Jumat, 09 April 2010

LEGENDA JAKARTA


Jakarta dahulu hanya semak belukar, mungkin pula dahulu kala wilayah pesisir ini hidup tanpa ada-nya sebuah “harapan dan masa depan”. Ternyata perjalanan kota Jakarta sangat panjang, menarik, menakutkan dan mengundang berjuta tanda tanya. Ada beberapa serpihan-serpihan sejarah tentang Jakarta telah tertinggal, dari sini “tapak tilas” dimulai.
Konon cerita-nya Jakarta masa lalu adalah sebuah pelabuhan bukan sebuah kota. Adanya secarik kertas yang tertinggal di “saku baju”-nya seorang Gubernur Jenderal Portugis, yang mempunyai nama lengkap adalah d’Alboquerque, membuktikan dahulu kala Jakarta merupakan hanya sebuah pelabuhan belaka. Pengakuan d’Alboquerque pengalaman pertamanya menghirup dan menginjak aroma tanah Jakarta yang dahulu kala bernama Bandar Sunda Kelapa, adalah pada abad 16 M tepatnya tahun 1522.
Ketika itu Sunda Kelapa dibawah kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran, yang wilayah sentral tampuk kekuasaannya terletak di Batu Tulis, Bogor. Dan aneh-nya ketika bangsa Portugis datang, ternyata sudah ada bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu bersandar dan menghirup udara tanah Sunda Kelapa. Yaitu Arab, India, Tiongkok dan Jepang. Atau disebut orang-orang “Asia Timur”. Menarik, terbukti Sunda Kelapa sebenarnya sudah ada jauh sebelum “Pak Gubernur Jenderal Portugis” datang. Pertanyaan-nya adalah abad ke berapa Sunda Kelapa mulai di buka menjadi sebuah Bandar Pelabuhan? Dan siapa “tamu asing” pertama yang datang berkunjung ke tanah yang sampai saat ini terkenal dengan “Roti Buaya”-nya?
Sedangkan delegasi saudagar dagang bangsa Belanda Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) baru datang “berjualan” pada 13 November 1596, yang dipimpin oleh seorang ketua delegasi Cornelis de Houtman. Menyusul para pedagang East Indian Company (EIC) dari benua Eropa lain-nya yaitu bangsa Inggris, pada tahun 1602.
Sunda Kelapa yang telah berubah bentuk, yang dulu-nya semak belukar dan dihuni oleh bermacam-macam species binatang buas, terutama konon cerita-nya banyak sekali species Buaya. Dan mengalami perubahan menjadi sebuah Bandar Pelabuhan yang padat dengan berbagai aktifitas kegiatan di dalam-nya. Dengan alamiah tumbuh berbagai tempat atau rumah serta gudang, yang berfungsi sesuai dengan kebutuhan masyarakat Pelabuhan. Hal ini terungkap dengan terdapat-nya berbagai jenis lukisan-lukisan, terutama lukisan yang terdapat di Leiden Belanda. Dimana di dalam lukisan-lukisan tersebut tergambar jelas tentang kegiatan masyarakat Sunda Kelapa ketika itu. (lihat AD Willaerts tahun 1649 dan J. van Rijne tahun 1754).
Dengan perjalanan waktu pula lambat laun Bandar Pelabuhan Sunda Kelapa, mulai terbentuk “struktur kota”-nya. Yaitu kota Pelabuhan, dimana cikal bakal terwujud-nya kota “super sibuk” Jakarta.
Oud Batavia wilayah kota Jakarta tempo doeloe, Wilayah Oud Batavia kala itu tidaklah begitu luas. Mencakup daerah Menara Syahbandar di Pasar Ikan sampai JL. Asemka – JL. Jembatan Batu sekarang. Rancangan kota-nya dikembangkan oleh Simon Stevin (1618) dan Kastil Jakarta mendominasi seluruh Oud Batavia. Pemukim Kastil Oud Batavia kala mula pertama diperkirakan sekitar 10.000-20.000 orang, termasuk asrama militer yang tidak lam kemudian penghuni-nya melimpah keluar dinding kota.
Kota dengan penduduk yang berlebihan ini kemudian menarik migran baru yang tak terhitung jumlah-nya. Pada abad pertama sejak berdiri-nya, Oud Batavia berpenduduk sekitar 25.000-50.000 jiwa. Pembagiannya kira-kira 10 persen orang kelahiran Eropa (terutama personil VOC yang direkrut dari Eropa), kira-kira 20 persen orang “campuran” atau ‘Indo’, yaitu orang berdarah campuran Eropa dan pribumi yang secara resmi tercatat sebagai bangsa Eropa dan membentuk sebagian penting penduduk kota. Kemudian, kira-kira 30 persen orang Tionghoa. Sisa-nya, 40 persen merupakan campuran penduduk “Bumiputera” dan orang Asia lain-nya.
Setidak-tidak-nya, separuh-nya berstatus budak, diantara yang terbanyak orang Bali. Selain itu juga patut disebut orang berkebangsaan Afrika, budak, dan orang merdeka: orang Jepang, terutama serdadu bayaran; orang Timur Tengah, seperti pedagang-pedagang Arab; dan beberapa orang India, Burma, Siam, Kamboja, serta orang Filipina.
Bangunan-bangunan tua bernuasa religi ke-agama-an, yang terdapat di Jakarta. Konon cerita-nya sudah ada sejak abad ke-18 M, sebagaimana yang masih tersisa seperti: Masjid Al-Mansur (Jembatan Lima); Masjid Luar Batang; Masjid Kampung Baru (Bandengan Selatan); Masjid An-Nawier (Pekojan); Masjid Angke; Masjid Tambora; Masjid Krukut; Masjid Kebon Jeruk; dan Masjid Al-Mukarromah (Jl. Lodan).
Setiap bangunan masjid mempunyai sejarah yang unik menarik, seperti Masjid Angke (Al-Anwar). Menurut cerita sejarah-nya, masjid ini dibangun oleh orang Bali yang telah sejak tahun 1687 tinggal di kampung tersebut. Dimana dalam konstruksi bangunan masjid ini, telah mewakilkan berbagai ragam unsur budaya. Yang antara lain, unsur Bali, Belanda, Jawa, dan Tionghoa. Perpaduan budaya yang terwujud-kan di dalam elemen konstruksi bangunan, terlihat sangat “harmoni” walau dilihat dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Sedangkan bangunan Gereja tua, yang masih terdapat di Jakarta yakni: Gereja Kubah (Koepelkerk),Gereja Lutheren di Kali Besar Timur; Gereja Portugis (Sion); Gereja Tugu; dan Kapel Weltevreden di Gang Kenanga Senen. Serta ada-nya beberapa Klenteng Budhis, seperti: Klenteng tua Jin-de yuan (1755) di Glodok; Klenteng Ancol; Klenteng Li Tie guai (1812) di JL.Perniagaan Selatan.
Kebudayaan Betawi “ramuan” dari berbagai ragam budaya, sebagai mana di dalam dialog keseharian ter-potret jelas adanya percampuran budaya tersebut. “Pan udah gua bilang, kalo mao ilangin stress, kudu sering naar boven” kata supir bajaj. "Oke deh, ane reken isi dompet dulu. Bangsa goban sih ada," jawab si penumpang.
Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane - saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa (goban - limaribu), Jawa (kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa.
Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu, sungguh menarik. Selain itu, bahasa juga memberikan “petunjuk” bahkan arah ke mana sebuah komunitas dan juga bangsa mengaitkan akar jati diri-nya. Selebih-nya hanya “profarma”. Ritus, upacara, atau tradisi-tradisi kuno, jika pun di-pertahan-kan, lebih bersifat seremonial, klangenan, komersial, serebral profan, atau bahkan sekadar hura-hura. Tetapi tidak dengan bahasa. Demikian pula dengan “Bahasa Betawi”.
Identitas kota Jakarta adalah kota legenda, dimana perjalanan hidup untuk sebuah kota, Jakarta termasuk sebagai “kota tua”. Pernak-pernik kehidupan kota Jakarta, sungguh menajubkan.
Secara “alunan” geografis dan sejarah-nya, Jakarta bila di-sanding-kan dengan kota-kota tetangga, seperti; Beijing (k.l 300 SM), Hanoi (k.l Abad 7 M), atau Kyoto (794 M), Jakarta merupakan “anak keponakan” yang relative muda. Akan tetapi bila diperbandingkan dengan ibukota lain di Asia Tenggara, sejarah Jakarta cukuplah panjang: Bangkok (1769), Sidney (1788), Singapore (1819) dan Kuala Lumpur (awal abad 19)”.
Ada beberapa kawasan peninggalan jejak-jejak tempo dulu, yang masih berdiri dan terjaga. Memang sebagian besar telah lenyap, tetapi hal ini bisa dilakukan melalui beberapa metode. Yakni: konservasi, rekonstruksi dan revitalisasi. Untuk mengangkat dan menimbulkan kembali kawasan-kawasan yang telah lenyap ditelan bumi tersebut.
Penuturan dari Prof. Eko Budihardjo, “Pembongkaran bangunan-bangunan kuno bersejarah untuk memberikan tempat bagi bangunan baru yang modern, menambah keprihatinan mereka yang peka dan sadar-lingkungan. Dengan hilangnya bangunan kuno, berarti kita kehilangan warisan sejarah yang sangat berharga, khususnya bagi generasi mendatang”.
Menata kembali kawasan yang telah rusak dan hilang, tidak semudah membalik-kan telapak tangan. Dan tidak melulu, seperti memakan cabai. Melihat kehancuran kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, hancur latak-nya seluruh kehidupan ketika itu di “hantam” bom Atom. Sekarang sungguh mengagumkan, kehidupan di kedua kota tersebut. Apakah kota Jakarta hancur lantak, seperti hancur-nya dua kota di Negara Sakura tersebut? Tentu tidak.
Bingkai tua kota Jakarta, menyimpan banyak lembaran-lembaran masa lalu-nya. Bila ingin bernostalgia mengenang pertempuran, bisa datang ke Fatahillah dan ke Jembatan Merah. Merasakan kehidupan para dokter zaman pergerakan, cukup duduk-duduk ditaman atrium gedung Stovia. Ingin “nonton” theater, dengan secangkir teh hanya melangkah ke gedung kesenian Pasar Baru.
Mampuhkah kota Jakarta bercerita tentang masa lalu-nya? Yang penuh dengan kabut kelam dan masa puncak ke”emas”an-nya? Semoga. (Indra Denni)

0 komentar: