Jumat, 09 April 2010

LENGAH DI JALAN TENGAH



Kita tidak hendak meniadakan perbedaan, bahkan pertentangan. Namun demi menjaga hidup bersama dan hidup sesama, kompromi tidak berarti sebuah tindakan keji.

SEKIRANYA pada akhir Mei-Juni 1945, para pemuda hanya memikirkan tatanan demokrasi yang disimplifikasi sebagai sekadar pungutan suara dalam memutuskan pondasi-pondasi utama dari sebuah Negara yang baru terbentuk kemudian pada 17 Agustus 1945, barangkali mereka akan menghasilkan versi yang berbeda samasekali. Bangsa ini mungkin tidak akan menemukan apa yang kita kenal kini sebagai Pancasila. Untungnya pula, sejarah tidak pernah mengenal seandainya, dan memang tidak akan pernah mengenalnya.

Namun saya kira, ini bukan perkara pemahaman generasi 1910-1930 terhadap demokrasi lebih buruk dari generasi sekarang. Apa yang terjadi kala itu justru sebuah fragmen sejarah kebangsaan yang sangat luar biada. Di hadapan situasi Indonesia sekarang, para pendiri negeri ini, justru mempertontonkan nalar yang cerdas, cita rasa yang peka, dan jiwa besar yang saya kira makin sulit kita dapati saat ini.

Pada situasi now or never, mereka tidak bertele-tele berdebat siapa nanti yang menjadi raja pertama Negara Indonesia. Atau berdagang sapi, siapa nanti yang bakal jadi menteri perkulakan, atau siapa yang nanti jadi menteri perbekalan.

Mereka bermusyawarah dulu tentang filsafat hukum apa yang sepantasnya nanti mendasari Negara Indonesia. Filsafat hukum yang meng-kelir-kan suasana batin seluruh tatanan sebuah Negara. Tentu, seru betul suasana musyawarah kala itu. Namun mereka begitu bijaksana, arif, cerdas, sistematis, ambek-paramaarta, tahu mana yang prioritas hulu dan mana yang hilir kemudian.

Padahal pada saat itu, pendidikan rakyat secara rerata sangatlah rendah. Pada tahun 1941, jumlah sarjana bangsa Indonesia baru sekitar 35 orang. Jumlah ini hanya separuh dari jumlah raja-raja lokal yang ada di seluruh Nusantara kala itu. Tapi saya kira, perbandingan ini tidaklah terlampau penting. Bukan apa-apa, tetapi karena barangkali tidak ada hubungan antara derajat kesarjanaan dengan kebijaksanaan dan kearifan seseorang.

Walaupun.....ah..sejatinya aku juga tidak terlampau tahu, apakah dunia sekolah kita yang makin tidak terjangkau oleh kebanyakan rakyat Indonesia yang serba miskin, karena begitu mahal biayanya, memungkinkan peserta didiknya untuk mencapai tahapan kebijaksanaan dan kearifan?

Ketika asyik merenungi hal itu, aku pun tergoda pada tumpukan majalah lama. Baunya memang mulai menyesakkan. Tapi aku terkesiap dengan sebuah esei Goenawan Mohammad, yang dimuat Majalah Tempo edisi 15 Januari 1977.

Esai ini menceritakan seseorang yang disebut rekan dan punya ide untuk membuat film serta mengusulkan pada cukongnya agar filmnya nanti dibintangi Robert Redford. Dan begini si rekan menceritakan ide filmnya pada sang cukong.

"Suatu pagi, dari Gunung Merapi turunlah seekor macan dan masuk ke kampus yang bercat biru. Waktu itu belum ada dosen atau mahasiswa yang nampak di jalanan. Si macan langsung menyusup ke laboratorium. Di dalamnya kebetulan ada John John, seorang dosen yang mengajar ekologi, yang sejak subuh sudah asyik meneliti tabung-tabung beracun. Waktu ia melihat macan itu mendekat........"

"Terjadi perkelahian?", tanya cukong.

"Tidak", jawab si rekan. "Ini film intelektual. Jadi antara si macan dan John John terjadi diskusi. Yaitu tentang perataan pendapatan. Dan last but not least, tentang pendidikan universitas, karena macan itu sebetulnya ingin jadi mahasiswa Gajah Mada. Ia ingin belajar ekonomi, filsafat, ekologi, hukum tata negara, psikhologi sosial, statistik, kebatinan. Tetapi John John meyakinkannya bahwa itu mustahil. Harus pilih fakultas, lalu jurusan, karena ilmu di sekolah tinggi tak bisa dicari seperti makanan di hutan belukar. Di universitas, ilmu telah jadi makanan kalengan dan rasanya seperti jamu sariawan, apalagi jika dosennya payah".

"Lalu?"

"Macan itu mengurungkan niatnya: Goodbye, John John. Ia kembali ke Merapi, berburu ilmu dari hidup. John John terharu, karena memang begitulah sebaiknya anak muda: tak suka memuja sekolah tinggi, yang mahal tapi isinya pas-pasan".

"Apa mau Robert Redford jadi John John?" Tanya cukong.

"Lho, dia jadi macan", jawab si rekan.

Akupun membayangkan seorang gadis Jawa putri residen. Lewat satu abad lalu, di tengah tekanan adat yang begitu ketat, dan di usia yang masih sangat belia, tetapi ia begitu luar biasa dalam berburu ilmu dari hidup. Saat usianya belum genap 20 tahun, RA Kartini, begitu nama gadis Jawa itu, sudah membaca Max Havelaar karya Multatuli. Ia juga membaca De Stille Kraacht karya Louis Coperus, lalu Die Waffen Nieder, roman anti-perang karya Berta Von Suttner, juga roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, ditambah buku-buku karya Van Eeden dan Augusta de Witt.

Dalam sebuah surat bertanggal 27 Juni 1902 yang ditujukan kepada sahabatnya, Ny Abendanon, Kartini yang waktu itu baru berusia 21 tahun sebat menulis: "Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?"

Kartini yang perempuan. Kartini yang dihimpit adat, juga hidup di masa jerat penjajahan, tetapi jiwanya menembus semua kungkungan. Merdeka, tetapi tetap santun. Aku terharu membaca surat-surat Kartini yang sudah disatukan dalam sebuah buku, Door Duitsternis tot Licht. Dari Gelap Terbitlah Terang. Anggun, santun, tetapi cerdas, dan padat berisi.

Akupun lalu membanding-bandingkan dengan tulisan RM Soewardi, yang pada mulanya, pada tahun 1913 ditulis dalam bahasa Belanda, "Als ik eens Nederlander was", dan dimuat di Koran De Expres. Beberapa waktu kemudian, tulisan itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, dan dicetak menjadi brosur yang kala itu membikin heboh Hindia Belanda. Brosur "Seandainya Aku Orang Belanda" ini juga ditulis dengan bahasa sangat halus, cerdas, dan struktur kalimat yang sempurna.

Tulisan itu bertujuan mengejek Pemerintah Hindia-Belanda yang menggerakkan rakyat di wilayah jajahannya untuk ikut merayakan peringatan bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis.

"…Sebagaimana halnya orang Belanda yang nasionalis sejati mencintai tanahairnya, saya pun mencintai tanah air sendiri…. Alangkah gembiranya hati, alangkah nikmatnya dapat turut memeringati hari nasional yang demikian penting artinya."

Bagian awal tulisan Soewardi ini memang agak sukar di tebak arahnya. Namun, memasuki paragraf keempat, arah yang ingin disasar itu pelan-pelan mulai menyingsing.

"Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, rasanya memalukan dan tidak layak jika kita-dalam angan-angan saya, saya masih seorang Belanda-mengajak orang-orang pribumi turut bersorak-sorak dalam perayaan hari kemerdekaan kita."

Selanjutnya, masih dengan pengadaian sebagai orang Belanda, Soewardi membayangkan dirinya akan melakukan protes terhadap gagasan perayaan kemerdekaan di negeri jajahan. Ia mengandaikan dirinya akan menulis di surat-surat kabar bahwa betapa berbahanya mengadakan pesta kemerdekaan di negeri jajahan.

Pada seperempat bagian akhir tulisannya, Soewardi pun menulis sebuah kalimat dengan nada seperti Scarlet Pimpernal dalam Barones Orczy, yang baru saja membuka topengnya dan berujar: "Syukur alhamadulillah, saya bukan seorang Belanda."

Persis setelah kalimat yang membelokkan tulisan Soewardi ke arah yang lebih tegas itu, Soewardi lantas menulis: "Sekarang sebaiknya kita kesampingkan saja segala ironi."

Setelah kalimat itu, nada tulisan Soewardi kian jelas. Ada dua pokok yang disampaikan Soewardi secara tegas dan lugas di akhir tulisannya yang paling legendaris ini. Pertama, penolakan tegas dan tanpa kompromi akan ide perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia-Belanda. Kedua, tuntutan agar segera dibentuk sebuah badan perwakilan rakyat, semacam parlemen barangkali.

Menurut Takashi Shiraishi, tahun terbitnya brosur Soewardi ini semestinya dijadikan titik mula nasionalisme[1]. Alasannya karena brosur ini jauh lebih tegas dalam sikap dan pendirian ketimbang, misalnya, aktivitas penyadaran yang dilakukan Kartini atau berdirinya Boedi Oetomo yang masih bergerak dalam ruang lingkup yang masih bisa dimengerti dan diterima oleh orang-orang Belanda dan pemerintahan kolonial.

Tapi sudahlah. Saya tidak hendak memperdebatkan mana yang paling pas sebagai titik mulai nasionalisme Indonesia. Saya hanya mencoba menelusuri ketajaman dan juga kekayaan khasanah pemikiran generasi muda Indonesia pada awal abad 20 yang ternyata begitu cemerlang. Dan meski saat itu teknologi informasi belum sehebat sekarang, generasi muda kita ternyata mempunyai kepekaan luar biasa terhadap perkembangan global.

Dari sebuah surat kabar Doenia Baroe yang terbit tahun 1920-an, aku bisa merasakan kepekaan itu. Dari koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), pada edisi paling tua yang dimiliki PNRI, Rebo 20 Juni 1923 No. 25 Th ke II, jantungku dibuat terkesiap.

Surat kabar minguan yang lahir di Djokjakarta itu ternyata menyertakan Swastika, lambang Nazi (National Socialist German Workers' Party). Padahal, partai politik yang lahir di tengah konflik politik Jerman setelah Perang Dunia ke-1 ini baru berdiri pada tahun 1920, atau berarti hampir bersamaan dengan terbitnya Doenia Baroe.

Saya tidak menemukan alasan dari kenapa lambang Nazi ada di Doenia Baroe. Saya juga tidak menemukan tulisan tentang siapa yang membawa lambang itu dari Jerman ke Hindia Belanda, atau jangan-jangan justru dari Hindia Belanda kemudian dibawa ke Jerman.

Hanya barangkali, Doenia Baroe—atau mungkin sebaliknya—ingin mengambil semangat pemberontak dan pemecah kebekuan dan kelesuan yang terjadi di Jerman kala itu untuk memompakan rakyat Hindia Belanda agar bersama-sama bangkit melawan kungkungan penguasa kapitalisme Belanda. Dan memang pas dengan tagline yang disandangnya: "Mimbar Merdeka", Doenia Baroe menginginkan rakyat Hindia Belanda menjadi tuan dalam rumahnya sendiri tanpa merebahkan kepalanya di atas tanah. Doenia Baroe menganggap bahwa kolonialismelah yang mesti bertanggung jawab atas kesengsaraan yang menimpa tanah rakyat Hindia.

Pada tajuk yang berjudul "Kemana Djalan Kita?" edisi 1 Agustus 1923 dan ditulis Si Bodo, sang dag-redacteur (redaktur harian), surat kabar ini begitu tangkas menjelaskan kapitalisme dengan bahasa gamblang dan metafora yang tepat.

Menurut Si Bodo, Rahwana adalah pengejawantahan kaum kapitalis, yang diceritakan mempunyai Ajian Pantjasona. Oleh Si Bodo, kisah Rahwana disajikan menjadi penuh makna. Api, angin, dan air merupakan perlambang dari nafsu jahat manusia, nafsu menindas orang lain. Untuk memenuhi nafsu itu tak segan-segan manusia akan menghalalkan segala cara. Sementara untuk Ajian Pantjasona digambarkan Si Bodo sebagai perlambang kekayaan: "dengan kekajaan jang banjak itoe orang dapat beroemoer pandjang jaitoe bahwa kekajaannja tidak habis dimakan seanak tjotjoenja sampai beberapa toeroenan."

Si Bodo berkesimpulan bahwa perlawanan terhadap kapitalisme menjadi syarat untuk membebaskan kaum pribumi dari status kaum terperintah, kaum miskin, dan kaum tertindas. Untuk membebaskan dari ketertindasan itu diperlukan persatuan. Bagi Si Bodo untuk melawan kapitalisme tidak bisa dicapai dengan dasar kesukuan ataupun keagamaan karena itu tidak akan mampu menjawab keterpurukan yang terjadi.

Si Bodo menulis: "Perlawanan jang berdasar kebangsaan, ke Hindiaan tentoe tidak berarti dan masih berpoetar-poetar balik, boleh dikata memandjangkan gerak djalan kita sebagaimana kami katakan diatas, bahwa gelombangnja doenia ini terdjadinja boekan karena perbedaan manoesia, tetapi karena pengaroehnja kekajaan. Begitoe djoega dengan halnja perlawanan jang berdasar keagamaan, nistjaja amat soekar dilakoekannja, karena ketjoeali dari sebab-sebab jang lain-lain memang hal itoe beloem memoelangkan kepada keadaannja zaman jang menjebabkan doenia mendjadi banjak kesengsaraan sebagai adanja sekarang ini."

Sementara Mohammad Hatta dalam pleidoinya di Pengadilan Den Haag (1928) menegaskan, "…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…."

Dua tahun kemudian, juga dalam sebuah pledoi, di Pangadilan Bandung, Bung Karno menegaskan bahwa, "…imperialisme berbuahkan 'negeri-negeri mandat', 'daerah pengaruh'… yang di dalam sifatnya 'menaklukkan' negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional…."

Jangkauan pemikiran para pendiri Republik Indonesia ini ternyata begitu luar biasa kaya, visioner, dan begitu penuh percaya diri. Ini membanggakan sekaligus mengharukan.

Namun, bila ingatan kita kembali ditarik ke masa-masa sebelum Perang Dunia ke-2, bacaan nasionalisme yang paling berpengaruh saat itu saya kira bukanlah Pancasila, tetapi Sumpah Pemuda.

Lalu kenapa Pancasila yang menjadi landasan berbangsa kita?

Saya kira, menghadapi situasi tahun 1945, tidak ada satupun pilihan untuk menghindarkan jalan buntu, bahkan perpecahan, kecuali apabila ada sebuah rumus kompromi yang dapat disetujui bersama. Dan, rumus kompromi, formula jalan tengah yang kemudian disetujui bersama itu adalah Pancasila.

Dengan kata lain, Pancasila merupakan kompromi antara kekuatan-kekuatan histories yang bersama-sama menentukan hidup Negara kita. Artinya, kita tidak bisa meniadakan perbedaan, bahkan pertentangan. Hanya saja, ada hal yang juga perlu kita fahami bersama bahwa, dalam hidup bersama, kompromi tidak berarti sebuah tindakan keji. Pada saat yang sama, kita juga tidak bisa melepaskan Pancasila dari kekuatan-kekuatan historis yang hidup di tengah masyarakat.

Namun cukup lama, bangsa ini membiarkan Pancasila sebagai alat legitimasi penyeragaman demi memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Sebagai jalan tengah, ia memang mudah membuat kita lengah. Pada saat Sukarno dengan demokrasi terpimpinnya, atau pada saat Suharto, Pancasila diperlakukan sebagai ideologi yang bersifat doktriner. Pancasila bahkan diredusir sebagai alat kekuasaan untuk memasung lawan politik.

Akibatnya cukup fatal. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, muncul kejenuhan terhadap perkataan Pancasila. Bukan hanya itu, kita juga cenderung menghindar dari Pancasila karena takut dicap sebagai bagian dari rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya. Pengikat kebangsaan kita pun meluruh tajam.

Aku terdiam, membayangkan wajah-wajah para pendiri negeri.......

Rabu, 5 Maret 2008. Sebuah tulisan pada Harian Kompas hari itu membuat batinku kian galau. "Kekuatan Pancasila sebagai basis hidup berbangsa dan bernegara melemah di kalangan mahasiswa, sekurang-kurangnya menurut hasil sebuah survei," begitu bunyi paragraf pertamanya.

Rujukan survey yang dimaksudkan itu dilakukan aktivias gerakan nasional pada tahun 2006. Adapun respondennya terdiri atas mahasiswa di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, yang antara lain dikenal sebagai basis pendidikan politik Indonesia.

Hasil survey itu antara lain menyebutkan bahwa, hanya 4,5 persen dari total responden di kalangan mahasiswa yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Daya tarik Pancasila yang melemah di kalangan generasi muda itu tidaklah datang tiba-tiba, tetapi merupakan komplikasi atas pengembangan sistem nilai kebangsaan selama ini. Juga karena perilaku generasi tua dan elite politik, yang tidak sinkron bahkan menjauhi nilai-nilai luhur yang diamanatkan ideologi negara dan bangsa itu.

Kecenderungan di dalam ini kemudian beresonansi dengan kecenderungan di tingkat global, terutama selepas perang dingin. Perang yang memperhadapkan diametral ideologi kapitalisme Amerika Serikat, Eropa, dan konco-konconya dengan sosialisme Uni Sovyet, China, dan konco-konconya.

Runtuhnya tembok Berlin dan pecahnya Uni Sovyet yang menjadi penanda berakhirnya perang dingin ini kemudian mengakhiri pula periode bipolar dan mendorong dunia memasuki periode multipolar. Sehingga praktis, era persaingan ideologis dalam dimensi global seakan berakhir sudah, meski tidak sepenuhnya benar.

Implikasi atas resonansi luar dalam ini, bagi kita sebagai bangsa, menjadi luar biasa.

Sebagai bangsa, kita seperti terserap dalam senandung Sastro Gending, jaman Sultan Agung Mataram. Menjadi "Ela-elo," karena jati diri sebagai bangsa menjadi kacau, dan menjadi het zachte volk ter aarde, een koelie onder de volkeren (bangsa paling lemah di muka bumi, kuli dari segala bangsa), serta bangsa inlander (pribumi yang mengandung konotasi kelas bawah yang terbelakang) di samping kehilangan semangat juang dalam membela harga dirinya.

Celakanya, sebagian dari kita juga nampak-nampaknya mulai menganggap bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, di dalam dunia yang borderless, yang rame-rame ditentang negara-negara miskin dan lemah, namun didukung negara-negara kuat demi terpeliharanya hegemonisme dan predatorisme. Celakanya lagi, pelaku dan juga korban dari kecenderungan kontemporer ini adalah sebagian dari kaum intelektual kita. Melalui aneka rupa strategi dan cara, sebagian dari kita itu terjebak pola pikir asing yang dengan sengaja ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi.

Buatku, ini menggemaskan betul. Sebab dengan posisi subordinasi, kita tidak pernah akan bisa memusatkan diri untuk menolong bangsa kita sendiri dari keterpurukan sosial-ekonomi yang makin mengerikan.

Namun, kita nampaknya tengah berada pada kondisi yang serba mengenaskan. Banyak diantara kita, dengan latar belakang pendidikan yang jauh lebih hebat dari para perintis dan pendiri negeri ini, ternyata justru begitu setia untuk menjadi corong bagi intrusi dalam rangka strategi kekuatan asing yang ingin menguasai bangsa dan tanah air kita sebagai kecenderungan hegemonisme dan predatorisme. Baik dari segi ekonomi, maupun sosial dan budaya.

Dari sini, suatu absurditas pun dimulai.

Persemaian pola pikir rendah diri pada sejumlah kaum intelektual kita, yang mewajarkan globalisasi sebagai proses subordinasi nasional, dan yang mewajarkan gagasan bahwa tidaklah penting bagi kita untuk menjaga kepentingan nasional, kedaulatan nasional dan integritas teritorial, pada saat mereka menerima doktrin superordinasi tentang the borderless world menemukan bentuknya.

Tanpa sadar, akupun melayang ke masa seabad silam. Pada sebuah surat bertanggal 10 Juni 1902, dari seorang perempuan Jawa yang belia usia. Bukan sarjana, bukan pula doktor, tetapi begitu cerdas pemikirannya. Kepada sahabatnya Ny Abendanon di Negeri Belanda, Kartini mengalamatkan suratnya.

Begini dia menulis: "Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan"

Buatku, surat ini begitu tajam lagi mengena. Kartini manusia merdeka dan dia tak hendak dibelenggu. Walau memang, ada ketegangan yang membelanggu, itu pasti.

Sebab setiap orang, juga pada sebuah bangsa, punya belenggunya masing-masing. Segala yang silam, apakah itu puak, masa kecil berikut sejumlah luka-lukanya, adalah salah satu sumber anyaman kompleks identitas, sekaligus bisa pula menjadi beban yang membelenggu. Segala yang silam itu akan berbenturan dengan "yang kini" (realitas) dan "yang kelak datang" (saujana ihwal masa depan). Semuanya teranyam sedemikian rupa, jalin-menjalin membentuk apa yang disebut kepribadian, personaliti, perwatakan dan tentu saja identitas.

Masa silam berikut artefak warisannya adalah salah satu ilham penciptaan kebudayaan, seperti juga menjadi hulu dari sebagian identitas. Jika ini dimengerti dengan baik, masa silam, kendati akan memancing ketegangan seperti yang dialami Kartini, tak akan pernah menjadi belenggu.

Lalu bertanyalah Dr.K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, seorang kakek dari desa miskin dekat Ngawi, Walikukun, yang waktu itu berusia 66 tahun dan menjabat sebagai Ketua Panitya Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), "Apa dasar negara kita nanti?"

Dan Bung Karno pun kemudian tampil, merangkum hasil pergulatan pemikiran para pendiri Republik Indonesia. Waktu itu tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menjawab pertanyaan ketua PPKI itu: Pancasila.

Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran dan juga hasil kompromi antara kekuatan-kekuatan histories yang bersama-sama menentukan hidup Negara kita. Harapan para pendiri negeri itu begitu mulia. Agar bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak ela-elo. Selain itu, para pendiri bangsa ini juga tidak pernah menempatkan Pancasila sebagai sebuah benda yang begitu saja diturunkan, necis, steril, dan tuntas. Sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, ia tidak bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi. Tetap membutuhkan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan yang terjadi, demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam proses dialektika itu, tidaklah berarti harus mengabaikan tanggungjawab global, namun sebaliknya, kita harus menghormati tanggungjawab global dengan tetap mengutamakan dan membela kepentingan nasional. Dan di sana, kita tidak hendak meniadakan perbedaan, bahkan pertentangan. Namun demi menjaga hidup bersama dan hidup sesama, kompromi tidak berarti sebuah tindakan keji. Walau pasti tidak bisa memuaskan semua, sebagaimana layaknya sebuah kompromi, sebuah jelan tengah. Tetapi jelas itu diperlukan, demi membela hidup bersama. Demi sebuah bangsa: Indonesia.** IBA



Daftar Bacaan

1. Greenfeld, Leah.,The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001

2. Kartini R.A., Habis Gelap Terbitlah Terang. Terjemahan Armijn Pane, Jakarta: Balai Pustaka 1968

3. --------------., Surat-surat Kartini. Terjemahan Sulastini Sutrisno, Jakarta PT Djambatan, 1979

4. Kompas, "Minat Mahasiswa terhadap Pancasila," 5 Maret 2008

5. Lustick, Ian S.,"The Riddle of Nationalism: The Dialectic of Religion and Nationalism in the Middle East", Logos, Vol. One Issue Three, Summer 2002

6. Mohammad, Goenawan,."Macanku di Kampus Biru," Majalah Tempo edisi, 15 Januasi 1977.

7. Retras, James dan Henny Veltmeyer, op. cit., Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe, 2000.

8. Soeroto, Siti Soemandari., Kartini: Sebuah Biografi, Jakarta, Gunung Agung, 1977

9. Swasono, Sri Edi., "Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanyakan Jatidiri Bangsa", makalah diajukan pada Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003


[1] Budi Utomo disejarahkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei 1948 di Yogyakarta yang menugaskan Ki Hajar Dewantara—nama RM Soewardi lebih memfokuskan diri di dunia kebudayaan—untuk merayakan hari lahirnya sebagai Hari Kebangunan—kemudian menjadi Kebangkitan— Nasional. Hal itu dimaksudkan agar terjadi persatuan karena terjadi bentrok antara PKI dan partai-partai lain di tengah perjuangan melawan Belanda (Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid IV: 188-189).

0 komentar: