Jumat, 09 April 2010

Pasal 33 UUD 1945 sebagai Orientasi Kebijakan Publik: MEMBEBASKAN RAKYAT DARI ANCAMAN BENCANA SOSIAL (Bagian III)


Pasal 33 UUD 1945 sebagai Orientasi Kebijakan Publik:
MEMBEBASKAN RAKYAT DARI ANCAMAN BENCANA SOSIAL (Bagian III)
Kenaikan BBM: Sebuah Analisa Kebijakan
Analisa kebijakan adalah informasi dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan dalam rangka menyelesaikan masalah publik tertentu. Informasi dan pengetahuan selain digunakan untuk merumuskan masalah kebijakan, juga dapat dipakai untuk memilih model kebijakannya. Model kebijakan pada dasarnya menggunakan serangkaian model untuk menjelaskan mengapa masalah terjadi dan mencari solusi terhadap masalah kebijakan?
Menurut Dunn (Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Terjemahan), model yang dipilih harus dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan dan memproduksi informasi mengenai konsekwensi dari setiap alternatif kebijakan. Dalam hal ini, model kebijakan dibedakan menjadi dua, yaitu model kebijakan deskriptif dan model kebijakan normatif.
Kebijakan menaikkan BBM dapat dikatakan menggunakan model kebijakan deskriptif, karena kebijakan kenaikan BBM memiliki alasan atau argumentasi bahwa kebijakan ini ditempuh sebagai sebab dan konskuensi dari pilihan kebijakan pemerintah yang mengintegrasikan tata niaga BBM ke dalam struktur pasar dunia yang liberal. Alasan munculnya suatu kebijakan sebagai sebab dan konskuensi dari suatu pilihan kebijakan sebelumnya merupakan tujuan dari model kebijakan deskriptif, (Dunn, 2003:234).
Dengan memakai analisis model kebijakan seperti ini sebenarnya dapat diprediksikan sebab dan resiko yang harus ditanggung pemerintah ketika memilih kebijakan mengikuti arus pasar bebas yang liberal. Mengikuti sistem pasar bebas yang liberal konskuensinya adalah mememilih kebijakan dimana dalam tata niaga BBM negara tidak “dibenarkan” memberikan subsidi, tetapi biarkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar yang memnyediakan ruang kompetisi secara penuh. Kebijakan menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketertundukan negara terhadap mekanisme pasar bebas yang liberal.
Teori-teori kebijakan yang umum dipakai untuk menjelaskan isu dan argumentasi sebuah kebijakan diantaranya; teori kepentingan (pluralisme dan neo-marxisme), teori institusionalisme, teori pelaku rasional (rational actor), dan teori gagasan (ideational approach). Setiap teori yang dipakai akan berimplikasi pada pendekatan yang dipilih dalam merumuskan permasalahan dan membangun argumentasi kebijakan.
Dalam konteks kebijakan kenaikan BBM, teori institusi atau teori pelaku rasional bisa dipakai sebagai pisau analisis untuk menjelaskan mengapa pemerintah menempuh cara seperti itu. Teori perilaku rasional berpandangan bahwa aktor-aktor pembuat kebijakan (politisi, birokrat) cenderung mempertimbangkan kepentingan individunya dalam melakukan prosesi kebijakan. Pemerintah berkepentingan terhadap kucuran hutang luar negeri (IMF, World Bank), sehingga tuntutan para lembaga donor untuk mengurangi subsidi BBM, menjadi pilihan pemerintah. Demikian pula pandangan yang dikemukakan oleh teori institusi, dengan otoritas kekuasaan dan kewenangan menafsirkan aturan main (misalnya aturan Pertamina yang harus memberikan keuntungan kepada negara), institusi eksekutif menafsirkan permasalahan terletak di subsidi BBM yang membebani APBN. Dua pandangan teoritis ini berimplikasi kepada pendekatan yang dipakai dalam prosesi kebijakan, yaitu lebih memilih memakai pendekatan negara sebagai subyek yang memiliki otoritas dominan dalam memformulasikan kebijakan (state centered approach).
Teori dan pendekatan yang telah ditemukenali tersebut, kemudian menjadi pisau analisa dalam melakukan analisis kebijakan menaikkan harga BBM. Dalam hal ini tahapan perumusan masalah menjadi kata kuncinya.
Tahapan ini merumuskan apa sebenarnya yang menjadi masalah kebijakan untuk segera dipecahkan. Tahapannya bermula dari pengakuan atau “dirasakannya keberadaan” suatu situasi masalah. Perpindahan dari situasi masalah harus melalui suatu “pencarian masalah” yang masih multi tafsir (meta problem), kemudian perpindahan menuju permasalahan paradigmatik (subtantive problem) dilalui melalui “pendefinisian masalah”, sampai akhirnya dapat ditemukan spesifikasi masalah yang kemudian menjadi agenda setting dari suatu kebijakan (formal problem). Dari masalah formal yang telah spesifik menjadi kebijakan, kemudian kembali lagi pada situasi masalah yang merupakan hasil dari “pengenalan masalah”. Siklus perumusan masalah ini berlangsung terus, sampai kebijakan yang dihasilkannya benar-benar merepresentasikan masalah yang dihadapi di tingkat publik.
Dalam perumusan masalah merupakan titik krusial yang membutuhkan niat baik atau pun komitmen dari otoritas pemerintah, sehingga pada tahapan tahapan yang dilalui tersebut dapat menghasilkan klasifikasi secara jelas dan tegas, mana yang termasuk masalah privat dan mana masalah yang tergolong masalah publik.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM (2005 maupun 2008) diawali oleh pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa APBN negara terbebani berat oleh pemberian subsidi BBM. Solusi untuk mengurangi beban itu alternatifnya hanya satu, mengurangi subsidi BBM alias harga BBM dinaikkan.
Ketika pernyataan ini dikemukakan oleh otoritas pemerintah, sebenarnya pemerintah bukan lagi pada tahap merumuskan masalah yang mengharapkan respon dari publik. Tetapi pemerintah melakukan sosialisasi agenda kebijakan menaikkan harga BBM. Langkah pemerintah ini telah mendistorsi langkah-langkah perumusan masalah secara sepihak tanpa melibatkan publik atau para aktor di tingkat legislatif dan kelompok strategis lainnya. Sehingga yang terjadi adalah pemerintah telah mencapai tahap menemukan spesifikasi masalah (formal problem), sedangkan masyarakat sedang berada dalam tahapan mengakui “situasi bermasalah”. Kalau pemerintah agenda settingnya telah mencapai agenda kebijakan berapa persen kenaikan BBM itu dan bentuk kompensasinya formulasi seperti apa, masyarakat pada tahap tersebut baru merasakan bahwa harga BBM yang selama ini diterima ternyata “membebani” APBN, dan itu merupakan masalah bagi negara. Dalam konteks seperti ini nampak jelas bahwa apa yang dirasakan pemerintah sebagai masalah publik, bagi sebagian besar masyarakat hal tersebut bukan sebagai masalah. Perdebatan bukan dalam kontek mana masalah publik dan mana masalah privat, tetapi harga BBM yang berlaku sekarang ini bermasalah ataukah bukan sebagai masalah.
Ketika pemerintah berargumentasi bahwa kebijakan menaikkan harga BBM dilandasi oleh terbebaninya APBN oleh subsidi BBM, penolakan argumentasi ini banyak terjadi. Publik sebenarnya meletakkan masalah utamanya adalah mengapa negara Indonesia yang kaya sumber daya alam di bidang gas, minyak dan hasil tambang lainnya, harus melakukan impor dari luar negeri. Kwik Kian Gie dengan tegas menolak argumen pemerintah, “keterangan pemerintah yang diberikan sebagai alasan adanya keharusan menaikkan harga BBM sangat menyesatkan. Sebenarnya, setinggi apa pun harga minyak dunia, pemerintah tidak perlu menambah biaya, bahkan pendapatan negara akan bertambah. Minyak mentah yang ada di perut bumi Indonesia ini adalah milik rakyat, jadi bangsa Indonesia tidak perlu membeli minyak mentah dari luar negeri”, (Kompas, 24 Desember 2004). Protes Kwik tersebut ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa sesungguhnya persoalan mendasar dalam bidang BBM itu bukan mengurangi subsidi, tetapi bagaiman efisiensi dan memaksimalkan produksi minyak mentah dalam negeri bisa dilakukan.
Pertanyaannya kemudian, benarkah konteks dan argumentasi kebijakan yang dipilih pemerintah berorientasi kepada kepentingan publik (society oriented), ataukah argumentasi kebijakan itu dilatarbelakangi kepentingan negara (state oriented) dalam konteks menjalankan kesepakatan dengan pihak ketiga/pengusaha atau luar negeri?
Secara ideologis, apa yang dirumuskan para pendiri bangsa di dalam konstitusi dasar negara (termasuk UUD 1945 hasil amandemen) adalah mengikuti aliran sistem ekonomi sosialis. Krisis hebat pada awal tahun 1930-an menjadi momentum bagi menjalarnya ekonomi sosialis ke seluruh dunia, termasuk wacana yang menjadi diskursus aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta dalam buku “Krisis Ekonomi dan kapitalisme” yang ditulisnya pada tahun 1934, mengingatkan kepada pengikut aliran ekonomi kapitalis, bahwa krisis telah menjadi sesuatu yang inhern dalam sistem ekonomi kapitalis, (Prisma Nomer 1, 1976).
Peringatan Bung Hatta itu dalam konteks Indonesia kontemporer ternyata menjadi kenyataan, yaitu ketika terjadi krisis ekonomi 1997/1998. Suatu krisis ekonomi yang bukan sekedar berakar dari ketidakseimbangan dalam mengelola finansial, tetapi lebih substantif lagi kerena buah tanaman ekonomi kapitalistik yang sengaja ditancapkan para arsitek ekonomi orde baru (mafia Berkeley). Manurut Mansor Fakih (Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi), tanaman ekonomi kapitalistik ini menyuburkan perilaku negara (state performance) yang lebih beorientasi kepada kepentingannya (mendapatkan hutang luar negeri, mencapai terget pertumbuhan ekonomi) dibandingkan memenuhi amanat konstitusi dasar untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat/publik.
Perilaku negara (para elit dalam pemerintahan) ini dapat dilacak ketika mereka menafsirkan subtansi dan arah konstitusi dasar untuk menjadi rujukan bagi regulasi yang mengatur tentang kebijakan ekonomi. Apa yang dipantangkan dalam konstitusi dasar, sering dilanggar sendiri oleh otoritas negara. Sehingga yang terjadi dalam kebijakan publik, kepentingan masyarakat ditinggalkan dalam proses kebijakannya tetapi selalu ditempatkan sebagai obyek atau sasaran kebijakan.
Kasus subsidi BBM kalau kita mengacu kepada pasal 33 konstitusi dasar negara, jelas itu merupakan tanggung jawab negara. Penting dicatat, sistem ekonomi yang dianut adalah eknomi sosial bukan ekonomi pasar/liberal. Maka keberadaan Pertamina sebagai BUMN yang memiliki otoritas mengelola asset strategis ini, harus mampu menyediakan subsidi BBM bagi rakyat bukan malah menyerahkannya ke makanisme pasar. Yang menyedihkan, ketika konsistensi logika eknomi sosial ini belum diimplementasikan, negara justru melakukan privatisasi atau swastanisasi Pertamina menjadi PT Perseroan. Perubahan Pertamina dari BUMN menjadi PT Perseroan ini berimplikasi serius dalam kinerja dan orientasi. Maka wajar jika Gas Elpiji kemudian harganya juga dinaikan karena yang dipakai adalah logika pasar, tidak peduli jika sebelumnya pemerintah dalam mempromosikan pemakaian gas elpiji supaya masyarakat lebih ringan biayanya dan tidak tergantung terus pada minyak tanah.
Persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini berkaitan dengan distribusi BBM adalah dampak simultan yang kompleks dari akses dalam mendapatkan komoditi ini yang tidak bisa secara leluasa dan harga yang menjadi mahal. Harga BBM yang naik akan menjadi katalisator atau membenarkan para pedagang di sektor lain yang bersentuhan dengan kebutuhan pokok sehari juga ikut-ikutan menaikkan harganya. Bahkan dalam kasus yang sekarang terjadi-sebagaimana telah terjadi sebelumnya-kenaikan harga BBM yang baru saja direncanakan, telah mendorong dan mensyahkan para pedagang menaikkan harga dagangannya.
Situasi semacam ini yang menjadi momok bagi masyarakat yang hingga saat ini belum juga terbebas dari segitga cekaman bencana sosial: kemiskinan, kekeraran, dan ketidakadilan struktural, sehingga setiap ada kenaikkan harga BBM sekecil apapun persentasenya pasti memunculkan aksi penolakan. Selain itu, penolakan kebijakan kenaikan BBM seperti sekarang ini muncul karena basis logika yang dipakai publik selalu mengkaitkan kenaikan harga BBM dengan menaiknya harga-harga komiditi lainnya (efek domino). Sementara pemerintah dalam membangun basis logika menaikkan harga BBM memakai logika linear-matematis yang mempercayai betul bahwa mekanisme “pasar yang berkompetisi secara sempurna” selalu terjadi. Logika publik yang tidak bertemu dengan logika pemerintah inilah yang menimbulkan kesan bahwa pemerintah telah kehilangan orientasi dalam merumuskan kebijakan publiknya.
Orientasi kebijakan publik yang diamanatkan konstitusi dasar negara (Pasal 33 UUD 1945) padahal telah jelas dan tegas, bahwa sistem ekonomi yang dipilih negara ini adalah sistem ekonomi pasar bebas yang sosial bukan sistem pasar bebas yang liberal, (Kompas, 22 Desember 2004). Lebih lanjut amanat tersebut ingin menyelenggarakan pelayanan publik (terlebih yang menyangkut hajat hidup semua orang) dengan mekanisme sosialis, yaitu negara melindungi, menjamin dan merealisasikan pemenuhan hajat hidup tersebut secara leluasa, terjangkau dan murah. Berdasarkan amanat ini maka alasan atau argumen pemerintah menaikkan harga BBM karena menghindari beban berat yang harus dipikul oleh APBN, tidak sesuai dengan makna ekonomi pasar bebas yang sosial sebagaimana diamanatkan secara implisit oleh UUD 1945.
Persoalan orientasi dalam formulasi kebijakan publik ini kalau menurut Grindle dan Thomas, (Public Choices and Policy Change) terkait dengan kemampuan para pengambil kebijakan dalam merespon tekanan internasional (pasar bebas). Jika komitmen kita pada ekonomi sosial jelas dan tegas, mengapa kita harus kalah terhadap tekanan internasional yang memaksakan negara ini mengadopsi ekonomi pasar?
Di sinilah saya kira pelajaran dari Putin dan silovski dengan kebijakannya meninjau kembali privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang serba tergesa, penangkapan baron muda Khodorkovsky, dan pengambilalihan aset Yukos Oil, serta mengembangkan demokrasi sesuai kebutuhan domestik Rusia menarik kita timba.
Protes, kecaman, bahkan ancaman boikot para elit yang diwakili para oligarkhi yang didukung Barat (pemerintahan AS dan negara-negara Eropa Barat, lembaga-lembaga multilateral seperti IMF dan World Bank, serta para CEO multinational corporation yang menjanjikan banyak investasi) tidaklah sebanding dengan harga diri bangsa dan kepentingan rakyat banyak di dalam negeri Rusia. Sebab, seperti dikatakan WS Rendra dalam sebuah puisinya (Sajak Tahun Baru 1990):
“Setelah para cukong berkomplot dengan para tiran,
setelah hak azasi di negara miskin ditekan
demi kejayaan negara maju,
bagaimana wajah kemanusiaan?
Di jalan orang dibius keajaiban iklan
di rumah ia tegang, marah dan berdusta.
Impian mengganti perencanaan.
Penataran mengganti penyadaran.
Kota metropolitan di dunia ketiga
adalah nadi
dari jantung negara maju.
Nadi yang akan mengidap kanker
yang akan membunuh daya hidup desa-desa
dan akhirnya, tanpa bisa dikuasai lagi,
menjadi jahat, hina dan berbahaya.
Itulah penumpukan yang tanpa peredaran. ”(Sahabat Pena)

0 komentar: