun yakin betul mampu karena eksplorasi Blok Cepu ini memang relatif lebih mudah. ”It’s peanut”, begitu kata Widya Purnama ketika aku ketemu sendiri dengan dia. Soal pendanaan juga tidak terlampau susah.
Dengan cadangan yang luar biasa, bank mana yang tidak berminat membiayainya?

Namun, tarik-menarik berbagai kepentingan begitu kuat terasa. Pemerintah Amerika berkali-kali menekan agar Exxon dimenangkan, bahkan Presiden Bush sesekali turun tangan. Pemerintah cq. Wapres mengatakan bahwa, operasional Cepu bukan masalah nasionalisme tetapi profesionalisme. Menneg BUMN memberi prasyarat untuk mengelola Cepu adalah modal, sistem logistik, kemampuan teknologi, dan pengalaman eksplorasi daerah lain. Dan jika diperbandingkan antara Pertamina dan Exxon, maka pernyataan itu mengarah ke Exxon. Lalu, penegasan Presiden bahwa Pertamina akan di-overhaul menyiratkan bahwa Pertamina perlu berbenah diri dulu. Tergusurnya Widya Purnama dari dirut Pertamina, menjadi penutup cerita. Sebab, selama ini dialah yang paling ngotot agar Pertamina yang mengelola lapangan Cepu.
Dan............. Tuhan Maha memahami bahasa setiap makhluk-Nya dan tidak meminta orang hutan belantara pedalaman menggunakan bahasa pesisir, karena sepatah kata bisa menentukan apakah sebilah pedang disarungkan atau ditancapkan.

Namun, kata akhir dari semua itu ada di tangan Presiden…………

Prinsipnya hanya satu, konstitusi Negara Republik Indonesia ini dengan tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Senin, 13 Maret 2006. Pengelolaan tambang minyak Blok Cepu yang ramai dibicarakan masyarakat akhirnya berhenti dengan disepakatinya kerjasama Pertamina-Exxon tentang oganisasi pengelolaan bersama. Dalam Joint Operation Agreement (JOA) yang struktur organisasinya tertuang dalam Cepu Organization Agreement, Exxon resmi menjadi 'komandan' dalam pengelolaan ladang minyak dan gas di Cepu. Dan
Pertamina, sebagai pihak yang memiliki lapangan tersebut, cukup dijadikan wakil saja.

Rabu, 15 Mar 2006, Menlu AS Condoleeza Rice berkunjung ke Indonesia.

Dan, karpet merah kinyis-kinyis digelar……..
“Welcome, Condy”, begitu sapa ramah para pemimpin negeri …..
Dan, dengan segera pula Condoleeza Rice menjawab, “Well done, sir.”.
Ah....tapi …. inikah Babad Indonesia Raya?
Kantukku hebat berkecamuk. Hari sudah jelang subuh. Petang akan segera berganti pagi. Tapi si bintang, sebelum pamit ke asalnya, membawa ingatanku ke pertengahan tahun 1700-an. Kepada sepotong surat perjanjian, dari seorang Gusti Kanjeng Paku Buwono II, salah seorang cucu Amangkurat II kepada penjajah Belanda.
Kala itu, 11 Desember 1749, kepada Kompeni Belanda, Gusti Kanjeng Paku Buwono II menuliskan suratnya. Sebuah surat perjanjian, yang kemudian ternyata berulang kali ditiru para kanjeng susuhanan lainnya di generasi-generasi berikutnya. Begini bunyi surat itu:
"Inilah surat perkara melepaskan serta menyerahkan terhadap keraton Mataram, dari kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Panatagama, ialah dikarenakan oleh perintah Kanjeng Kumpeni yang agung itu, keratuan ini diserahkan kepada Kanjeng Tuwan Gupernur serta direktur di tanah Jawa Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf.
Hamba,
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama."
Ok…….Well done, tuan raja……..
Lalu akupun tertidur. Nyenyak betul tidurku. Senyenyak tidurnya Kumbakarno di Panglebur Gongso, karena tidak tega melihat kekejaman kakaknya. Rahwana**

0 komentar: