Jumat, 09 April 2010

KEADILAN


MANAKAH yang lebih pedih, menyaksikan Drupadi yang dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana, ataukah kematian Dursasana yang darahnya ditenggak oleh Bima bertahun-tahun kemudian? Saya kira, banyak diantara kita yang tersulut marah sebagaimana Bima marah melihat kesewenang-wenangannya pangeran Kurawa itu ketika ia merasa sudah punya hak atas Drupadi: ia mencoba membuka kemben perempuan itu dan menelanjanginya di depan umum dengan tawa kemenangan.
Tapi apa yang kemudian didapat Bima, juga Hamlet yang akhirnya menikam orang yang telah membunuh ayahnya secara khianat? Keadilankah? Atau hanya sebuah pembalasan dan mempersamakan kepedihan?
Dalam banyak lakon, kita memang begitu kerap disodori siklus serupa itu. Ken Arok membunuh Akuwu Tunggulametung untuk mendapatkan sijelita Kendedes dan kursi kekuasaan. Lalu, Anusapati—putra Tunggulametung-Dedes—menghunus keris, menikam Arok, melahirkan kematian. Tapi kisah tidak berhenti. Tohjaya—putra Arok-Dedes—menikam saudara tirinya dan kembali lahirlah kematian.
Sejarah lalu menjadi seperti film Cina: Pembalasan. Walau banyak orang—dengan kacamata yang juga banyak tentu saja—kemudian menyebutnya sebagai keadilan.
Hanya saya kira, keadilan adalah satu hal dan pembalasan adalah hal lain. Keadilan tak dengan sendirinya menuntut persamaan rasa sakit, persamaan keganasan, atau bahkan persamaan perlakuan baik. Keadilan mendorong keinginan untuk memperbaiki keadaan bersama, agar penderitaan tak ada. Keadilan mendasarkan diri pada sikap memandang bahwa "kebersamaan" itu mengandung syukur.
Memang sering, demi keadilan, orang terbawa untuk menekankan "kesamaan antarmanusia". Namun kita tahu bahwa "kesamaan" tak identik dengan "kebersamaan", dan "manusia" tak identik dengan ”gerombolan” atau "puak".
Dari sana kita tahu, Bharatayudha pada akhirnya menjadi tidak punya makna jika kita melihatnya sebagai kisah "satu nyawa untuk satu nyawa". Absurditas itulah yang memang membayang sebagai "sub-teks" Mahabharata: ada sebuah cerita ngeri yang diselundupkan—dan kemudian kita temukan dan kita terkejut—ke dalam sebuah cerita agung yang tampaknya berkisah tentang perjuangan antara yang mulia dan yang keji.
Dalam Mahabarata, Bima bisa jadi tokoh cerita keadilan tapi juga cerita pembalasan puak. Menyaksikan bagaimana Drupadi dinistakan, Bima bersumpah kelak akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya. Tapi ia tak berbuat apa-apa untuk menghukum Yudistira, kakaknya, anggota puaknya, yang justru menjadi penyebab awal dari semua peristiwa: berjudi dengan mempertaruhkan Drupadi.
Lalu, bagaimana kita bisa menganggap nepotisme ini sebuah tema keadilan? Lalu apa yang ditegakkan oleh Bima sebenarnya ketika ia menghantam hancur paha Kurupati dalam pertempuran terakhir?
Jawabnya sekali lagi, saya kira bukan keadilan.
Kurupati memang dulu telah mengusir dan mencoba membinasakan para Pandawa dengan api. Tetapi bila Bharatayudha dilihat sebagai tindakan menuntut balas, dan bukan sebuah ikhtiar untuk membebaskan para Pandawa—yaitu para korban—dari kesewenang-wenangan, maka pertempuran itu hanya mengasyikkan sebagaimana juga ia absurd, tak punya makna.
Bahkan yang dihadirkan di sana bukanlah sebuah penyamaan. Rasa sakit yang diderita Kurupati tak ada hubungannya dengaan rasa sakit Bima: bahkan tak ada dari kelima Pandawa itu yang dulu diperlakukan demikian oleh orang Kurawa. Dibuang 13 tahun di hutan memang penderitaan yang panjang bagi para pangeran itu, tetapi sebetulnya perkaranya bisa dianggap beres seandainya Pandawa, yang menang dalam perang, kembali ke tahta mereka tanpa menganiaya seorang Kurawa pun.
Tetapi bila sang korban telah berhenti menjadi korban pada saat ia menjadi algojo terhadap orang yang dulu mengorbankannya, peralgojoan akan terus saja ada, dan korban akan terus saja ada. Hanya posisi yang berubah.
Tatkala perang selesai dan begitu banyak orang terbunuh, para pangeran Pandawa akhirnya tak memperoleh sesuatu yang bisa dipertahankan. Satu hal yang kemudian mereka sadari adalah bahwa tahta Amarta tak bisa kekal. Generasi kedua Pandawa telah habis, gugur: Gatutkaca, Abimanyu…. Demikianlah, di bagian akhir Mahabharata, kelima orang yang menang itu—Yudistira, Bima, Arjuna, Sakula, dan Sadewa—berjalan ke Mahameru untuk menemukan mati. Juga neraka.
Seperti juga Hamlet yang hidup dengan amanat yang jatuh kepadanya dari hantu sang ayah—hantu yang datang dari dunia yang tanpa rasa sakit tapi mendorongnya untuk menyakiti orang lain dan menyakiti dirinya sendiri. Akhirnya semuanya sebuah kekosongan. Semuanya hancur dan punah: Ophelia, kekasihnya, telah mati lebih dulu; ibunya, Getrude, meminum racun dari gelas yang salah; dan juga ia sendiri tertikam pedang yang diisi warangan.
Lalu, adakah Tuhan, yang tanpa rasa pedih, menghendaki kita, seperti Hamlet atau Bima, punya obsesi untuk mempersamakan kepedihan atau memproduksi kutukan secara massal?
Saya kira Tuhan tidak memelihara kutukan. Sebab Tuhan begitu sarat dengan maaf dan cinta—Allahu ghofururrokhiim—sehingga bila ada seorang bandit yang luar biasa, lalu besok dia bertobat dan benar-benar bertobat, maka ia akan dijunjung-Nya dalam martabat yang sangat tinggi. Tapi nampaknya itulah yang tidak bisa kita lakukan di Indonesia kita ini.
Pada orang yang bernama Soeharto dan yang kebetulan pernah menjadi presiden di negeri ini dengan panuh dhalim misalnya. Biarpun sudah wiridan sampai ndlosor-ndlosor, nampaknya tetap kita menganggapnya dhalim. Meskipun dia sudah bertobat kayak apapun. Kenapa?
Sebab, yang kita butuhkan nampaknya adalah agar Pak Harto masuk neraka. Itulah masalahnya, agar kita punya keyakinan. Walaupun saya kira itu tidak jujur, karena setiap manusia di dalam hak-hak bumi dan langitnya memiliki peluang-peluang untuk memperbaiki dirinya dalam keadaan apapun sampai dia menarik nafas penghabisan.
Atau jangan-jangan kita yang nantinya masuk neraka dan diisin-isin pak Harto, "Lho kok ning kene kowe le?"
Karena setiap kali dia dikutuk, dosanya satu dihapus. Di warung orang ngomong, "dasar kayak Suharto!", dan dosanya Suharto dihapus. Akhirnya habis dosanya Suharto, karena engkau mengutuk semua. Karena kutukan kepada Suharto itu haknya Tuhan. Maka, Tuhan pun lalu mencoret semua dosanya, sret-sret, bersih, lalu tiba-tiba masuk surga. Dan di jendela surga, dia pun menganguk-anguk, "Lho ndik kene koen iku? Lho iku lak arek sing mbakari fotoku ta?”
Ah....barangkali benar, kita hidup dengan ide yang serba keliru. Ketika kita mengutuki dan menghantam gigi orang lain atas nama keadilan, justru ada yang hancur dalam nilai hakiki keadilan itu sendiri—yaitu kebahagiaan dalam kebersamaan. Bukan gigi, bukan mata, bukan nyawa. Sebab, keadilan mendasarkan diri pada sikap memandang bahwa "kebersamaan" itu mengandung syukur, mendorong keinginan untuk memperbaiki keadaan bersama, agar penderitaan tidak lagi diberlangsungkan secara menerus.**IBA

0 komentar: