
Orang perlu makan dulu sebelum bermain politik, membicarakan hukum, mendorong proses demokratisasi, daulat hukum, perdamaian, keamanan, dan penghormatan hak asasi.
"LHO, masih ada negara kang?" Ungkapan frustasi nampaknya tak henti bergejolak. Kemajuan teknologi menjadikannya mudah terdistribusi. Berita dan informasi, berguna maupun tidak, penting atau tidak, bukan saja masuk ke tempat kerja, tapi sampai ke kamar tidur. Meresap ke dunia mimpi. Menyisakan suara tunggal yang bernama kegetiran.
Minggu 20 Mei 2007, sekitar 300-an warga Desa Biara Lama, Kecamatan Karang Dapo, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, membakar Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Karang Dapo, menyusul berita tewasnya seorang tahanan.
Jum'at 29 Februari 2008, dari Jl. Dg Tata I Blok 5, Makassar, Sulawesi Selatan, Dg Basse meregang nyawanya karena tak kuasa menahan lapar. Ibu muda ini meninggal bersama jabang bayi di dalam perutnya yang berusia tujuh bulan.
Lima menit kemudian, Bahir, anaknya yang baru 5 tahun turut menghadap Penguasa Alam Semesta. Mereka mati kelaparan.
Begitu banyak kegetiran datang meruap.
Kamis, 24 Januari 2008, para petani kedelai di Sumberrejo, Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah membakar hasil panennya. Mereka protes atas kebijakan pemerintah yang menetapkan harga kedelai di tingkat petani sebesar Rp 5.500 per kilogram. Harga ini dianggap petani terlalu rendah sebab tidak sebanding dengan ongkos produksi. Pada saat yang sama, pemerintah memberikan subsidi bagi importir dengan membebaskan tarif impor kedelai.
Selasa, 27 Mei 2008, para nelayan di Lamongan, Jawa Timur, rame-rame membakar perahunya. Mereka protes karena harga BBM dinaikan, tidak lama setelah kumandang Seabad Kebangkitan Nasional.
Para sopir angkutan umum di sejumlah kota tidak lagi bersedia mengangkut penumpang. Mereka merajuk karena tarif angkutannya tidak segera disesuaikan dengan kenaikan BBM.
Didorong tekanan ekonomi yang semakin tidak bisa ditahan, seorang Ibu tega membunuh anak yang dilahirkannya sendiri.
Parade kegetiran ini bisa begitu panjang. Dan dalam frustasi yang seakan tak berujung, pertanyaan itu pun kembali datang.
"Lho, masih ada negara kang?"
Senin malam, 28 Februari 2005, pemerintah mengumkan kenaikan BBM. Entah apa yang menjadi pertimbangan pemerintah kala itu, kenaikan BBM ini baru diberlakukan beberapa puluh jam kemudian. Hari Selasa, 1 Maret 2005, tepat 56 tahun Serangan Oemoem tentara Republik Indonesia ke Yogyakarta yang kala itu diduduki Belanda.
Berita liar yang beredar, "inilah Serangan Oemoem atas Rakyat Indonesia".
Jum'at malam, 30 September 2005, pemerintah kembali menaikan harga BBM. Namun, kenaikan ini baru efektif diberlakukan lima hari menjelang bulan puasa, tepat pada 1 Oktober 2005. Kesaktian Pancasila yang biasa diperingati pada tanggal itu pun seakan dinodai dengan kenaikan BBM sebesar 120 persen.
Berita liar yang beredar, "di jaman reformasi, Pancasila sudah tak lagi sakti".
Dalam beberapa kesempatan pidatonya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, kenaikan harga BBM sebelum puasa dan Lebaran dinilai sangat membantu pemerintah meminimalisasi aksi protes, kemarahan rakyat, dan mengurangi beban pemakaian BBM.
Katanya, "Ramadhan yang datang lima hari setelah kenaikan harga BBM, atau 5 Oktober 2005, rakyat tidak mudah marah dan melakukan aksi protes di jalan karena tengah berpuasa. Apalagi di terik siang bolong. Sebab, puasa menuntut pengendalian diri. Pada bulan puasa, diperkirakan juga, beban penggunaan BBM di masyarakat akan berkurang. Karena, selama puasa, masyarakat hanya memasak menjelang sahur dan buka. Tidak seperti hari-hari biasa yang memasak tiga kali."
Tidak lama setelah kenaikan BBM yang spektakuler itu, DPR mengajukan kenaikan gaji yang tidak tanggung-tanggung, 40-60 persen. Dari take home pay sebesar Rp 25 juta menjadi Rp 35 juta-Rp 40 juta, sementara untuk pimpinan DPR mencapai Rp 60 juta-Rp 70 juta.
Rakyat pun begitu terluka. Namun, anjing menggonggong, khafilah berlalu.
Jum'at malam, 23 Mei 2008, pemerintah kembali mengumumkan kenaikan harga BBM sebesar 28,7 persen, yang berlaku efektif pada Sabtu 24 Mei 2008. Tepat pukul 00.00 WIB.
Lalu, mereka memainkan "kaset rusak" yang diulang-ulang. Demi menyelamatkan APBN, kebijakan pahit itu terpaksa dilakukan.
Aku pun hanya bisa melenguh heran.
Setiap kali harga minyak mentah dunia melonjak, pemerintah kalang kabut dengan pembengkakan subsidi BBM dan defisit APBN, kemudian mengaku terpaksa menaikkan harga BBM sebagai opsi terakhir. Setiap kali itu pula, hiruk-pikuk demo penolakan kenaikan harga BBM dan heboh penyaluran dana kompensasi yang amburadul terjadi.
Beberapa jam setelah kenaikan itu diumumkan.......
Sabtu pagi jelang subuh, 24 Mei 2008, aparat polisi merangsak masuk kampus Universitas Nasional (UNAS), Jakarta. Di layar televisi, aku melihat batu-batu saling beterbangan. Sejumlah mahasiswa kemudian digelandang ke markas kepolisian, dengan memar dan tapak-tapak darah yang masih basah.
Lalu, mereka kembali memainkan "kaset rusak" yang diulang-ulang, menuduh "pihak ketiga" yang menjadi penunggang.
Kegetiran itu kembali dipertontonkan.....hidangan pagi disajikan.
Batu-batu saling-silang. Lantai keramik putih bersimbah darah merah. Tampak jejak darah merah pada telapak kaki telanjang.
Duh Gusti, betapa semua ini.........
Aku membayangkan demonstrasi mahasiswa 1966 yang mengakhiri kekuasaan Orde Lama. Aku mengenang demonstrasi mahasiswa 1998 yang menjadikan Orde Baru tumbang.
Idealisme mahasiswa memang bagaikan domba yang siap dimangsa siapa saja. Termasuk para tokoh yang mencatut perjuangan mereka dan kini anteng duduk nyaman karena orde otoritarian tumbang.
Aku membayangkan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Ingatanku melayang pada suara langkah kakinya yang diseret di lorong-lorong kampus UNAS yang dari layar televisi kulihat begitu berantakan. Dari buku-buku, aku membaca keresahannya kala muda, dalam polemik kebudayaan di tahun 1930-an yang legendaris itu.
Menurut STA, sebagai dampak dari penjajahan selama lebih dua ratus tahun, kedudukan bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk, miskin dan terbelakang di tengah-tengah bangsa lain yang jauh lebih maju dan makmur seperti bangsa-bangsa Eropa dan Jepang. Untuk mendorong bangsa ini bangkit, kondisi kebudayaannya yang menyedihkan harus diperbaiki dengan melakukan perubahan dan pembaruan besar-besaran.
Karena itu, kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan STA bukanlah himpunan dari puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi suatu kebudayaan modern yang mampu menjadikan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan memiliki kebudayaan tinggi.
Aku membayangkan negara-negara kecil di dunia, namun kini begitu digdaya. Finlandia, Taiwan, dan Singapura misalnya.
Pada Finlandia, negeri dengan penduduk 2 juta jiwa itu bisa dihormati masyarakat dunia karena mereka memiliki keunggulan di bidang komunikasi. Taiwan menjadi kekuatan ekonomi dunia karena semua produk elektronik membutuhkan komponen yang berasal dari Taiwan. Begitu pula dengan Singapura.
Bagi STA, zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan dari zaman pra-Indonesia yang dikecamnya sebagai zaman jahiliyah. Sebab, di sana ada perbedaan yang terlalu jauh. Pada zaman Indonesia, terdapat semangat yang belum ada dalam zaman Jahiliyah Indonesia, yaitu semangat bersatu untuk menuju kebudayaan baru dan layak di sisi bangsa-bangsa lain.
Di layar televisi, aku melihat wajah mahasiswa UNAS yang digelandang bertelanjang dada, dengan memar dan luka. Luka fisik mereka mungkin akan segera pulih. Namun jelas, ia akan menyisakan tanda bahwa, aku dan kau ternyata berbeda.
Mimpi STA tentang semangat bersatu pun menganga.
Dan nganga itu nampaknya semakin menjadi.
Beberapa hari setelah tragedi UNAS, seorang pemimpin dengan enteng mengatakan bahwa para penerima bantuan langsung tunai (BLT) supaya mendemo para demonstran yang tidak setuju kenaikan harga BBM.
Aku pun hanya mengelus dada.
Bagaimana mungkin kalimat serupa itu muncul dari seorang pemimpin yang dilahirkan melalui sebuah proses demokrasi yang luar biasa mahal, di tengah sebagian besar anak-anak bangsa yang tak henti menahan lapar?
Para ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan kenaikan harga BBM kali ini akan mengakibatkan lonjakan angka kemiskinan menjadi 21,9 persen atau 41,7 juta jiwa. Berlawanan dengan klaim ekonom pemerintah yang belum-belum sudah mengatakan angka kemiskinan justru akan menurun pascakenaikan harga BBM karena program BLT.
Akupun bertanya-tanya.
Bukankah menjadi mustahil proses demokratisasi akan berjalan baik jika masyarakat masih bergulat dengan kelaparan, kemiskinan, kekecewaan, rasa putus asa dan frustrasi akibat tekanan ekonomi?
Aku kira, orang perlu makan dulu sebelum bermain politik, membicarakan hukum, mendorong proses demokratisasi, daulat hukum, perdamaian, keamanan, dan penghormatan hak asasi.
Tapi kenapa kemiskinan dan pemiskinan bangsa ini terus saja terjadi?
Menurut Gunnar Myrdal, "terdapat korelasi antara politik dan ekonomi di negara-negara Asia". Dalam pemikiran Myrdal sebagaimanya ditulis dalam bukunya, Asian Drama, "makin tinggi kadar demokrasi suatu negara seperti India semakin terjerambab negara tersebut dalam kemiskinan dan makin tinggi kadar orientasi ekonomi suatu negara, makin mudah tercapai kesejahteraan negara".
Namun, dalil Myrdal gugur dengan kasus Myanmar. Negara yang dikuasi rezim tentara otoriter ini ternyata semakin bangkrut. Penampilan sebaliknya terjadi dengan Cina, yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan ekonomi luar biasa. Hanya saja, Myrdal dalam America and Vietnam sempat menyatakan bahwa, sejak amat awal, teori ekonomi tidak dikembangkan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang.
Ini nampaknya menggoda de Soto. Ekonom Peru ini menyingkap jelas tentang rahasia kemiskinan di negara-negara berkembang. Dalam Mystery of Capital, de Soto menerangkan mengapa (sistem ekonomi) kapitalisme yang memenangkan perang melawan sosialisme di dunia Barat, "membangkrutkan" Uni Soviet tahun 1991, tetapi tidak berkembang atau bahkan selalu gagal berkembang di negara-negara miskin seperti Peru atau Indonesia.
Menurut Amartya Sen, "Sepanjang sejarah dunia, belum pernah ada kelaparan di negeri yang menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis dan pers yang bebas," tulisnya dalam Poverty and Famines.
Bagi Sen, ada hubungan kausalitas antara bencana kelaparan dan kediktatoran. Argumen ini ia buktikan dari negara-negara Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara sejak tahun 1940-an.
Seorang warga di Makasar, ketika khalayak di kota itu masih rame membahas kematian Dg Basse, menelpon radio Suara Celebes FM, "Pemkot Makasar yang terlalu sibuk mengurus Pilkada Walikota Makasar sehingga melupakan tugas utama untuk memperhatikan warga mereka yang kelaparan".
Aku pun bungkam.
Membayangkan milyaran uang untuk sebuah perhelatan yang digadang-gadang sebagai pesta demokrasi. Pada saat yang sama, di sana-sini rakyat melarat dan pengangguran tak juga diambil peduli.
Lalu, apa yang salah dengan demokrasi Barat yang kini—meskipun kita tidak pernah secara jantan mengakui—diadopsi penuh-penuh oleh sistem pemerintahan kita saat ini?
Barangkali, analisis Jane J. Mansbridge bisa dijadikan rujukan. Menurut bekas aktivis kiri baru ini, kaum demokrat Amerika terpengaruh hebat oleh tradisi "perlawanan", adversary.
Menurut Mansbridge, kaum adversary democrats yakin bahwa yang disebut "kepentingan bersama" itu tidak pernah ada. Karena itu, mereka pun menolak ide bahwa suatu masyarakat dapat diatur melalui konsensus. Yang mereka pegang tegus adalah argumentasi, bahwa untuk kebebasan dan perlindungan yang adil, suatu sisem harus dipelihara: sistem yang menerima pergulatan terus-menerus antara pelbagai kepentingan—sistem yang juga mengatur agar tiap grup dapat mempunyai kesempatan yang sama untuk menang. Konflik, kata mereka, adalah kemerdekaan.
Lalu, salahkah ini?
Mansbridge dalam bukunya Beyond Adversary Democracy cenderung mengatakan,
"Ya, salah".
"Ada cara lain", katanya. Yakni, unitary democracy.
Bagaimana?
Dengan musyawarah yang lazim dalam kampung kecil. Suatu himabauan pada kerukunan.
Kritik terhadap pokok pikiran Mansbridge adalah bahwa, tak sepenuhnya benar demokrasi Barat hanya menegaskan konflik. Pemerintah manapun di sana sebenarnya tidak begitu gemar bermusuhan.
Bahkan, kata para pendukung demokrasi Barat itu, pemerintahan "bukan Barat" yang justru hidup dalam konflik. Rezim-rezim kiri menghalalkan kehadirannya (dan kediktatorannya) karena, kata mereka, masih ada "pertentangan kelas." Rezim-rezim kanan menghalalkan kekuasaannya (dan kediktatorannya) karena, kata mereka masih ada "musuh dalam selimut."
Dan lihatlah, kata para pendukung demokrasi Barat itu pula, kami sebenarnya tidak mempunyai dikotomi antara negara dan masyarakat. Kami mengenal oposisi, tetapi kami tidak mempertentangkan pemerintah dan publik.
Bagaimana dengan Indonesia kita?
"Persoalan Indonesia hari ini adalah kurangnya visi pemimpin dan kepemimpinan yang lumintu (sustainable leadership)," ungkap Keniichi Ohmae dalam Indonesian Regional Investment Forum (IRIF) 2008.
Aku kira Ohmae benar. Inilah persoalan besar bersama kita hari-hari ini.
Kurangnya visi pemimpin dan kepemimpinan yang lumintu menjadikan ingar-bingar yang terjadi akibat keputusan kenaikan harga BBM akan selalu terus terjadi. Kondisi itu juga menjadikan bangsa ini tidak pernah mengenal siapa bangsa ini sebenarnya.
Pada keadaban (civility) yang sejak era reformasi keras digaungkan misalnya. Antithesa atas keadaban bukanlah pada militer, seperti yang banyak berkembang selama ini, melainkan pada kekerasan yang menjadi penanda utama ketakberadaban.
Secara kultural, yang disebut ketakberadaban dalam konteks bernegara adalah ketiadaan polity atau ketatanegaraan. Tanpa polity, tanpa konstitusi, tanpa penegakan hukum, yang terbentuk adalah belantara tempat penyamun seenaknya membunuh dan merampok. Padahal, komunitas politik terbentuk dari upaya manusia untuk hidup dalam keadaban publik, karena itu hakikat politik pada dasarnya adalah untuk kebaikan.
Juga tentang konstitusi, bukanlah semata-mata berbicara tentang undang-undang qua undang-undang atau hukum qua hukum. Sama halnya dengan keadilan. Ia bukanlah semata-mata demi keadilan itu sendiri. Meski memang, keadilan pada dirinya sendiri merupakan keutamaan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kita menghendaki keutamaan itu di dalam kehidupan sehari-hari?
Aku kira jawabnya karena kita ingin hidup bersama-sama secara baik, saling menghormati dan saling menjaga.
Persoalannya kemudian, hasrat untuk saling menjaga itu nampaknya kini semakin langka. Rakyat yang menerima BLT didorong untuk melawan rakyat lainnya yang menentang kenaikan harga BBM. Klaim kebenaran yang menjadi "Hak Tuhan" dijadikan hak milik sekelompok orang, sehingga perusakan dan bahkan pembunuhan pun dianggap syah. Tragisnya, pemerintah begitu tidak berdaya.
Sebagai bangsa, kita menjadi semakin tidak mengenal siapa diri kita sebenarnya. Kita juga dibuat tidak tahu, siapa lawan dan siapa kawan.
Seabad lalu, lawan kita jelas. Penjajah Belanda. Ketika Jepang datang, kita juga tahu, Jepanglah sasaran berikutnya. Setelah merdeka, kita mencoba mendayung diantara dua pulau: kapitalis malu, sosialis segan.
Di masa Orde Baru, bangsa ini menempatkan kaum komunis sebagai lawan. Namun, kita tidak terang-terangan mengatakan pro-kapitalis, meskipun faktanya demikian.
Sampai kemudian, Perang Dingin usai. Francis Fukuyama pun mengumandangkan, sejarah telah berlalu (the end of history) dan Thoman Friedman—wartawan New York Time—langsung mengatakan, negara-negara di dunia yang ditandai Golden Arches (restoran hamburger McDonald's) tidak akan berperang satu sama lain. Sebab, dunia sudah memasuki era free market democracy, dan Indonesia menjadi salah satu makmum terbaiknya.
Namun, Orba kemudian tumbang, ditelan ekonomi pasar bebas. Orde reformasi lahir, tanpa jelas lawan, juga tak tahu kawan.
Tanpa terasa, bayangan WS Rendra yang sudah tak lagi muda, namun dengan semangat tetap menyala, menggamit kertas dengan tuah puisinya menerobos renungku tiba-tiba......
O, akal sehat jaman ini!
Bagaimana mesti kusebut kamu?
Kalau lelaki kenapa seperti kue lapis?
Kalau perempuan kenapa tidak keibuan?
Dan kalau banci kenapa tidak punya keuletan?
Aku menahan air mata
Punggungku dingin
Tetapi aku mesti melawan
Karena aku menolak bersekutu dengan kamu!
Kenapa anarki jalanan
Mesti ditindas dengan anarki kekuasaan?
Apakah hukum tinggal menjadi syair lagu disco?
Tanpa pancaindra untuk fakta
Tanpa kesadaran untuk jiwa
Tanpa jendela untuk cinta kasih
.........................
Mulanya memang ada kesan untuk memasang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta kemiskinan sebagai lawan. Namun semua menjadi tak jelas benar. Paket perang kita itu ternyata disarati pesan sponsor lembaga-lembaga multinasional untuk memuluskan masuknya sejumlah korporasi global. Menelan jengkal demi jengkal kekayaan anak negeri. Menyisakan tangis bocah-bocah yang tak henti menahan lapar karena bapak-ibunya tak lagi mampu memberi mereka makan.
Ini kenyataan telanjang, dan aku kira harus kita sudahi sekarang juga.**IBA
Jumat, 09 April 2010
MENIMBANG DEMOKRASI KITA
17.59
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)






0 komentar:
Posting Komentar