Jumat, 09 April 2010

NEW DEAL PART II


SETELAH menjadi Presiden AS terpilih, Barrack Obama makin menegaskan kesannya sebagai presiden berlatar belakang aktivis yang memiliki gagasan-gagasan besar. Ia juga tampil seperti Vaclav Havel, seorang sastrawan yang juga aktivis serta kemudian menjadi kepala negara pertama Republik Ceko. Kata Havel, ada beda mendasar antara "harapan" dan "optimisme". Harapan, kata Havel, "bukanlah keyakinan bahwa hal-ihwal akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhirnya."
Seperti halnya Havel, dalam pidato mingguannya, Obama menyatakan, krisis bukanlah halangan, tetapi peluang. ''Bahkan ketika kita berjuang untuk keluar dari resesi ini, kita harus juga mengakui bahwa krisis ekonomi ini merupakan peluang untuk menciptakan lapangan kerja baru, memperkuat kelas menengah, dan mempertahankan daya saing kita pada abad ke-21,'' kata Obama.
Selanjutnya, Obama pun memaparkan rencana untuk membangun kembali jalan, jembatan, dan sekolah-sekolah yang rusak. Dia memperkirakan, proyek itu akan menyedot dua juta tenaga kerja Amerika. Obama juga mengumumkan program investasi sebesar 150 miliar dolar untuk perekonomian yang ramah lingkungan. Menurut pendapatnya, program tersebut akan menyediakan lapangan kerja bagi lima juta orang.
''Itu berarti, layanan kesehatan akan tersedia bagi setiap orang dan pengeluaran usaha-usaha kecil pun akan berkurang,'' ujarnya.
Ambisi Obama untuk mewujudkan rencana-rencana besarnya itu mirip dengan program kerja New Deal yang dijalankan Franklin D Roosevelt saat krisis ekonomi tahun 30-an. Gagasan dasarnya adalah membangun ekonomi melalui sektor infrastruktur. Dan itu disampaikan Roosevelt untuk menghalau depresi yang melibas Amerika.
"Saya berjanji kepada Anda, saya berjanji kepada diri sendiri, sebuah kesepakatan baru (new deal) bagi rakyat Amerika," kata Roosevelt ketika itu. Untuk membuktikan kesungguhannya, Presiden Amerika Serikat ke-32 itu memperkenalkan tradisi evaluasi 100 hari awal masa pemerintahan.
Seperti halnya Obama yang akan dilantik pada Januari 2009 mendatang, Roosevelt dilantik ketika perekonomian Amerika hampir karam, dan puncaknya ditandai angka pengangguran 24,9 persen pada 1933. Pada 1925-1929, tingkat pengangguran di Amerika hanya 2-4 persen. Sektor moneter juga meriang. Simpanan masyarakat di bank tergerus US$ 2 miliar sejak 1929. Pada saat yang sama, jumlah uang beredar susut hingga 31 persen.
Depresi Amerika diawali rontoknya bursa saham menjelang akhir 1929. Gonjang-ganjing di bursa itu tak lepas dari berpacunya ekonomi Amerika, seusai Perang Dunia I. Pemerintah yang percaya pada sistem pasar bebas melepas berbagai jurus deregulasi. Tarif pajak terus dipangkas.
Dengan aturan minim, pasar saham berlari tak terkendali. Pada masa pemerintahan Presiden Calvin Coolidge, yang diangkat pada 1923, bursa saham Amerika berulang kali memecahkan rekor kenaikan indeks. Dalam tempo 16 bulan hingga akhir September 1929, harga saham naik 40 persen. Coolidge merupakan presiden yang terkenal dengan perkataan "American business is business".
Enam bulan sebelum bursa ngadat total, gejala pecahnya gelembung bursa mulai muncul. Persediaan barang menumpuk tiga kali lipat dibanding 1928, tanda anjloknya daya beli masyarakat. Penjualan mobil turun hingga sepertiga dalam sembilan bulan pertama sebelum crash. Kehancuran di pasar modal dimulai pada 24 Oktober, dan mencapai puncaknya pada 29 Oktober. Total kerugian pasar modal selama Oktober 1929 sedikitnya US$ 16 miliar.
Yang kemudian terjadi adalah depresi. Roosevelt menawarkan pembangunan berbagai infrastruktur, salah satu agenda New Deal, untuk mengatasi depresi, di samping sederet resep lain, seperti penghematan belanja rutin pemerintah. Di sektor keuangan, Roosevelt memberlakukan aturan jual-beli saham yang jauh lebih ketat. Asuransi dana pihak ketiga perbankan diperkenalkan pada masa itu.
Civilian Conservation Corps (CCC) merupakan program pembangunan infrastruktur New Deal yang dianggap paling berhasil. Inilah proyek pembangunan infrastruktur yang berfokus pada konservasi lingkungan. Para peserta proyek CCC dilibatkan dalam agenda menghijaukan kembali hutan. Mereka juga membantu merawat, termasuk memanen, tanaman di hutan milik pemerintah federal dan negara bagian.
Target proyek ini adalah kaum muda berusia 18-25 tahun. Sekitar dua juta kaum muda Amerika tergabung dalam proyek yang berbau semimiliter ini. Tiap peserta dibayar US$ 30 per minggu. Mereka dilibatkan dalam pembangunan tak kurang dari 41 ribu jembatan, lebih dari 44 ribu gedung, tiga bendungan, dan konservasi tanah seluas empat juta hektare.
Appalachian Trail dan Pacific Crest Trail merupakan contoh proyek CCC yang masih berfungsi hingga kini. Kedua proyek itu dimulai pada 1937. Appalachian Trail merupakan jalan mendaki sepanjang 2.159 mil yang menghubungkan Katahdin, Maine, dengan Springer Mountain di Negara Bagian Georgia. Sementara Pacific Crest merupakan proyek sejenis yang dibangun di Negara Bagian California.
Hingga kini sebagian besar masyarakat Amerika menganggap New Deal berhasil mengatasi depresi. Tapi para penganut pasar bebas tak sepenuhnya percaya. Sejarawan Jim Powell, misalnya, meyakini Amerika akan lebih cepat membaik tanpa New Deal. Dari kubunya sendiri, mereka yang percaya dengan saktinya intervensi negara, Roosevelt juga menuai kritik. Ia dianggap plin-plan ketika mencoba menyeimbangkan pemberian stimulus dengan defisit anggaran. Proyek pembangunan infrastruktur, seperti Work Progress Administration, juga dirundung praktek korupsi.
Kenyataannya, depresi di Amerika berakhir setelah negara itu menceburkan diri dalam Perang Dunia II, pada 1939. Ketika itu Amerika menganggarkan US$ 1 miliar untuk belanja peralatan tempur. Itulah stimulus yang meningkatkan PDB Amerika hingga 7,9 persen, sekaligus memangkas angka pengangguran hingga tersisa 17,2 persen.
Bagaimana dengan kita yang juga tidak lepas dari imbas dampak badai krisis finansial global?
Secara nasional, mereka yang pesimistis menyebut pengangguran akan menyentuh 2 juta orang, yang moderat menyebut 1 juta. Hitungan ekonominya, bila pertumbuhan ekonomi menurun 1 persen, maka lapangan pekerjaan akan menyusut 150.000. Di lapangan, sebagai antisipasi krisis, pengusaha mulai menahan ekspansi. Konsumsi listrik untuk industri di Jawa sebulan terakhir turun lebih dari 5 persen.
Namun, Pemilu 2009 sebagai wujud ketertiban berdemokrasi, nampaknya diangap lebih penting. Betapapun yang nampak di lapangan lebih merupakan politik sebagai prosedur. Dan seperti ketika Alain Badiou menyebut "l'événement" dalam sejarah—misalnya Revolusi Prancis—argumen filosof itu kita terima sebagai pengingat bahwa memang ada yang gerowong dalam tiap ketertiban. Ke sana masuk sebuah gebrakan pengguncang keadaan. Otoritas dan kepatuhan berdiri, tapi dalam situasi itu sebenarnya berlangsung juga sesuatu yang suwung—kosong tapi penuh dengan entah—sesuatu yang sarat dengan inkonsistensi tapi tak (hendak) diketahui. Dan bila kemudian huru-hara meledak, karena rakyat tak lagi kuasa menahan sakit dengan lebih lama lagi, maka bagaikan sebuah mukjizat, transformasi pun terjadi. Para pelakunya menyebutnya "Revolusi". Melalui "intervensi tafsir" itu, sang "Kejadian" jadi "Kebenaran". Sesuatu yang mungkin memang universal.**Sahabat Pena

0 komentar: