Jumat, 09 April 2010

DESEMBER, 2008


SEPERTI tahun-tahun yang sudah, setiap Desember orang memperkirakan dan merancang. Mereka bertanya, suramkah tahun 2009? Akankah kembali ada teror? Pertumbuhan ekonomi di bawah 4,5 persen? Angka pengangguran meledak? Akankah kembali datang bencana dahsyat? Haruskah kita kembali terbelalak atas hadirnya jagal manusia?
Para peramal—bermodal statistik, astrologi, maupun ngapusi—berlomba memberi jawaban yang selalu siap untuk cacat. Pun pada seorang Ban Ki-moon, Sekjen PBB, yang di hadapan peserta konferensi ekonomi dan pembangunan, 29 November 2008, di Doha, Qatar, berujar getir, “jika tidak ditangani secara tepat, krisis keuangan akan menjelma menjadi krisis kemanusiaan di kemudian hari. Keresahan sosial dan ketidakstabilan politik akan meningkat, memperparah persoalan lainnya. Bahayanya, sebuah rangkaian krisis satu sama lain saling menghantam dengan potensi menghancurkan semua pihak.”
Kegetiran Ban sejalan dengan laporan Dewan Intelijen Nasional (NIC) dan sebangun dengan ramalan Huntington. Tiap ramalan adalah orakel. Walau kali ini—lagi—kita memasuki tahun baru—dengan pesta seru atau doa seorang diri dibekap sepi—dalam sebuah sikap yang mungkin tak terucap: sejatinya, hidup tak pernah indah, tapi berharga.
Dan, kalender pun tiba di lembar terakhir. Di jauh sana, kita pun tiba pada pangkal dari semua, benarkah harapan itu mungkin?
Takut akan kecewa, kita memainkan ironi. Begitu banyak cita-cita gagal, maka lebih baik menerima apa yang sementara. Yang penting kita tak berdusta pada diri sendiri bahwa kita memang menyukai manusia, kebersamaannya, dan lingkungannya. Kita tak mungkin akan angkat tangan bila malapetaka terjadi pada semua itu. Kita tak putus asa bahwa ada yang diperbaiki, meskipun kita tak akan sepenuhnya tahu, apa arti "baik" yang tersimpan dalam pengertian "diper-baik-i" itu. Sebab ukuran beragam, silih berganti. Bahkan titah Tuhan tak selamanya jelas; para orang pandai terus saja menulis beribu-juta buku untuk menafsirkannya.
Tahun 2009 ’kan segera jelang, kalender akan segera kita robek, dan begitu banyak hal yang kita tahu tidak beres. Tapi ironi saja tak akan membuat kita melangkah. Berpegang pada yang sementara dan titah kebaikan yang tak jelas, kita toh tetap memilih laku. Kita tak meng-harap. Kita ber-harap. Tanpa optimisme. Tapi kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya harapan: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya.
Kata Vaclav Havel, "harapan, bukanlah keyakinan bahwa hal-ihwal akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhirnya."
Havel, sastrawan, aktivis, dan juga politisi ini—ketika masih menjadi sastrawan ’penuh’—sempat menulis tentang beda harapan dengan optimisme. Tapi Havel tak menguraikan bagaimana halnya optimisme. Hanya barangkali: optimisme adalah keyakinan yang kurang-lebih utuh dan konsisten tentang masa depan. Mungkin sebab itu optimisme mengandung sikap yang gagah, tapi dapat juga berarti jumawa, dan itu berarti pongah. Sebab sebenarnya tak ada kemampuan dalam diri manusia yang secara konsisten dan utuh menangkap—bukan sekadar menduga-duga atau memperkirakan—“apa yang akan datang". Bahkan juga "apa yang lalu" pun pada "yang kini" terjadi, tak dapat sepenuhnya diketahui dan dijadikan dasar bagi tindakan. Optimisme ibarat iklan real-estate: selalu dengan cahaya benderang, cenderung menyenangkan calon pembeli, sehingga perlu ditambah ilusi, juga dusta di sana-sini, biarpun sedikit.
Dari sini kita pun tahu, ada beda yang jauh antara ber-harap dan meng-harap. Ber-harap adalah berada dalam harapan yang sudah ada. Di sini harapan bukanlah sesuatu yang disengaja dan diniatkan. Dalam ber-harap tersirat sikap yang lebih rendah hati menghadapi ruang dan waktu. Orang Islam menghubungkannya dengan taqwa. Sebuah konsep yang unik, sebab di situ sekaligus termaktub dua kecenderungan yang sebenarnya bertentangan: "pasrah" dan "tekad".
Taqwa merekatkan kedua kecenderungan itu—pasrah dan tekad—dalam "iman". Jika kita perhatikan benar, agama memang meletakkan "harapan" di pusat dirinya. Iman menghibur, meskipun sukar, walaupun sunyi. Kita diberi tahu bahwa hidup sebenarnya abadi, dan yang kekal akan datang setelah kematian. Kita diberi tahu tentang Surga, atau pencapaian rohani yang akhirnya berarti kebebasan dari kesengsaraan dunia. Bagi agama, tanpa iman, harapan menjadi mustahil.
Di abad ke-13 Santo Thomas—Thomas Aquinas—menjelaskan kenapa ”harapan” harus dibedakan dari "hasrat". Sebab katanya, harapan adalah "muskil" dan ”hasrat” tidak demikian. Harapan juga harus dibedakan dari putus asa, karena putus asa itu "mungkin". Bergerak bolak-balik dan timbul-tenggelam antara "muskil" dan "mungkin" itu, harapan membutuhkan Tuhan. "Tak ada orang yang mampu sendirian menangkap kebaikan luhur dari kehidupan abadi, ia perlu bantuan Ilahi," begitulah kata Santo Thomas. Maka ada satu hal yang berlipat dua, "kehidupan abadi ke mana kita berharap, dan bantuan Ilahi dengan apa kita berharap".
Hanya saja, gemuruh abad 21 berbeda dengan abad-abad yang sudah. Manusia abad 21 tidak lagi melihat harapan kerap bergerak terbanting-banting antara ”muskil” dan ”mungkin”. Harapan tak lagi sesuatu yang misterius, sehingga banyak orang lebih gemar berada pada posisi meng-harap dan bukan lagi ber-harap.
Dalam meng-harap, aku menghadapi masa depan sebagai sesuatu yang kukehendaki. ”Apa yang akan datang” kutarik ke arahku, dan dengan itu kuketahui dan kukuasai. Iman dan harapan tak lagi seperti apa yang dibayangkan Thomas Aquinas, tapi bertumpu pada subyektivitas yang kuat: aku melangkah ke masa depan karena sebuah kehendak, dengan kesadaran yang utuh karena sebuah niat, dengan langkah teratur dan efektif karena akal. Tuhan bersamaku: Ia membuat kehendak, niat, dan akalku menjadi bertambah dahsyat. Tuhan bersamaku: Ia hadir bukan untuk mengingatkan kelemahanku, melainkan untuk membuatku—sebagai subyek—mengatasi bagian diriku yang tak hendak ikut titah sang subyek, misalnya ketika tubuhku meriang.
Saya kira, subyektivitas yang kuat itulah yang membentuk dunia modern. Dan modernitas adalah optimisme. Dengan kehendak yang kukuh, kesadaran yang teguh, dan akal yang tajam, kemajuan pun melaju dan menderu. Dari deru itu bangkitlah sebuah masyarakat yang bagaikan tukang sihir menyulap lahan dan air menjadi sumber produksi yang megah perkasa.
Dalam ’Manifesto Komunis’, Marx dan Engels menulis, ”di tempat lahirnya modernitas—Eropa—dalam waktu tak sampai seratus tahun, telah lahir kekuatan produktif yang pejal dan lebih kolosal ketimbang himpunan hasil karya seluruh generasi sebelumnya.” Marx dan Engels juga menggambarkan tentang betapa gemuruhnya kemajuan manusia semenjak sejarah baru ini yang pada dasarnya sejarah kaum borjuis. Hanya barangkali, Marx dan Engels tidak pernah menyangka bahwa, kaum borjuasi inilah yang sampai hari ini tetap jadi penggerak optimisme, pun ketika krisis hebat melanda dan di jantung negeri kapitalis, Washington Post menurunkan artikel “The End of American Capitalism?”.
Memang ada yang membuat kita risau dalam proses itu. Ada yang menggambarkan zaman modern yang menang ini telah membentangkan jalan yang bersinar-sinar, tapi tiap cahayanya menyembunyikan petaka. Menurut Paul Krugman—The Conscience of A Liberal—selama tiga dekade kekayaan 0,01 persen orang terkaya AS bertambah 7 kali, sementara masyarakat lain hampir tak berubah, malah berkurang karena digerogoti inflasi. Tahun 1970-an, eksekutif puncak berpenghasilan 30 kali rata-rata pendapatan pegawainya. Sekarang lebih dari 300 kali. Kecenderungan yang sama terjadi di Indonesia.
Ironisnya, seperti ditulis Jean Ziegler—Les Nouveaux Maiters du Monde—semakin miskin sebuah bangsa, sering semakin mewah kehidupan dan "perilaku aneh'' segelintir elite penguasanya. Ziegler pun bercerita tentang para pejabat tinggi di beberapa negara Skandinavia yang berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor. Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paro terakhir hidup mereka.
-----------
Para cendekiawan, para pemuda progresif, para rohaniwan prihatin dan entah siapa lagi telah berulang-ulang mengecam kemajuan borjuis itu, dan mengutuk Tuan Modal sebagai sesuatu yang jahat. Teriakan itu masih keras, tapi belum ada juga yang tahu bagaimana menghentikan kapitalisme. Marx, Lenin, Mao pernah mencobanya, dan pernah sosialisme merupakan cara orang meng-harap. Sosialisme adalah optimisme. Tapi kemudian kita tahu ia gagal. Yang pandai merencanakan pembagian kue yang sama-rata tak dengan sendirinya pandai membuat kue yang cukup.
Kita pun tergoda dengan cerita dari Latin Amerika. Dan, Mark Weisbrot—Doing it Their Own Way—menulis, di sejumlah negara Amerika Latin yang telah menyingkirkan laissez-faire—Venezuela, Ekuador, Argentina, dan Bolivia—mereka mengalami sukses dalam mengurangi kemiskinan. Ekonomi Venezuela tumbuh 10 persen per tahun, dengan kemiskinan berkurang signifikan. Argentina bukan saja tumbuh 8 persen per tahun, tetapi keluar dari krisis ekonomi 2002, juga berhasil menghapuskan 8 juta orang miskin di negerinya.
Lalu apa yang tersisa, setelah halaman terakhir kalender kita robek?
Barangkali, harapan dan iman versi modernitas. Dalam arti bahwa, yang akan hadir adalah aku yang memandang "yang-akan-datang" dengan mantap, sebab aku adalah subyek yang terbangun oleh kehendak, niat, dan akal yang bertambah dahsyat karena aku punya kepastian, yakni kepastian yang diberikan agama. Masalahnya kemudian, bagaimana subyek-plus-iman yang menganggap diri dahsyat itu akan terhindar dari ilusi optimisme?
Dalam sebuah sajaknya, Iqbal—kita tahu Iqbal percara bahwa, manusia adalah Khalfah Tuhan di atas bumi dengan kemerdekaan ego-insani yang didapat dari sang Pencipta—menggambarkan dialog antara Tuhan dan manusia. Syahdan, manusia berkata, dengan bangga:
Kau buat malam, aku buat lampu
Kau buat lempung, aku bentuk cupu
Lalu Tuhan menjawab, mengingatkan manusia akan sisinya yang menakutkan:
Dari bumi kusediakan baja sentosa
Tapi kau menjadikannya pedang dan senjata
Siapa saja manusia yang mengerahkan diri untuk mengalahkan, menjinakkan apa saja yang di luar dirinya—malam, lempung, baja—pada akhirnya menobatkan diri sebagai maharaja alam: sang Khalifah menjadi berhala yang terasing.
Salah satu kekeliruan subyektivitas yang demikian perkasa ialah tak melihat bahwa harapan punya sisi lain, yakni "muskil". Kepastian tak pernah ada. Manusia, juga bila ia seorang yang dianggap dapat menjaga arah perjalanan orang beriman ke masa depan yang bukan jahiliyah, adalah makhluk dengan tubuh dan sejarah yang tak terduga.
Manusia bertindak, dan menjadi subyek, karena ia kurang.
Orang-orang alim, termasuk Thomas Aquinas, menyangka bahwa yang kurang akan dipenuhi dan yang tak terduga akan ditertibkan dan harapan akan beres dalam bimbingan ilahi. Tapi ini abad ke-21: Kita tak pernah tahu adakah Tuhan sedang "membimbing" atau kita saja yang mengkhayalkan-Nya. Tuhan, yang bahkan tak dapat dipikirkan, hanya datang meyakinkan kita di saat kita menemukan bayang-bayang-Nya—hanya bayang-bayang-Nya—dalam diri manusia yang kita temui sehari-hari. Itulah tanda bahwa manusia niscaya mulia, tapi dalam hidupnya, dalam sejarah, kemuliaan adalah sesuatu yang mustahil.
Optimisme mengabaikan ini, tapi harapan tidak: manusia adalah makhluk yang genting.***Sahabat Pena

0 komentar: