KRISIS finansial global, kini telah menjadi kabut perekonomian dunia. Revisi perkiraan pertumbuhan ekonomi pun mulai bermunculan. Penurunan pertumbuhan membuat kisah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) marak dibicarakan. Sektor otomotif dan keuangan paling terpukul akibat krisis global ini, namun kemudian pukulan juga mulai merambah ke industri kimia, hotel, turisme dan sebagainya.
Fiat, industri otomotif utama Italia, sudah memperkirakan penjualan mereka akan turun 10 – 20 persen. Hyundai (Korea Selatan), juga memperkirakan hal yang sama. Mereka memang belum membicarakan PHK, ini berbeda dengan industri otomotif AS yang sudah melakukan PHK. Chrysler LLC, raksasa otomotif nomor tiga AS, setelah General Motors dan Ford, Kamis (23/10/2008) telah menegaskan akan menutup salah satu pabiknya. Penutupan ini dipercepat karena situasi yang memburuk. Karyawan akan dialihkan, tetapi 1.825 pekerja harus di-PHK. Sementara Goldman Sachs Group, raksasa perbankkan, juga Kamis (23/10/2008), dilaporkan bakal mem-PHK sekitar 3.260 pekerja. Sekitar 10 persen dari pekerja mereka berada di New York.
Trilyunan dollar AS yang dikucurkan untuk membendung laju dampak krisis, nampaknya hanya sekadar penunda waktu kebangkrutan. Kapitalisme yang sangat membenci intervensi negara dalam perekonomian (laissez faire) pun terpaksa menasionalisasi korporasi finansial dan membayar hutang swasta (bail out) secara besar-besaran. Ingatan saya pun terseret pada bukunya Harry Shutt, Runtuhnya Kapitalisme (2005), yang menyebutkan bahwa Kapitalisme kini sedang mengalami “gejala-gejala utama kegagalan secara sistemik”.
Di AS, pemerintahan Bush memaksa rakyat Amerika membayar hutang-hutang perbankan sebesar US$ 700 milyar (Rp 6.650 trilyun). Bush juga menambah beban rakyat dengan program rekapitalisasi perbankan senilai US$ 250 milyar (Rp 2.375 trilyun) dan pembelian aset-aset bank US$ 100 milyar (Rp 950 trilyun). Semuanya harus didanai rakyat AS untuk membayar keserakahan para investor. Belum lagi dana US$ 900 milyar (Rp 8.550 trilyun) yang digelontorkan bank sentral AS untuk melakukan intervensi pasar.
Di Eropa, pemerintah Inggris mengeluarkan dana rakyat sebesar £ 500 milyar untuk rencana penyelamatan sistem keuangan mereka. Sebesar £ 119 milyar atau US$ 215 milyar (Rp 2.042,5 trilyun) dihabiskan untuk menasionalisasi bank nasional Inggris Northern Rock yang sudah bangkrut. Negara perekonomian terbesar ketiga dunia, Jerman harus mengeluarkan dana €400 milyar untuk menjamin perbankannya dan €100 milyar untuk program rekapitalisasi.
Krisis finansial global yang terparah dalam 80 tahun terakhir ini membuat banyak negara bersatu untuk mengatasinya. Namun, sejauh ini langkah bersama itu belum membuat kepercayaan pasar pulih. Ini terlihat dari harga saham di sejumlah bursa dunia yang masih terus merosot.
Lalu, apakah yang sesungguhnya tengah terjadi?
Tepat satu bulan pasca bangkrutnya Lehman Brothers (10/09/2008) dengan nilai kerugian US$ 3,9 milyar yang kemudian menyeret kehancuran perusahaan asuransi terbesar AS American International Group (AIG) dan menimbulkan efek berantai serta merontokan kepercayaan para investor akan ketangguhan sistem keuangan AS, Washington Post (10 Oktober 2008) menurunkan artikel berjudul “The End of American Capitalism?” Artikel yang ditulis Anthony Faiola itu mengutip Joseph Stigliz. Stigliz, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2001 ini memperingatkan negara-negara yang selama ini mengagumi model ekonomi kapitalisme Amerika untuk segera bersiap menghadapi kehancuran ekonominya. Kabangkrutan dan nasionalisasi parsial sejumlah bank di AS, merupakan tanda-tanda kematian sistem kapitalisme AS.
Stigliz mengatakan: “People around the world once admired us for our economy, and we told them if you wanted to be like us, here’s what you have to do — hand over power to the market… The point now is that no one has respect for that kind of model anymore given this crisis. And of course it raises questions about our credibility. Everyone feels they are suffering now because of us.”
Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy menyatakan era sistem yang tanpa regulasi telah berakhir (Business Week, 29/09/2008). Ide free market dan laissez faire dalam ideologi kapitalisme benar-benar mengalami kebuntuan sejarah. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan perlunya sistem keuangan global yang baru untuk mengganti sistem Bretton Woods yang sudah 64 tahun tegak (Telegraph, 15/10/2008). Negara-negara kapitalis dan para pendukungnya harus jujur mengakui kebangkrutan ide kapitalisme sehingga tidak layak sistem ini dipertahankan.
Para pembela kapitalisme sebagaimana Allan Gresspan dan Francis Fukuyama masih mencoba mempertahankan diri. Mereka mengatakan bahwa krisis yang terbesar pasca Malaise (1929) itu sama sekali bukan kesalahan kapitalisme dan pasar bebas. Mereka menyebut bahwa krisis itu lebih dikarenakan kerakusan para pebisnis yang melakukan bisnis derivatif, kecerobohan masyarakat dengan sikap yang tidak “cerdas pasar”, serta kegagalan pemerintah melakukan good governance.
Bantahan bernada defensive apologetic ini nampaknya juga menguasai ekonom arus utama negeri ini. Tapi benarkah?
Keinginan agar semua orang berpikir “cerdas pasar” tidak relevan karena orang-orang yang cerdas pasar justru akan menjadikan mayoritas orang “bodoh pasar” (Kiyosaki, Rich Dad Poor Dad). Ini ditunjang oleh sistem bunga yang membuat eksploitasi itu menjadikan bisnis tak sekedar “permainan” tapi “pembantaian”. Bayangkan, betapa tidak adilnya orang-orang yang di sektor keuangan mendapat keuntungan 40 persen, sementara orang-orang di sektor riil hanya dapat untung 20 persen. Tentu saja ini sebuah eksploitasi karena orang-orang di sektor riil bekerja jauh lebih keras.
Lalu, harapan supaya para kapitalis tidak rakus juga tidak mungkin. Ini karena selisih yang terlalu besar antara sektor keuangan dan sektor riil menjadikan eksploitasi benar-benar di depan mata. Faktanya, sistem bunga menjadikan jual beli uang jauh lebih menarik dari produksi dan jual beli barang.
Hal lain yang kadang membuat kita lupa diri adalah bahwa, sistem kapitalisme hanya memungkinkan milik (bhs Jawa: ”punya” atau ”harta”) menjadi begitu penting dan melik (bhs Jawa: keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu) terlembagakan sebagai perilaku wajar. Keduanya (milik dan melik) kemudian dianggap hal yang bagus bagi pertumbuhan ekonomi. Meski untuk itu, ketamakan dan kerakusan yang menelan begitu banyak korban menjadi sebuah keniscayaan: Siapa peduli?.
Selain itu, fakta juga menunjukkan bahwa mekanisme pasar tak pernah sanggup menghasilkan “tangan gaib”. Optimisme Adam Smith dan John Naisbitt tidak pernah terbukti. Pesimisme David Ricardo terasa lebih realistis.
Kemudian, tuntutan agar pemerintah melakukan good governance juga tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimanapun, persaingan yang terjadi bukan persaingan sempurna. Tapi persaingan oligopolistis, bahkan monopolistis. Selain itu, manusia kemampuannya berbeda-beda. Tak semua mereka kuda. Sebagian singa, sebagian kancil, dan sebagian besar lagi anthelop muda dengan kaki yang terluka. Sikap pemerintah tak akan mengubah suasana persaingan ini. Dan akhirnya, pasar yang digerakkan oleh milik dan melik, tak akan mudah ditertibkan oleh Negara. Wallahu’alam.** (Sahabat Pena)
Sabtu, 10 April 2010
....CAPITALISM IS DYING..?.
09.59
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar