Jumat, 09 April 2010

TERAMPAS RUANG BERMAIN ANAK


Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987 - Wikipedia)

Dunia anak identik dengan dunia fantasi yang penuh energik dalam mencerna lingkaran, segi tiga, segi empat, kerucut, limas, simetris, asimetris dan warna warni. Terang benderang berkelap-kelip tanpa ada kegelapan, berlarian, berjalan, menangis, dan tertawa lepas sarat dengan keceriaan di dalam dunia anak-anak. Sungguh menajubkan dunia anak seperti oasis yang selalu memberikan inspirasi dan tidak pernah kering di dalam kehidupan. Bila melihat di Jepang ada semacam jidoukan (gedung tempat bermain anak-anak) dengan berbagai fasilitas bermain, perpustakaan, dan alat musik yang diminati oleh anak-anak sampai usia SD. Peralatan permainan yang tersedia berupa peralatan olahraga, tenis meja, peralatan senam, dan hula hop. Perangkat permainan anak-anak balita berupa peralatan masak-masakan, balok-balok susun, mobil-mobilan mini, rumah-rumahan, boneka, dan lain-lain.

Menurut pendapat Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menyetimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.

Dunia ke depan milik anak-anak, mereka yang akan tampil untuk bertanggung jawab menjaga serta mengelola ‘permukaan bumi’ agar tetap seluruh ekosistem lestari untuk hidup dan kehidupan mendatang. Sungguh tanggung jawab yang berat dipikul oleh generasi penerus.

Melihat catatan panjang dunia anak-anak di ibu pertiwi Indonesia sungguh memilukan. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, “Belakangan diindikasikan semakin berkurangnya kemampuan masyarakat dalam membeli kebutuhan untuk hidup dan berkembang, menjaga kelangsungan hidup, serta melindungi anak, menyebabkan masalah anak semakin meningkat seperti gizi buruk pada anak balita atau sekitar 2,3 juta jiwa. Demikian pula gizi kurang sekitar 43,6 %. Selain itu, rendahnya partisipasi sekolah SLTP sekitar 60 % dan SLTA 32 % menyebabkan rata-rata anak sekolah di Indonesia untuk perempuan baru mencapai 7,1 tahun dan untuk laki-laki baru mencapai rata-rata 7,9 tahun.” (18/2/08)

Melihat ‘potret warna’ catatan panjang yang kelam anak Indonesia ini, menandakan hilang atau “terampas“-nya eksistensi ruang yang tersedia untuk anak-anak tersebut dalam berbagai dimensi ruang. Di dalam Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli. Seto Mulyadi bertutur, “Kita diajak merenungkan nasib mereka, terutama yang kurang beruntung. Ribuan bahkan jutaan anak hidup di bawah garis normal, memaksa mereka berkelana di jalan-jalan, bekerja di jermal-jermal, dan lainnya.” (Kompas, 23/7/08)

Mengembalikan ‘hak’ ruang anak yang terampas, dari cetak biru perencanaan kota yang berorientasi market semata, menuju masterplan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang lebih me-manusia-kan manusia. Sebagaimana perkembangan kota Jakarta, yang merupakan parameter perencanaan kota-kota di Indonesia. Ketersediaan ruang bermain anak, baik dalam ruang tertutup maupun ruang terbuka hijau (RTH) masih teramat kecil persentasenya, terutama sekali ruang terbuka hijau untuk anak-anak sungguh memrihatinkan. Pertanyaannya adalah dari lima kota madya dan satu kabupaten yang ada Jakarta, berapa persentase ketersediaan ruang terbuka hijau untuk bermain anak dari setiap kota madya dan kabupaten? Dan berapa persentase yang ideal untuk ketersediaan ruang terbuka dan tertutup untuk bermain anak untuk sebuah kota seperti Jakarta? Di dalam kebijakan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang meng-apreasiasi-kan cetak biru perencanaan kota “wajib hukum”-nya memberikan persentase ideal untuk ruang bermain anak-anak.

Contoh nyata yang terjadi di DKI Jakarta saat ini adalah berkurangnya luas ruang terbuka hijau (RTH) akibat berbagai faktor, di antaranya perubahan fungsi lahan. Contoh kasus yang menarik adalah pada ruang terbuka hijau yang berubah menjadi mal, perkantoran, pusat bisnis, atau pemukiman penduduk. Di DKI Jakarta, mengacu pada Perda No. 5/1984, sesuai dengan RUTRK 1985 - 2004, luas ruang terbuka hijau seluas 25,85 %. Sementara itu mengacu dengan Perda No. 6/1999 ruang terbuka hijau hanya tersisa 13,94 % (kondisi lapangan: ruang terbuka hijau hanya tersisa 5.059 Ha ( 9 %) dari luas DKI sebesar 66.152 Ha (Kompas, 24/03/02)

Keterbatasan ruang publik yang tersedia dalam aktifitas kota semarak Jakarta, merupakan permasalahan yang harus ada jalan keluarnya. Saat ini dan ke depan perencanaan kota idealnya melibatkan seluruh stake holder terutama masyarakat yang hidup dan beraktifitas di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

Dengan mengeksplorasi ruang publik (public space) menjadi ruang belajar dan bermain, merupakan salah satu solusi untuk mengantisipasi dari permasalahan keterbatasan ruang untuk anak-anak bermain dan belajar secara optimal khususnya di DKI Jakarta.

Semoga perencanaan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai dan dapat menciptakan anak-anak Indonesia yang kuat serta cerdas serta terwujudnya lingkungan yang asri, nyaman, aman, serta lestari untuk generasi mendatang. Semoga

0 komentar: