Jumat, 09 April 2010

Pasal 33 UUD 1945 sebagai Orientasi Kebijakan Publik: MEMBEBASKAN RAKYAT DARI ANCAMAN BENCANA SOSIAL (Bagian II)


Bagaimana dengan Indonesia kita?
Posisi Indonesia, sebagai sebuah “negara dunia ketiga” yang sedang berjuang mewujudkan demokrasi ala penganut globalisasi (Barat) dengan populasi mayoritas beragama Islam dengan kekayaan alam yang melimpah dipandang oleh “Barat” sebagai mitra strategis. Sekadar kalkulasi sederhana, jika Indonesia mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebagaimana ditargetkan dalam tujuan Deklarasi Milenium (MDGs) yang ditandatangani hampir sebagian besar negara anggota PBB pada 8 September tahun 2000, maka jumlah ini akan berdampak pada pengurangan kaum miskin dunia. Ujung-ujungnya, kemampuan konsumsi masyarakat meningkat dan ini berarti kabar baik bagi para kapitalis dunia, minimal ekspansi pasar dapat dilakukan. Demikian halnya jika Indonesia berhasil menegakkan demokrasi—versi Barat, maka ia menjadi satu-satunya negara dengan populasi Islam terbesar di dunia yang akan lebih diterima dan “menyenangkan” pihak Barat. Kepastian hukum, penghormatan atas HAM dan martabat manusia serta keterbukaan masyarakat Indonesia sebagai buah keberhasilan praktek demokrasi jelas akan menaikkan citra positif dan posisi tawar Indonesia dalam sistem tata dunia yang dihegemoni para kampiun kapitalis neo-liberal.
Dalam perjuangan serupa itu, Indonesia kita hari ini, bak perempuan hamil tua, yang dengan segala daya merawat dan menahan sakit karena desakan jabang bayi ”peradaban” di antara dua harapan akan datangnya sang bayi dalam keadaan sehat dan lucu—Indonesia yang lebih baik—atau cedera dan kematian. Semua bergantung pada kebijakan-kebijakan publik yang diproduksi. Adakah negara dan bangsa ini akan kita siapkan menjadi santapan kerakusan narasi besar baru itu, atau kita bertekat baja, mensinergikan semua daya dan upaya, dan terus bekerja cerdas juga keras untuk keluar dari segala jebakan dan tampil penuh martabat, sebagaimana—minus kekurangan intrinsiknya—Vladimir V. Putin membawa Rusia sebagaimana yang bisa kita saksikan dewasa ini?
Krisis 1998 dan Pelajaran dari Rusia
Akhir dekade 1980-an hingga 1990-an, sejumlah negara-negara Asia mulai melakukan deregulasi pasar keuangan. Tujuannya adalah untuk memudahkan masuknya dana asing. Menurut Stiglitz dalam Globalization and Its Discontent, deregulasi pasar keuangan ini dilakukan bukan karena negara-negara itu perlu menarik dana-dana asing. Tetapi, lebih karena tekanan internasional (IMF dan Bank Dunia) termasuk tekanan dari Departemen Keuangan AS.
Akibat deregulasi tersebut, gelontoran dana-dana asing pun meningkat cepat, terutama yang sifatnya berjangka pendek. Dan, sebagaimana dana itu masuk cepat, dana itu juga bisa keluar cepat.
Persoalannya kemudian, dana-dana berjangka pendek itu kemudian dipergunakan oleh swasta untuk membiayai sektor properti yang membutuhkan pengembalian lebih lama. Akibatnya, ketika dana-dana panas itu ditarik keluar, krisis moneter pun begitu cepat melanda Asia. Dimulai pada awal Juli 1997, ketika mata uang Thailand, Bath terdepresiasi hebat. Sejurus kemudian, krisis itu melanda Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan juga Rusia.
Lalu datanglah Dana Moneter Internasional (IMF) menawarkan jalan keluar, dengan resep yang sama persis seperti yang dilakukan pada negara-negara Amerika Latin, ketika menghadapi resesi pada dekade 1980-an. Menurut Stiglitz, resep yang sama untuk dua kawasan ini jelas salah karena akar persoalan ekonomi yang berbeda.
Problem di Asia bukanlah akibat pemerintahan yang sembrono mengelola keuangan negara, tetapi sektor swasta yang gegabah. Karena itu, memaksakan pemerintah mengurangi pengeluaran dan mengontrol kebijakan moneter hanya menjadikan suku bunga naik. Hal ini semakin memperparah kerusakan ekonomi, sehingga krisis mata uang pun bergeser menjadi krisis ekonomi, dan kemudian menjadi krisis multidimensi.
Namun, pada dekade 1990-an, Konsensus Washington yang merupakan paket pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mempromosikan sistem perekonomian pasar yang antara lain dilakukan melalui IMF dan Bank Dunia (WB) masih dianggap sebagai salah satu jalan utama menuju kemakmuran. Karena itu, banyak negara—termasuk Indonesia dan juga Rusia—bersedia menerima konsensus tersebut.
Dan Boris Yeltsin, setelah terpilih menjadi presiden lewat pemilu langsung pertama di Rusia pada Juni 1991 kemudian mencanangkan bahwa, Rusia akan menjalankan reformasi ekonomi menuju mekanisme pasar secara radikal, sesuai rekomendasi AS dan IMF. Di dalamnya, termasuk program swastanisasi atas perusahaan-perusahaan negara yang memang dipaksakan untuk membuat Wall Street atau perusahaan multinasional, memiliki jalan lempang guna menguasai atau memiliki perusahaan-perusahaan tersebut, yang menghasilkan ”perampokan negara” lewat proses swastanisasi. Hal yang sama juga dilakukan Indonesia, setelah Orde Baru tumbang dan masih terus dilakukan sampai sekarang.
Apa yang terjadi kemudian dengan Rusia?
Perubahan ekonomi dari sistem terencana menuju mekanisme pasar membutuhkan waktu lama dan bertahap. Pola inilah yang dipilih China dan beberapa negara di Eropa Timur, eks Blok Komunis. Namun Yeltsin memilih jalur cepat, melalui paket program terapi kejut sebagaimana disarankan AS dan IMF. Dan hasilnya? Sendi-sendi kelembagaan ekonomi Rusia lumpuh. Negara mengalami kebangkrutan, tentara Rusia sempat digaji dengan sayur-mayur hasil pertanian kolektif karena kas negara kosong, dan bila pada era Uni Sovyet, hanya terdapat dua persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka setelah resep IMF dan Departemen Keuangan AS diterapkan, prosentase penduduk di bawah garis kemiskinan di Rusia meningkat menjadi 50 persen. Ketimpangan status sosial ekonomi pun meningkat tajam.
Menurut Jerry F Hough (The Logic of Economic Reform in Rusia), kekacauan ekonomi di Rusia bukanlah karena aktor-aktor bisnis, pejabat korup, dan oligarkhi, tetapi karena implementasi terburu-buru atas sistem ekonomi pasar. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa Rusia seharusnya bertahan dengan reformasi moderat yang juga didukung beberapa orang dekat Vladimir V. Putin, yang kemudian menggantikan Yeltsin. Seperti juga Hough, yang mengatakan Rusia seharusnya mengambil jalur reformasi gradual seperti yang dilakukan China.
Namun, ada kubu di Rusia yang menginginkan reformasi yang cepat. Dilepaskanlah kontrol terhadap harga-harga kebutuhan pokok kemudian terbukti menyebabkan Rusia mengalami inflasi hebat. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, ketika kendali Bulog terhadap sembilan bahan kebutuhan pokok dilepaskan. Dan di balik itu semua, kebijakan ini ternyata dilakukan demi melancarkan impor tepung terigu AS ke Indonesia.
Sementara menurut Anne Williamson dalam The Rape of Rusia yang ditulisnya pada situs russian.org, kehancuran Rusia adalah akibat ulah oligarkhi yang dekat dengan keluarga Yeltsin yang menjalankan bisnis korup dengan bantuan presiden AS George W.Bush dan terutama pemerintahan di bawah presiden AS Bill Clinton dalam kolaborasi dengan bankir Wall Street. Hal ini juga didukung oleh para orang rakus di Departemen Keuangan AS, Harvard Institute for International Development, dan manipulator dari lembaga bergengsi seperti Nordex, IMF, Bank Dunia, dan Bank Sentral AS (Federal Reserve).
Sampai kemudian, 31 Desember 1999, Yeltsin yang sudah sakit-sakitan akhirnya mengundurkan diri dan mengumumkan pemilu dini yang diselenggarakan pada awal 2000. Jabatan presiden pun diserahkan pada Vladimir V.Putin.
Kala itu, kondisi perekonomian Rusia begitu porak-poranda. Rata-rata gaji bulanan warga Rusia telah anjlok dari sekitar US$ 177/bulan pada 1998 menjadi US$ 57/bulan pada Januari 1999. Angka inflasi naik menjadi 91 pada periode yang sama.
Putin yang pada mulanya didukung oligarki, akhirnya memenangi pemilu di awal tahun 2000. Namun, tak lama setelah dilantik, Putin mencanangkan jarak pada semua oligarki sambil mendekatkan diri pada para koleganya, orang-orang KGB
Bagi pemerintahan Rusia, keberadaan oligarkhi memang sudah begitu menjengkelkan. Posisi mereka yang kian kuat, menjadikan pemerintah tidak bisa lagi mengontrolnya. Para oligarkhi yang dijuluki ”warga baru Rusia” ini juga hanya sedikit membayar pajak. Bahkan, ada banyak perusahaan yang sama sekali tidak membayar pajak. Selain itu, sepak terjang mereka juga sudah terlalu menakutkan.
Menurut Federico Varese (The Russian Mafia Private Protection in an New Market Economy), di negara dengan kelangkaan sistem hukum dan dimana reformasi sedang terjadi, perlindungan kepemilikan rapuh, negara lemah dan tak mampu memberi perlindungan, maka cara lain seperti mafia pun bermunculan.
Ini semua menjadi keprihatinan besar Putin. Perasaan serupa juga menghinggapi silovski , julukan bagi jajaran pemerintahan Putin yang telah diisi para eks KGB dan kepolisian. Namun, mengatasi oligrakhi juga tidak mudah. Putin dan silovskinya membutuhkan waktu untuk konsolidasi.
Sampai kemudian, sekitar awal 2003, silovski menduduki sekitar 70 persen dari jumlah total staf Kremlin—julukan bagi pemerintahan Rusia. Merekapun kemudian mencanangkan pemulihan kekuasaan negara di berbagai bidang, seperti politik, keamanan, dan juga ekonomi. Momentum balas dendam terhadap oligarkhi pun makin mengkrital. Kejaksaan Rusia mulai menangani kasus Yukos Oil.
Namun, di saat Kremlin gencar bertindak menangani oligrakhi, muncul perlawanan dari Barat, termasuk Uni Eropa. Hal ini menjadi perhatian Barat karena muncul kecenderungan baru nasionalisme Rusia yang kian menguat. Tapi Putin dan silovski tidak peduli.
Pada April 2003, Kantor Auditor Rusia didatangi empat tokoh dari AS dan tiga dari Eropa dalam rangka misi Barat untuk meredam tindakan Rusia pada oligarkhi. Namun sekali lagi, Kremlin bergeming. Pada saat kedatangan delegasi Barat itu, telah diteliti proses swastanisasi atas 140 perusahaan negara di masa lalu. Saat itu, sudah ditemukan 56 jenis pelanggaran. Dan, Igor Shuvalov, salah satu penasehat ekonomi Putin, mengingatkan publik dan oligarkhi bahwa, akan banyak lagi usaha swasta yang dinasionalisasikan.
Bagi silovski, kekayaan alam adalah milik rakyat dan atas nama rakyat. Negara harus mengontrol setiap eksploitasi kekayaan alam. Peran asing pun dibatasi pada sektor yang berkaitan dengan kekayaan alam. Pandangan silovski soal kekayaan alam ini berlawanan dengan kalangan oligarkhi seperti pemegang saham mayoritas perusahaan minyak Yukos, Mikhail Khodorskovsky, turunan Yahudi yang menjalin hubungan mesra dengan para pemimpin negara-negara Barat.
Baron muda—lahir 26 Juni, 1963—perampok minyak negara ini menggunakan penasehat hukum dan ahli keuangan Barat. Karyawannya digaji cukup besar. Laporan keuangan diterbitkan secara rutin, terutama setelah dekade 2000-an.
Khodorkovsky juga melakukan sesuatu yang di permukaan terlihat baik. Misalnya, membentuk Yayasan Rusia Terbuka, yang mendorong pendidikan dan kegiatan budaya. Khodorkovsky merekrut mantan Menlu AS, Henry Kissinger, Lord Rothschild, dan mantan dubes AS untuk Rusia, Artur Hartman, sebagai direksi di yayasan itu. Semua upaya Kodorkovsky ini juga sering disebut sebagai ”Open Mike”.
Selain menanamkan keterbukaan, ia juga merangkul asing, khususnya AS. Ia mencanangkan penjualan sahamnya di Yukos. Rencana selanjutnya, Yukos akan dimerger dengan ExxonMobil, salah satu raksasa minyak asal AS.
Kodorkovsky juga gencar menebar uang pada partai-partai yang haus dana. Ia pun mendekati Partai Komunis, termasuk pihak yang bersekutu dengan Putin. Ia juga mencoba merangkul partai-partai reformasi demokrat, menyuap 100 anggota parlemen di majelis rendah Rusia (Duma) untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah agar menguntungkan bisnisnya, di samping juga menebar dana pada media-media yang berpengaruh agar menurunkan laporan dan tajuk rencana yang mengkritik Putin.
Pengaruh Open Mike yang digadang Kodorkovsky pun kian menguat. Hal ini membuat Putin dan silovski geram. Karena itu, sepulang dari Camp David, AS, usai bertemu George W Bush, pada Oktober 2003, Putin memerintahkan penangkapan, pengadilan, dan pemenjaran bagi Kodorkovsky.
Barat pun bereaksi keras. Bursa saham Rusia anjlok. Departemen Luar Negeri AS berang, ExxonMobil dan investor lain mengancam tak akan berinvestasi di Rusia. PM Israel, Ariel Sharon, sebelum pingsan, pernah mengatakan kepada Putin bahwa Putin telah melakukan kesalahan dengan memenjarakan Kodorkovsky.
Namun, Putin jalan terus. Backing Kodorkovsky pun digusur. Alexander Voloshin, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rusia dan pendukung Korodkovsky dari era Yeltsin dipaksa mundur secara cepat.
Silovski berargumen, AS juga melakukan penyelidikan terhadap Enron, raksasa energi AS yang melakukan penipuan keuangan. Kasus Khodorkovsky sendiri bermula pada penipuan terkait dengan privatisasi pada tahun 1994. Pada tahun 2004, penipuan ini terungkap. Sejumlah pekerja di perusahaan Khodorkovsky didakwa telah pernah melakukan korupasi, penyuapan, dan pembunuhan. Khodorkovsky juga dituduh mencuri aset negara, menipu aparat perpajakan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar bagi silovski untuk mengambil alih aset Yukos.
Dan AS yang mendukung Open Mike tetap tidak peduli dengan alasan pemberangusan yang dilakukan Putin. AS terus mengkritik bahwa Rusia makin menjauh dari jalan demokrasi. Kritikan AS ini pun dijawab langsung Putin sebagai sebuah kritik yang tidak punya taktik dan tak bisa dihormati.
Sejak itu, dukungan publik domestik Rusia terhadap kepemimpinan Putin pun kian tak terbendung. Tahun 2007, majalah Time, memilih Putin sebagai Man of the Year. Dukungan publik terhadap Putin—termasuk pada kebijakan-kebijakan politiknya yang tidak selalu demokratis—didasarkan pada beberapa sebab.
Pertama, di bawah Putin, Rusia seakan mendapatkan kembali statusnya sebagai kekuatan besar dunia, status yang sempat tergerus pasca bubarnya Uni Soviet. Komunitas internasional saat ini sudah harus mulai memperhitungkan kembali Rusia sebagai salah satu faktor penting yang menentukan situasi politik dunia. Selain itu, kehidupan perekonomian yang sempat kolaps di sepanjang tahun 1990-an dapat dibenahi dalam dua periode kepemimpinan Putin.
Kedua, demokrasi telah memberikan ‘pengalaman kurang menyenangkan’ kepada mayoritas masyarakat Rusia. Di bawah slogan demokrasi, rakyat Rusia menyaksikan bermunculannya para tycoons atau kelompok elit ekonomi baru (oligarkhi) yang berhasil memanfaatkan peluang untuk menguasai aset-aset strategis negara pasca bubarnya Soviet, hanya untuk kemudian melarikan kekayaannya keluar negeri. Kemunculan kelompok tersebut mengakibatkan makin tajamnya kesenjangan ekonomi dalam negeri Rusia yang babak belur pasca bubarnya Soviet. Para tycoons tersebut diantaranya adalah Boris Berezovsky dan Roman Abramovich yang keduanya kini bermukim di London, serta Mikhail Kodorkovsky, eks bos Yukos Oil, yang kini mendekam di penjara pemerintah Rusia.
Ketiga, masyarakat Rusia telah pula menyaksikan rangkaian episode gagalnya proses konsolidasi demokrasi di negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya seperti di Georgia dan, yang terkini, di Ukraina serta Kyrgiztan. Ketiga negara terebut adalah ‘proyek percontohan’ atas proyek demokratisasi di post-Soviet Spaces pasca hiruk pikuknya revolusi-revolusi Berwarna (Colored Revolutions) yang melanda kawasan tersebut tahun 2004-2005 silam. Hingga saat ini, ketiga negara tersebut masih terus berkutat dengan proses konsolidasi serta konflik domestik yang tak berkesudahan akibat gagalnya para elit pada masing-masing negara tadi untuk mengawal proses transisi tersebut. Kondisi demikian menimbulkan keraguan bagi rakyat Rusia untuk menempuh jalan serupa.
Keempat, adalah faktor historis dan kultural di dalam tubuh masyarakat Rusia sendiri. Pertentangan pandangan antara kelompok tradisionalis dan westernis yang telah berlangsung semenjak masa imperial masih terus berlangsung hingga saat ini. Administrasi pemerintahan Presiden Putin saat ini didominasi oleh kelompok silovski, yang cenderung berpandangan tradisionalis. Kondisi tersebut kemudian berpengaruh pada orientasi dari pemerintahan Putin yang lebih menekankan pentingnya keberadaan birokrasi pemerintahan yang kuat serta sentimen-sentimen historis mengenai kebangkitan kembali atas kejayaan Rusia (Russia’s Greatness) dengan berkaca pada kejayaan Rusia di era imperial dan Soviet ketimbang demokrasi, terutama demokrasi liberal, yang dianggap sebagai bentuk penetrasi kebudayaan Barat yang diusung kelompok westernis yang jumlahnya minoritas.
Globalisasi dan Politik Identitas
Menurut Marshal I Goldman dalam Putin and the Oligarchs (Foreign Affairs Council on Foreign Relation, AS, edisi November/Desember 2004), peninjauan kembali swastanisasi perusahaan-perusahaan negara yang terburu-buru, penangkapan Khodorkovsky, dan pengambilalihan aset Yukos Oil oleh Putin dan silovski adalah tindakan yang tepat, yakni pembenahan Negara. Dan karena itu pula, dukungan publik domestik pada Putin terus membesar, karena upaya Putin dirasakan publik Rusia mampu mengembalikan harga diri bangsa.
Secara legal formal, Rusia menganut sistem pemerintahan yang berbasiskan pada demokrasi. Penegasan tersebut terdapat di dalam konstitusi federal. Tapi pada prakteknya Putin cenderung melakukan ‘kebijakan politik terpusat’, yakni memusatkan kekuasaan politik dibawah kekuasaan institusi Presiden, yang semakin intensif dilakukannya sejak masa jabatannya yang kedua tahun 2004. Kritik, baik yang datang dari dalam maupun luar Rusia, termasuk dari Amerika Serikat dan Uni Eropa, hingga saat ini tidak mampu menggoyang Putin dari kursi kepemimpinan nasional Rusia.
Demokrasi Rusia mengalami semacam paradoks. Pada satu sisi Demokrasi masih dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling ideal bagi masyarakat Rusia, paling tidak secara legal-formal. Akan tetapi, pengalaman traumatik akan kekacauan-kekacauan politik (political catastrophes) yang terjadi pasca Glasnost dan Perestroika, serta sebab-sebab lain yang telah dikemukakan sebelumnya, membuat mayoritas rakyat Rusia merasa ‘nyaman’ berada di bawah figur pemimpin yang kuat seperti Putin. Sekalipun gaya kepemimpinannya tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Tapi saya kira, itulah wujud kematangan Rusia dalam melakukan sintesa sebagai jalan tengah untuk mempertemukan globalisasi (fundamentalisme pasar) dengan kepentingan domestik, sebagai bagian dari politik identitas Rusia. Sementara bangsa ini, hingga saat ini, masih terasa begitu gagap menghadapi terjangan globalisasi di satu sisi dan menguatnya politik identitas di sisi lainnya. Secara umum, bangsa ini lebih memilih politik identitas sebagai tameng menghadapi terjangan globalisasi ketimbang secara cerdas mencari kompromi diantara dua nilai tersebut. Akibatnya, praktik intimidasi, kekerasan, konflik horisontal-vertikal menjadi begitu kerap mengedepan.
Kemudian, ketika semua itu diperhadapkan dengan kemiskinan, pengangguran, bencana alam, sebagian dari kita pun mulai merasa gamang, jangan-jangan ”bayi peradaban” yang akan dilahirkan ibu pertiwi begitu penuh cacat, atau bahkan mengantarkan pada kematian. Selanjutnya, ketika masalah SARA juga mulai merenggut toleransi dan perasaan saudara sesama warga, kegamangan itu pun kian menjadi-jadi, mendorong kita mencari pegangan. Dan akhirnya, yang kita temukan adalah apa yang sejak runtuhnya Orde Baru jarang kita bicarakan: Pancasila, rumah kita bersama, ideologi bangsa dan negara, sebuah belief system, pedoman hidup, dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai.
Persoalannya kemudian, di tengah kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan sosial serta kecenderungan untuk konsumsi, kompetisi, dan konflik yang terasa kian intens, harapan rakyat cenderung diletakkan pada hal-hal yang sederhana, dan bukan hal-hal yang serba makro dan mendasar. Harapan rakyat adalah, jika ada Ormas yang melakukan intimidasi terhadap anggota masyarakat lainnya, Presiden langsung naik panggung dan dengan tegas menyatakan, ”Republik ini tidak dibangun atas dasar agama, suku, ras, dan golongan. Karena itu, hal yang aneh-aneh harus bubar.” Ketegasan kepemimpinan serupa itu merevitalisasi dua sila sekaligus. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia.
Harapan rakyat ketika BBM di pasar internasional naik tinggi, Presiden langsung naik panggung dan mengatakan, ”sebagai Presiden, saya tidak mau rakyat saya menghadapi kesengsaraan yang teramat sangat. Pemerintah memang tengah tidak punya uang untuk mengatasi beban berat itu. Kita akan tinjau kembali seluruh kontrak-kontrak karya atas eksploitasi sumber-sumber energi kita agar kepentingan rakyat kita diutamakan, atau jika perlu, pemerintah akan mencari utang demi rakyat.” Saya kira ini akan menjadi energi bagi rakyat yang tidak akan habis-habisnya bagi revitalisasi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Harapan rakyat dalam pembangunan demokrasi kita adalah Presiden menegaskan bahwa, ”dalam sistem demokrasi kita, hal-hal yang menyangkut nilai tertinggi bangsa ini, seperti persatuan, keputusan harus melalui musyawarah dan mufakat. Voting tidak dapat digunakan sebagai mekanisme pengambilan keputusan atas aneka masalah yang mengandung resiko memecah, yang mengancam persatuan, dan keutuhan bangsa.” Ketegasan ini akan merevitalisasi Keadilan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijakan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Kemudian untuk Keadilan Sosial, harapan rakyat adalah dapat menikmati air bersih, transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman, selokan dan sungai tidak mampet sehingga tidak banjir, mendapatkan sekolah dengan mudah, murah, dan berkualitas, ketika sakit rumah sakit-rumah sakit tidak memilih orang dengan dompet tebal atau tipis, mudah mengurus KTP, SIM, dan surat-surat, ruang-ruang kota tidak sekadar dijejali dengan mall dan gedung-gedung tinggi, tetapi juga taman untuk cangkruk, tempat anak-anak bermain sepak bola tidak lagi di badan jalan, pedagang kakilima tidak perlu dijejali kegelisahan oleh datangnya aparat penertiban, dan sebagainya.
Melalui pemenuhan atas harapan-harapan rakyat yang sederhana itu, impian kita merevitalisasi Pancasila dan menjadikannya sebagai rumah kita bersama tidak lagi sekadar utopia. Dan ini artinya, kebijakan publik yang diproduksi mestinya mengarah pada pemenuhan harapan-harapan rakyat yang sederhana itu.
Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) adalah sebuat instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government—menyangkut aparatur negara—melainkan juga governance—menyentuh berbagai bentuk kelembagaan—baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, financial, dan manusia demi kepentingan public, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili system politik suatu Negara.
Banyak sekali definsi mengenai kebijakan public. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan public dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai ’apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’. Seperti kata Bridgman dan Davis (The Australian Policy Handbook), seringkali, kebijakan publik tidak lebih dari pengertian mengenai ’whatever government choose to do or not to do’.
Kadang-kadang, kebijakan publik menunjuk pada istilah atau konsep untuk menjelaskan pilihan-pilihan tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-bidang tertentu dalam sektor-sektor fasilitas umum, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, atau kesejahteraan. Urusan-urusan yang menyangkut kelistrikan, air, jalan raya, sekolah, rumah sakit, perumahan rakyat, lembaga-lembaga rehabilitasi sosial adalah beberapa contoh yang termasuk dalam bidang kebijakan publik.
Beragam pengertian mengenai kebijakan publik ini tidak bisa dihindarkan, karena kata kebijakan merupakan penjelasan ringkas yang berupaya untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai dari pembuatan keputusan-keputusan, penerapan, dan evaluasinya. Telah banyak upaya untuk mendefiniskan kebijakan publik secara jelas, namun pengertiannya tetap saja menyentuh wilayah-wilayah yang seringkali tumpang tindah, ambigu, dan luas. Beberapa kalangan mendefinisikan kebijakan publik hanya sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan perturan pemerintah. Sebagian lagi, mengartikan kebijakan publik sebagai pedoman, acuan, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.
Dalam tulisan ini, saya mengambil posisi bahwa setiap perundang-undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan. Hogwood dan Gunn seperti dikutip dalam Bridgman dan Davis menyatakan bahwa, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak berarti bahwa makna kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi-organisasi non-pemerintah dan lembaga-lembaga voluntir lainnya mempunyai kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena tidak memakai sumberdaya publlik atau memiliki legalitas hukum sebagaimana lembaga pemerintah.
Mengacu pada Hogwood dan Gunn, Bridgman dan Davis menyatakan bahwa kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai; (2) Proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih; (3) Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah; (4) Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan; (5) Keluaran, yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah sebagai produk dari kegiatan tertentu; (6) Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y; dan (7) Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.
Selanjutnya, Bridgeman dan Davis menerangkan bahwasanya kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yakni sebagai pilihan tindakan legal secara hukum (authoritative choice), sebagai hipotesis (hypothesis), dan sebagai tujuan (objective).
Kebijakan publik dalam dimensi sebagai pilihan tindakan legal karena produknya dibuat oleh orang yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan. Keputusan-keputusan itu mengikat legitimasi dalam sistem pemerintahan. Meskipun demikian, keputusan-keputusan legal belum tentu dapat direalisasikan seluruhnya. Selalu saja ada ruang atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara apa yang sudah direncanakan dengan apa yang dapat dilaksanakan, Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu. Setiap pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan warisan kebiasaan-kebiasaan pemerintahan terdahulu. Rutinitas birokrasi yang diterima biasanya merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah terbukti efektif jika diterapkan. Dalam konteks ini, adalah penting mengembangkan proses kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil baik.
Bagaimanapun, kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses yang kompleks. Gagasan dapat datang dari berbagai sumber, seperti kepentingan para politisi, lembaga-lembaga pemerintah, interpretasi para birokrat, serta intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media, dan warga negara.
Kebijakan publik sebagai hipotesis karena kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu atau disinsentif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan (proyeksi) mengenai keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme mengenai kegagalan yang mungkin terjadi.
Karena itu, memahami kebijakan publik sebagai hipotesis membutuhkan kalkulasi-kalkulasi ekonomi dan sosial. Memandang kebijakan publik sebagai hipotesis juga menekankan pentingnya pelajaran dan temuan-temuan dari hasil implementasi dan evaluasi. Pembuatan kebijakan publik yang baik didasari kemampuan dalam memahami pelajaran-pelajaran dari pengalaman-pengalaman kebijakan sebelumnya dan menerapkan pelajaran-pelajaran itu dalam langkah perumusan kebijakan berikutnya. Karena banyaknya pemain dan kepentingan dalam perumusan sebuah kebijakan publik, mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan dengan penerapan kebijakan berikutnya bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan orientasi yang terfokus—harga diri bangsa dan kesejahteraan serta harapan sederhana rakyat banyak—saya kira bisa dijadikan jalan keluarnya.
Selanjutnya, kebijakan sebagai tujuan mengacu pada kenyataan bahwa kebijakan adalah a mean to an end, alat untuk mencapai sebuah tujuan. Betapapun, kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.
(Bersambung)

0 komentar: