Jumat, 09 April 2010

NUSANTARA


Hanya bangsa yang menguasai masa kini dan masa lalunyalah yang akan bisa berjaya
menyongsong masa depannya.


WAKTU pertama kali mendengar rencana Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk menggali Trowulan, ingatan saya pun terseret pada Pompeii. Ya…Pompeii, kota zaman Romawi kuno yang terkubur letusan Gunung Vesuvius tahun 79 M, dan meniti proses pelahiran kembali dengan begitu sempurna. Bangunan-bangunan rumah dan toko-toko dari berabad silam di kedua sisi decumanus—jalan-jalan yang merentang dari timur ke barat—dan cardus—jalan yang merentang dari utara ke selatan—seakan begitu saja hadir membekukan jarum jam masa penguburan Pompeii selama 17 abad dan menjadi kontras di millennium ketiga. Sungguh luar biasa.
Dibanding Pompeii, masa ‘penguburan’ Trowulan relative lebih pendek, setidaknya bila dihitung sejak periode kemunduran serius Majapahit, seiring dengan mangkatnya Hayam Wuruk—raja Majapahit yang paling berhasil—pada tahun 1389 hingga penelitian Wardemaar pada tahun 1855. Hanya saja, jika Yunani telah berhasil menggali Acropolis di Athena, Italia dengan Pompeii, Kamboja dengan Angkor Wat, dan Peru masih setia merawat Machu Picchu, maka kita, sampai saat ini belum juga kunjung tuntas menggali Trowulan secara sempurna. Karena itu, aku pun menaruh banyak harap pada rencana pemerintah pusat untuk menggali kembali situs Trowulan secara serius.
Saya membayangkan Trowulan—sekitar 60 km barat daya Surabaya—bekas kota Kerajaan Majapahit yang dibangun berbilang abad lalu di ujung penghabisan jajaran Gunung Pananggungan, Gunung Welirang dan Gunung Anjasmoro ini akan menjadi sebuah teladan bernas dan khas Nusantara bagi pembangunan kota-kota di negeri ini yang kian abai pada jati dirinya, serta serba seragam. Lebih dari itu, di tengah situasi kebangsaan yang mulai letih karena kehilangan teladan dan simbol akibat gerusan persoalan dan mara bencana yang tak kunjung usai, saya kira, kita membutuhkan inspirasi yang dapat membantu kita menemukan jati diri sebagai bangsa. Dan dari ratusan kerajaan yang sempat hadir di bumi Nusantara, Majapahit adalah inspirasi yang tiada duanya.
Kerajaan ini mulai dirintis Raden Wijaya pada tahun 1292 di Hutan Tarik dan kemudian mencapai masa gemilang pada 1300-an. Bukan saja wilayah yang jejaknya terlacak dari Timor sampai Semenanjung Tanah Melayu, seperti Tumasik (Singapura sekarang), tetapi yang tak kalah penting dari kehadiran Majapahit dengan patih kenamaannya—Gajah Mada—adalah pada terjadinya perubahan geopolitik yang tidak hanya berkutat pada sekitar Kediri, Singhasari, atau Jawa belaka, tetapi menjangkau jauh: Nusantara.
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”
Menurut kitab yang ditulis Empu Prapanca, Nagarakretagama sebagaimana transkripsi Slamet Mulyana (1979), wilayah Majapahit—Nusantara—mencakup sebagian besar wilayah Indonesia modern ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei, dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Di dalam kitab yang oleh UNESCO pada pada tahun 2008 dimasukkan di dalam The Memory of the World Regional Register for Asia/Pacific ini diinformasikan pula persahabatan Majapahit dengan Siam, Ayudyapura, Darma nagari, Marutma, Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana.
Hanya sayang, kejayaan Majapahit begitu cepat berlalu. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab. Menurut Daldjoeni (Geografi Kesejarahan, 1984), mulai mundurnya Majapahit mungkin bukan hanya karena mangkatnya dwitunggal Hayam Wuruk/Gajah Mada, tetapi juga berhubungan dengan mundurnya fungsi delta Brantas oleh rentetan bencana geomorfologis—di dalam Kitab Pararaton disebut bencana Pagunung Anyar yang oleh sejumlah kalangan diduga sebagai erupsi jalur gunung lumpur yang kurang lebih serupa dengan apa yang terjadi dengan luapan lumpur di Porong, Sidoarjo dewasa ini—yang dalam buku-buku sejarah tidak pernah ditulis.
Meruapnya Kerajaan Majapahit dari bumi Nusantara, merendam pula nama Nusantara di dalam lumpur dalam. Tak lama kemudian, muncullah kerajaan Islam di Demak, Jawa Tengah, juga dalam kurun tidak terlampau lama dan untuk kemudian digantikan Kerajaan Mataram. Hampir dalam waktu bersamaan, masuk pula bangsa-bangsa Eropa yang memburu rempah-rempah di Kepulauan Nusantara.
Dalam catatan seorang kelana Portugis, Tome Pires (The Suma Oriental) disebutkan bahwa ia bersama Enrique Leme, utusan Gubernur Jenderal Portugis, d’Alboquerque, tiba di Sunda Kelapa (Jakarta skarang) pada tahun 1522. Utusan Gubernur Jenderal Portugis yang bermarkas di Malaka ini datang ke Sunda Kelapa untuk menjalin sebuah kesepakatan persahabatan. Kesepakatan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 ini diduga merupakan perjanjian internasional pertama di negara kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Indonesia. Namun, sebelum kesepakatan itu dijalankan, datanglah pasukan Sultan Trenggana dari Demak yang dipimpin Fatahillah—panglima pasukan Cirebon yang bersekutu dengan Demak—menghalau Portugis.
Namun demikian, hal itu tidak menyurutkan para pengelana Eropa lainnya untuk memasuki Pulau Jawa, yang dalam tawarikh awal Masehi sudah dikenal oleh bangsa Yunani dan Roma dengan nama Iabadiou. Hanya saja, bagi sebagian besar bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Nusantara, Asia hanyalah Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya bernama sama, Hindia. Semenanjung Asia Selatan, mereka sebut ‘Hindia Muka’ dan daratan Asia Tenggara, mereka namai ‘Hindia Belakang’. Sedangkan kawasan Indonesia—kini—mereka namai ‘Kepulauan Hindia’—Indische Archipel, Indian Archipago, l’Archipel Indien—atau ‘Hindia Timur’—Oost India, East Indies, Indes Orientales—selain juga muncul nama ‘Kepulauan Melayu’—Maleische Aschipel, Malay Archipago, l’Archipel Malais.
Oleh para pedagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang tiba di Jayakarta (nama Sunda Kelapa setelah datangnya Fatahillah) pada 13 November 1596 dan kemudian menguasai Jawa, nama Kepulauan Nusantara pun diganti menjadi Hindia-Belanda. Nama ini semakin kokoh setelah VOC bangkrut dan kekuasaan atas pulau-pulau di Nusantara diserahkan kepada Kerajaan Belanda. Sejak itu pula, nama Nusantara pun seperti betul-betul lenyap dari muka bumi.
Sampai kemudian, pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Doewes Dekker, yang kemudian dikenal sebagai Dr. Setiabudi, cucu dari adik Multatuli—penulis roman Max Havelaar yang juga sempat mengusulkan nama Insulinde untuk menggantikan Hindia-Belanda—memperkenalkan nama Nusantara. Nama ini diambil dari Serat Pararaton, naskah kuno Majapahit yang ditemukan di Bali pada abad ke-19 dan diterjemahkan oleh J.L.A.Brandes serta diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Hanya saja, nama Nusantara yang diusulkan Dr Setiabudi ini mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan pengertian Nusantara sebagaimana diucapkan Gajah Mada yang merupakan lawan dari Jawadwipa. Nusantara versi Setiabudi bermakna nusa—pulau—diantara dua samudra, sehingga Jawa pun termasuk di dalam definisi Nusantara.
Namun, tawaran perubahan pemaknaan atas Nusantara itu tidak terlampau menjadi perhatian serius. Para perintis kemerdekaan nampaknya lebih terfokus pada konsep Nusantara sebagai capaian geopolitik masa Majapahit yang kemudian dijadikan landasan atas klaim tentang Indonesia yang bukan disatukan oleh kolonialisme Belanda, tapi oleh masa silamnya yang gemilang yang bernama Nusantara. Pada masa itu, semangat seperti ini sangat penting untuk menegaskan bahwa, sebagai ‘bangsa’, Indonesia memiliki akar-akar sejarah kesatuan yang lebih kokoh—dan tentu saja lebih terhormat—ketimbang kolonialisme.
Menurut MC Ricklefs (A History of Modern Indonesia Since C.1200), memori akan kebesaran Majapahit hidup terus di Indonesia dan dianggap telah memunculkan gagasan awal tentang batas-batas politik yang digunakan RI saat ini. Pandangan sebagaimana disebutkan Ricklefs itu seperti dihidupkan kembali pada peringatan ulang tahun ke 41 Korp Strategi Angkatan Darat (Kostrad) pada tahun 2001. Kala itu, Kostrad menggelar pertunjukan berjudul Sumpah Amukti Palapa. Menurut Letjend TNI Ryamizard Ryacudu, Pangkostrad kala itu, upaya ini dilakukan untuk menunjukkan apa yang disebutnya sebagai kebesaran bangsa di masa lalu, serta menegaskan tekad Kostrad untuk mempertahankan NKRI.
Hanya saja, sebagaimana proses pencarian identitas, pun pada identitas sebuah bangsa, hampir selalu terjadi perdebatan sengit. Pada paruh 1930-an misalnya, kita bisa mengingat debat sengit para cendekia kala itu—Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Sanusi Pane, Purbatjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M.Amir, Ki Hadjar Dewantoro—yang didokumentasikan Achdiat K Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1948). Debat menghebohkan itu dimulai dari tulisan STA yang bertajuk: “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia.”
Menurut STA, sejarah Indonesia barulah dimulai pada abad keduapuluh, yaitu ketika lahir satu generasi baru di lingkungan Kepulauan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya. Bagi STA, era sebelum itu hingga abad keduapuluh adalah zaman pra-Indonesia, …….zaman jahiliyah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Ost-Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain. Menurut STA, sejarah masa lampau yang diagungkan seperti Majapahit dan Sriwijaya bukanlah didasarkan pada keinsyafan akan kepentingan dan akan cita-cita bersama, tetapi lebih menyerupai pendudukan atas daerah-daerah lain yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang diduduki……dan tiada sekali-kali terdapat hakikat semangat Indonesia….Bagi STA, persatuan Indonesia tiadalah berurat berakar pada masa yang silam, tetapi pada harapan kemuliaan di kemudian hari. Karena itu, cara yang kemudian diajukan STA agar masyarakat Kepulauan Nusantara yang statis menjadi hidup dan dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas adalah dengan mencontoh bangsa maju Eropa, Amerika, Jepang. Menurut STA, setelah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Arab, maka sudah waktunya bagi bangsa Indonesia untuk mengarahkan mata ke Barat. STA juga mengkritik keras orang-orang yang dengan tiada sengaja dan tiada insyaf meninabobokan rakyat banyak dengan ucapan-ucapan kosong dan tidak berarti: Timur halus budinya, sedangkan Barat egoistisch, materialisch, dan intellectualistich…….
Reaksi atas artikel STA pun kontan bermunculan. Ssalah satunya dari Sanusi Pane. Menurut Pane, “sungguh boleh jadi ada yang disebut imperialisme Sriwijaya, Majapahit, Mataram, tetapi hal itu tidak bertentangan dengan keindonesiaan.” Lebih lanjut, Pane juga menuliskan bahwa….haluan yang sempurna adalah menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme. Banyak kalangan yang mendukung pendapatan Pane, tetapi juga tidak sedikit yang mendukung pemikiran STA.
Debat dan bahkan ketegangan pencarian identitas pada masa awal kebangkitan nasional juga terjadi antara kelompok santri dan kelompok abangan—menyangkut runtuhnya Majapahit. Menurut klaim kelompok abangan yang sebagian besar menjadi anggota Boedi Oetomo, sebagaimana disebutkan M.C. Ricklefs (Polarizing Javanese Society: Islamic and Other Visions, 1830-1930), kehadiran Islamlah yang menjadi penyebab keruntuhan Majapahit. Klaim ini disanggah keras kelompok santri yang menunjukkan fakta bahwa, setelah Hayam Wuruk mangkat pada 1389, Majapahit mengalami kemunduran serius, dan pada saat itu belum ada kerajaan Islam di Jawa.
Menurut Bernard H.M. Vlekke (Nusantara: A History of Indonesia, 1965), yang sesungguhnya terjadi selama periode kemunduran Majapahit adalah, armada asing dari Cina mulai menguasai jalur perdagangan di Nusantara. Dan memasuki abad ke-15, para pelaut Eropa (Spanyol dan Portugis) mulai berdatangan, merapat di pantai-pantai Jawa. Dua kekuatan besar ini memainkan peran yang sangat penting atas semakin terpinggirkannya kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa pada satu sisi, dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di sisi lainnya.
Saya mencoba membayangkan hidup pada masa bangkitnya pergerakan nasional dan pencarian identitas kebangsaan itu………Aku kira, pemerintah colonial Belanda cukup ngeri dengan proses pencarian identitas yang merujuk pada kejayaan Majapahit: Nusantara, dan bukan tidak mungkin mereka melihatnya sebagai gerakan subversive karena ia menyiratkan kesatuan Indonesia di masa silam sebelum datangnya koloni Belanda. Bagi Belanda, aku kira, Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah tak pernah ada kecuali setelah mereka datang, yakni dengan terciptanya Hindia Belanda.
Tapi, ada pertanyaan lain yang tak kalah menggelitik. Apakah dengan semua itu akar sejarah Nusantara berarti hanya berhenti pada kebesaran Majapahit?
Aku kira, dari temuan Eugene Dobois dengan fosil Phithecanthopus erectus dan Von Koenigswald dengan fosil Homo Mojokertensis, lintasan peradaban dan kebudayaan Nusantara jauh melampaui masa kebesaran Majapahit. Catatan George Coedes (Les Etat Hindouises et d’Indonesie) yang menulis bahwa Nusantara sebelum datangnya kebudayaan Hindu dan Budha telah memiliki kebudayaan sendiri seperti bercocok tanam, seni bangunan, dan mengolah logam, kiranya meneguhkan pendapat bahwa akar manusia Nusantara termasuk perdabannya, sudah berumur sangat tua.
Menurut Denys Lombard (Le Carrefour Javanais Essai d H’Histoire Globale, 1990), setidaknya sejak 4.000 tahun SM Nusantara adalah kawasan budaya besar dengan hubungan maritim yang sudah permanen. Pernyataan Lombard ini nampaknya sejalan dengan teori migrasi besar Peter Bellwood (Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation). Menurut Bellwood, populasi Austronesia berasal dari Pulau Taiwan. Mereka masuk ke Nusantara 4.000 tahun yang silam melalui Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara, kemudian menyebar sampai ke Papua, lantas Pasifik, hingga Polinesia dan Mikronesia. Sejalan dengan Bellwood, Robert Blust (The Austronesian Homeland: Alinguistic Prespective) berpendapatan bahwa, persebaran bahasa-bahasa Austronesia berasal dari daratan Asia ke Formosa (Taiwan) dan Cina Selatan (Yunnan) sebelum sampai ke Filipina, Indonesia, kepulauan Pasifik dan Madagaskar.
Jika demikian, keberadaan manusia Indonesia saat ini samasekali tidak serupa dengan dongeng Isaac Newton yang kejatuhan apel dan kemudian merumuskan teori gravitasi bumi. Aku bahkan menjadi kian tercengang dengan teori Paparan Sunda yang sekaligus menyanggah gagasan migrasi besar dari Peter Bellwood sebagaimana diajukan Stephen Oppenheimer dalam bukunya yang cukup menghebohkan, Eden in the East: the Drowned Continent of the Southeast Asia, yang terbit persis ketika bangsa ini berada di puncak krisis 1998.
Menurut Oppenheimer, peradaban-peradaban maju di dunia merupakan buah karya manusia yang pada mulanya menghuni Kepulauan Nusantara. Landasan argumen Oppenheimer adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak jaman es (last glacial maximum) sekitar 20.000 tahun lalu. Kala itu, muka air laut masih berada sekitar 150 meter di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Nusantara bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal dengan Paparan Sunda (Sundaland). Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar di berbagai penjuru dunia. Daerah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Paparan Sunda malah menjadi pulau-pulau yang terpisah: Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali. Padahal, waktu itu, kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia pra-sejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.
Karena itu, ketika banjir besar melanda, terjadilah diaspora para penghuni kawasan Paparan Sunda. Mereka menyebar ke Barat hingga India dan Mesopotamia, ke Timur lalu menghuni Kepulauan Pasifik, dan ke Utara sampai Cina dan Jepang, bahkan terus menyebrang ke Amerika lewat Selat Bering. Menurut Oppenheimer, diaspora ini cocok dengan rekonstruksi sebaran linguistic terbaru Johanna Nichols yang menganggap Asia Tenggara sebagai pusat penyebaran bahasa-bahasa dunia setelah akhir jaman es. Hal ini bertentangan dengan teori umum yang banyak dianut, yang meletakkan tempat bahasa-bahasa asal di Asia Timur—Tibeto, Burma, Thai, Kadai, Austroasiatik, dan Austronesia—di Timur Himalaya, tempat sungai-sungai besar di daratan Asia berhulu. Namun, Oppenheimer juga merujuk pada sintesa empat pakar arkeologi yang meyakini bahwa, kawasan ex-Paparan Sunda adalah pusat diaspora manusia pada akhir jaman Es.
Secara arkeologi, sejumlah bukti menunjukkan bahwa kawasan Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir terjadi. Pada 1991, ditemukan kerangka manusia di Gua Song Keplek, Desa Pagersari, Kecamatan Punung, Pacitan, Jawa Timur. Usia kerangka ini antara 9.500 sampai 5.000 tahun (hitungan karbon) dan 7.000 tahun dengan pengukuran uranium-thorium. Kendati demikian, masih belum jelas apakah kerangka manusia ini benar-benar Mongoloid ataukah Austromelanosoid (sebelum digantikan oleh Mongoloid). Kemudian, Oktober 2003 di Gua Pawon, Desa Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, ditemukan tiga kerangka manusia yang diperkirakan seusia dengan kerangka Song Keplek. Seandainya manusia Pawon dan Song Keplek adalah ras Mongoloid, maka barangkali migrasi dari Taiwan sudah berlangsung lebih dini daripada 4.000 tahun yang silam. Tetapi seandainya ras kedua kerangka manusia itu adalah Austromelanosoid, maka Teori Paparan Sunda yang dipopulerkan Oppenheimer nampaknya mendapat angin segar dan tidak bisa lagi dipandang sebagai sindrom post-kolonialisme.
Bagi Oppenheimer, orang-orang Sumeria yang selama ini dianggap sebagai peletak dasar peradaban di Mesopotamia adalah orang-orang yang berasal dari Nusantara. Kesamaan benda-benda neololitik yang ditemukan di kawasan Nusantara dan Mesopotamia sekitar 7.500 tahun lalu menjadi salah satu bukti. Ciri fisik orang Sumeria yang bermuka lebar (brachicepalis) dan wajah tipikal orientalis patung-patung wanita Sumeria adalah beberapa bukti lainnya. Bahkan, tokoh legendaries Uthnapishtim, yang dalam wiracarita Gilgamesh dan daftar raja-raja Sumeria disebut sebagai satu-satunya orang yang selamat dari banjir besar, sehingga dianggap sebagai prototype ‘Nabi Nuh’, tidak lain adalah personifikasi migrant dari Nusantara. Dalam legenda Babilonia, kedatangan migrant Nusantara yang direkam dalam kisah Tujuh Orang Bijak yang datang dari laut (Timur) membawa berbagai ketrampilan dan pengetahuan baru, menjadi peneguh lain bagi Oppenheimer. Kisah serupa juga terdapat di Hindukush (pusat peradaban Indus kuno) dan dimuat dalam Buku Kematian Mesir kuno. Sementara itu, dalam berbagai varian, legenda ini masih tersebar luas di Kepulauan Nusantara hingga Pasific.
Oppenheimer tidak berhenti sampai di situ. Ia mengungkapkan bahwa kisah bertema penciptaan Adam-Hawa hingga sengketa Kaen-Habel (Qabil dan Habil) ternyata tersebar luas di Asia dan Pasific. Di New Zealand, orang Maori menyebut wanita pertama sebagai “Eeve’ (Eva/Hawa). Dalam berbagai mitos di kawasan ini, manusia pertama dibuat dari lempung merah. Kisah sengketa dua saudara kandung juga populer di Papua Nugini dengan tokoh bernama Kullabop dan Manup. Karena itu, Oppenheimer yakin bahwa, kisah kejadian dunia (Genesis) aslinya berasal dari Nusantara, sehingga ia menganggap Nusantara—Asia Tenggara—sebagai Taman Firdaus (Eden in the East). Dan dari sini kemudian sempat pula muncul sinyalemen bahwa Sundaland adalah the Lost Atlantis—pulau legendaries yang pertama kali disebut Plato dalam buku Timaeus dan Critias.
Dalam catatannya, Plato menulis bahwa Atlantis terhampar "di seberang pilar-pilar Herkules", dan memiliki angkatan laut yang menaklukan Eropa Barat dan Afrika 9.000 tahun sebelum waktu Solon, atau sekitar tahun 9500 SM. Setelah gagal menyerang Yunani, Atlantis tenggelam ke dalam samudra "hanya dalam waktu satu hari satu malam".
Sampai di sini, ingatanku terseret pada tulisan alm. Romo Brouwer (MAW Brouwer), di harian Kompas di tahun 80-an. “Tuhan tengah tersenyum waktu menciptakan tanah pasundan,” begitu tulisannya yang masih aku ingat. Tapi aku tidak tahu, apakah Brouwer semasa hidup pernah bertemu dan berdiskusi dengan Oppenheimer sebelum ia menerbitkan Eden in the East?
Hal yang agaknya cukup jelas adalah bahwa, di dalam buku-buku Oppenheimer yang lebih baru, Out of Eden (2004) maupun Origins of the British (2007), tesis tentang paparan Sunda yang diajukannya itu samasekali tidak disebutkan. Ini cukup mengherankan karena pro-kotra tesis Oppenheimer masih terus semarak hingga kini.
Terlepas dari segala kontroversi tentang berbagai teori tentang muasal Nusantara dengan berbagai kegemilangannya di masa lalu, tidak sedikit orang yang menyebutkan bahwa, Nusantara kita adalah sebongkah sorga yang jatuh ke bumi. Kata-kata itu memang kias atas kesuburan dan kekayaan alam negeri ini yang memang luar biasa. Walau sayangnya, semua kekayaan yang tersimpan di dalam perut bumi Nusantara itu ternyata tidak kunjung menjadikan anak-anak bangsa ini terbebas dari kemiskinan dan keterhinaan. Bukan hanya itu, atas nama nafsu dan kepentingan jangka pendek, satu demi satu warisan masa lalu, mozaik-mozaik yang mewakili jaman-jaman yang silam, akar-akar sejarah yang menumbuhkan pepohonan dan buah-buah tradisi di masa kini, disirnakan dengan cara yang teramat mengerikan.
“Bata-bata merah kuno dalam timbunan tanah teriris, terbelah, terkepras, terkoyak. Begitu pula bejana terakota, tergempur menjadi gerowong dan berantakan. Itulah nasib situs Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, melalui foto-foto yang dipaparkan ahli arkeologi dari Universitas Indonesia, Prof Dr Mundardjito. Tidak seperti Pompeii yang pernah terkubur dan kemudian ditemukan kembali setelah sekitar 1.700 tahun, Majapahit yang riwayatnya begitu dekat dengan masa kini kita dikoyak-koyak dikarenakan alasan kepedulian sekaligus ketidakpedulian. Itulah Trowulan kini, dalam proyek pembangunan Trowulan Information Center,” tulis harian Kompas (5 Januari 2009).
Beberapa bulan sebelum gegeran penggalian situs Trowulan, sejumlah media massa mengabarkan berita hilangnya puluhan naskah kuno koleksi museum tertua di Indonesia, Museum Radya Pustaka, Solo, setelah hilangnya sejumlah koleksi arca dari museum ini. Sebelum itu, juga terbetik kabar bahwa, sekitar 500 naskah kuno dan benda pusaka seperti keris dan kujang asal Cirebon tengah dalam penawaran kolektor dari Malaysia, dengan harga Rp 300.000,00 untuk setiap benda kuno.
Pengambilan secara paksa maupun sukarela warisan dari masa lalu Nusantara memang telah berlangsung sejak masa penjajahan. Kepulangan Raffles seusai tugasnya yang tidak terlampau lama di Jawa dengan memboyong—konon dikabarkan—lebih dari enam ton dokumen naskah kuno dari Nusantara menjadi sedikit contoh. Menurut katalogus yang disusun MC Ricklefs dan P Voorhoeve, telah sejak abad ke 17 naskah-nakah kuno dari Nusantara berada di Inggris dan kini tersebar di 20an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris, sebagian besar berada di British Library dan School of Oriental and African Studies.
Banyaknya jumlah naskah kuno yang pindah-paksa atau dengan sukarela dari bumi Nusantara ke Negara-negara Eropa—dan belakangan naskah-naskah kuno Melayu dari Riau dan berbagai daerah di Sumatra yang ‘dipindahpaksa ke Malaysia—memang cukup mencengangkan. Menurut Uli Kozok, dari naskah asli Bataknya saja, ada sekitar duaribu lebih—seribu diantaranya terbuat dari kulit kayu—saat ini berada di negeri Belanda dan Jerman. Menurut Assosiate Professor pada Department of Hawaiian and Indo-Pacific Languages and Literatures di University of Hawai'I, USA ini, ribuan naskah asli adat Batak itu dibawa ke luar negeri ketika masa penjajahan Belanda dan masa Zending (Penginjil) I.L Nomensen di tanah Batak.
Bagi Uli, ribuan naskah Nusantara itu relative lebih aman dan terjamin kelestariannya jika berada di luar negeri, karena kalau di luar negeri peluang untuk diperjualbelikan atau disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab jauh lebih kecil. "Selama ini di Indonesia banyak benda budaya yang seharusnya dirawat tetapi malah diperjualbelikan. Makanya lebih baik dan lebih aman jika naskah-naskah asli tersebut berada di luar negeri," tutur Uli pada Kantor Berita Antara.
Pendapat Uli ini sungguh menyakitkan bagi kita. Namun, saya kira kita harus jujur mengakui bahwa, sebagai bangsa kita memang belum mampu untuk berbuat lebih arif pada peninggalan masa lalu. Walaupun misalnya, jauh di masa lalu, nenek moyang kita, melalui Amanat Galunggung (Kropak 632) misalnya, sebagaimana ditranskripsi E.S. Ekajati, telah menyindir anak-cucunya di masa kemudian…….“hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma baheula aya tu ayeuna, henteu ma baheula henteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna.”
Ada jembatan yang sinambung dari masa ke masa, dari dulu ke kini, dari kini ke dulu, yang kemudian dengan baik diingatkan George Orwell dalam novelnya yang memukau, “1984”. Kata Orwell, hanya bangsa yang menguasai masa kini dan masa lalulah yang akan bisa jaya menyongsong masa depan. Lalu, bagaimanakah dengan kita? Anak-turunan bangsa Nusantara?**(IBA)

0 komentar: