Jumat, 09 April 2010

PERTUMBUHAN ADALAH KEGILAAN


Pembangunan negara dunia ketiga mestinya harus dipahami sebagai perluasan kemampuan manusia, bukan semata-mata sebagai peningkatan pendapatan perkapita nasional

KAPITALISME tidak mengenal kata cukup. Karena cukup berarti sebuah kegagalan. Lalu batas bagi ekonomi kapitalis pun ditentukan: Siapa yang kuat dialah yang menang dan menguasai. Gaya Darwinian, yang hulunya merakit jauh pada legenda Enuma-Elish dari zaman Sumeria dan Yunani kuno.

Suatu ketika, begitu legenda Enuma-Elish, terjadi banjir besar di suatu tempat. Dari banjir ini tiba-tiba muncul tuhan-tuhan yang disebut Lahmu dan Lahamu. Para tuhan ini pertama-tama menciptakan diri mereka sendiri. Setelah itu mereka melingkupi keseluruhan alam semesta dan kemudian membentuk seluruh materi lain serta makhluk hidup. Dan survival of fittes pun dimulai. Mereka yang kuat sajalah yang akan bertahan hidup, sedang yang lemah akan kalah dan musnah.

Lalu, Marx membuka tulisannya dalam Communist Manifesto, "sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas". Marx percaya bahwa, kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat, yang merujuk pada kaum paling bawah di masa Romawi.

Tapi apa yang terjadi kemudian?

Tembok Berlin runtuh. Uni Sovyet dengan kediktatoran proletariatnya hilang dari muka bumi. Meski begitu, Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Dan Fukuyama seakan mengejek Marx, sejarah telah berakhir, karena ternyata hanya kapitalisme lah yang perkasa. Sosialisme, komunisme, dan isme-isme lainnya, mungkin termasuk agama, terbukti tidak tahan uji.

Seabad lewat sedikit dari Communist Manifesto, di dekat pabrik sepatu, di Rawajati, Cililitan, Jakarta Timur, Tan Malaka mengisi bagian pembuka Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika) dengan uraian mengharukan:

"Ditulis di Rawajati, dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Di sini saya berdiam mulai 15 Juli 1942 sampai pertengahan tahun 1943. Waktu yang dipakai untuk menulis Madilog lebih kurang 8 bulan, dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari). 720 jam, jadi kira-kira 3 jam sehari. … Madilog ikut lari bersembunyi ke Bajah, Banten, ikut pergi mengantarkan romusha… Ikut menggeleng-gelengkan kepala memerhatikan proklamasi Republik Indonesia. Terakhir ikut pula ditangkap di Surabaya bersama pengarangnya…."

Dengan menyebut materialisme, Tan Malaka tak serta merta mengacu pada paham materialisme-dialektika Marxian. Materialisme dalam Madilog adalah cara berpikir manusia yang konsisten mencari penjelasan atas apa pun dengan cara-cara yang ilmiah, bebas dari takhayul. Atau dalam kata-kata Tan Malaka sendiri, materialisme versi Madilog adalah "mencari jawaban berdasarkan sejumlah bukti yang telah diuji dan diketahui".

Selain mengurai-padatkan pandangannya tentang materialisme-dialektika-logika, Tan Malaka secara panjang lebar juga mengupas struktur kesadaran dan sejarah bangsa Indonesia . Tan Malaka secara jernih juga mendedah arti penting umat Islam dalam posisinya sebagai agen sejarah yang sama-sama anti-kolonial. Sikap inilah yang membuat Tan Malaka dikucilkan oleh Komintern dan Stalin, karena ia secara terang-terangan berani menentang pandangan Stalin yang memusuhi gerakan pan-Islamisme.

Dibanding dengan kerja Karl Popper dengan The Open Society and Its Enemies untuk menjelaskan, mempertahankan dan menguji ideologi demokrasi liberal, atau dengan Karl Kautsky ketika menulis Die Materialistische Geschichtsauffassung (1927), yang dianggap sebagai interpretasi materialistis terlengkap tentang sejarah pada saat terbitnya, apa yang dikerjakan Tan Malaka dengan Madilog-nya tentulah jauh berbeda.

Popper menulis bu­ku­nya di lingkungan uni­ver­sitas, dengan rekan sejawat yang selalu bersedia mendebat dan dengan demikian memperkaya ga­gasannya, lengkap dengan per­pustakaan leng­kap yang se­lalu siap diakses kapan pun. Sementara Tan Malaka justru menulis Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa buku-buku acuan, yang seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dan dalam persembunyian penuh marabahaya.

Buah-buah gagasan dan ujian keyakinan filsafat, ideologi, dan politik memang bisa memberikan petunjuk dan menularkan sikap. Namun, ia tidak bisa menciptakan mukjizat. Sebagaimana omong kosong untuk memastikan bahwa hanya faktor ideologilah yang menyebabkan terjadinya pergolakan politik di suatu negara, demikian juga omong kosong bila menyangka bahwa ideologilah yang menyebabkan ketimun bisa tumbuh subur.

Seorang petani Cina yang mengaku bahwa buah ketimunnya tumbuh lebih besar berkat ia tiap pagi membaca kutipan Mao adalah umat yang terlanjur. Ia mengira Maoisme seperti mantera.

Namun umat yang terlanjur ini terjadi di banyak tempat dan suasana. Pada para perajin tahu-tempe di pinggiran Kota Malang, Jawa Timur, keterlanjuran itu ternyata berulang. Aku juga temukan di pinggiran Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka dengan tenang berkata, "biarkan orang-orang di Jakarta berdemo menentang Amerika, kami di sini tidak akan melakukan itu. Kedelai Amerika adalah hidup-mati kami di sini."

Aku pun tidak bisa berkata apa-apa. Batin ini terguncang, karena pada saatnya nanti, perkataan itu akan membuat mereka nestapa.

Dan betul. Pembuktian itu tidak terlampau lama.

Awal tahun 2008, para perajin tahu-tempe dipaksa membayar Rp. 7.500 untuk setiap kilogram kedelai impor yang dianggapnya sebagai hidup mati mereka. Padahal pada awal tahun sebelumnya, mereka bisa mendapatkan kedelai Amerika yang elok tampangnya itu dengan harga Rp. 3.000 untuk setiap kilogramnya.

Para perajin tahu-tempe dari seantero Jakarta dan sekitarnya pun nekat mlurug ke depan Istana Merdeka. Mereka berdemo, dan pemerintah pun gelagapan. Jalan pendek nan gegabah ditempuh. Tarif impor kedelai diturunkan menjadi 0 persen, para perajin tahu-tempe juga mendapat subsidi tambahan. Tempe dan tahu pun kembali mengisi los-los pasar. Menu harian warga kebanyakan ini pun kembali dihidangkan, dan para importir kedelai pun mabuk kekenyangan.

Tapi nasib tragis menimpa petani kedelai lokal. Jerih payah mereka yang sudah hidup pas-pasan dipaksa untuk diturunkan. Pada saat yang sama pemerintah membiarkan kenaikan harga pupuk, pestisida dan lain-lain, sehingga biaya produksi petani kedelai pun merangkak naik.

Giliran petani kedelai berdemo. Di Demak, Jawa Tengah, kekesalan para petani kedelai mencapai puncak. Mereka pun membakar hasil panenannya. Tetapi pemerintah tetap mbegegeg. Protes petani tidak diambil peduli.

Tragika kaum petani negeri agraris ini pun kembali berulang. Dan jauh berabad lalu, Multatuli sudah menuliskannya.

"Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin?"

Namun, tragika kaum petani ini nampaknya hanya terjadi di negeri ini. Di Amerika Serikat sana, para petani kedelai memperoleh full-support dari pemerintahnya. Kekuatan lobby politik American Soybean Association menjadikan mereka begitu perkasa.

Sebaliknya di Indonesia, kekuatan lobi kedelai adalah perajin tahu-tempe atau yang tergabung dalam koperasi tahu-tempe, yang nota bene merupakan konsumen kedelai, bukan petani kedelai. Mereka menjadi gamang sendiri, dan tidak jarang serba salah, mengingat agenda yang diperjuangkan adalah untuk menurunkan harga kedelai di dalam negeri, bukan untuk memberikan insentif bagi peningkatan produksi.

Lalu kenapa semua itu bisa terjadi?

Tahun 1990-1997 produksi kedelai kita mampu mencukupi 80-84 persen kebutuhan nasional. Pada tahun 1997, berkat desakan American Soybean Association yang tak rela limpahan produksi kedelai para anggotanya menumpuk di gudang-gudang hingga membusuk, telah memaksa pemerintah AS menggelontorkan fasilitas kredit ekspor bagi para importir kedelai. Dan pemerintah Indonesia, importir, dan juga para perajin tahu-tempe kita pun tergoda.

Kedelai AS yang memang lebih elok dari kedelai lokal, di samping harganya lebih murah karena dukungan pemerintah AS itu akhirnya betul-betul menjebak bangsa ini. Selain itu, jangan juga lupa, ada gula-gula yang bernilai milyaran rupiah yang disisipkan kepada aparat berwenang yang telah mengijinkan gelontoran kedelai dari negeri Paman Sam.

Sejak itu, para perajin tahu-tempe yang sebelumnya merangkap sebagai petani kedelai, mulai menjalankan profesi sebagai perajin saja, dan hanya sedikit yang memiliki lahan usahatani kedelai. Sejak saat itu pula, tidak ada yang peduli dengan petani kedelai, bahwa impor yang mudah dan murah selama lebih dari satu dekade terakhir telah menggerus habis inisitif petani untuk menanam kedelai.

Para petani kedelai kita memang tidak punya kemampuan menggalang jaringan dan melakukan unjuk rasa untuk memperjuangkan kepentingan mereka ketika diabaikan oleh pengambil kebijakan dan para pelaku ekonomi kedelai lainnya yang terlena dengan impor. Tetapi para petani itu telah melakukan perlawanan secara silent terhadap itu semua dengan jalan meninggalkan usahatani kedelai.

Dan bangsa yang menu makan hariannya hampir selalu disarati dengan tahu, tempe, kecap, dan aneka produk turunan dari kedelai ini pun seakan menjeratkan lehernya dengan penuh pasrah. Tanpa daya, tanpa perlawanan.

Nafasku pun seakan berhenti tertahan.

Ya.......Tuhan....betapa.......kami ini.....

Aku pun membayangkan diskusi Wilopo—mantan Perdana Menteri (1951-1953)—dengan Widjojo Nitisastro—salah seorang yang menjadi pelatak dasar bangunan perekonomian Orde Baru, dalam Simposium Dies Nataslis ke-5 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI), sebagaimana dituliskan Sri Edi Swasono.

Menurut Guru Besar FE-UI ini, Wilopo antara lain mengemukakan bahwa, dilaksanakannya liberalisme di Asia oleh bangsa-bangsa Barat berakibat sama seperti yang dilaksanakan di negeri-negeri Eropa, yaitu pengisapan manusia oleh manusia, dikuranginya kebebasan bagi yang lemah ekonominya dan terjadinya perbedaan yang mencolok dalam pemilikan dan kekayaan. Namun, akibat negatif liberalisme di negeri jajahan lebih menyedihkan. UU Agraria 1870 menimbulkan kesengsaraan luar biasa. Oleh karena itu, dasar perekonomian Indonesia terang-terangan antiliberal, bersifat kolektif, yang berbeda dengan asas individualisme.

Dalam simposium itu Widjojo menyatakan bahwa banyak pokok pikiran yang dikemukakan oleh Wilopo sepenuhnya dapat disetujuinya. Widjojo menekankan aspek-aspek fundamental suatu sistem ekonomi berdasar antiliberalisme dengan berbagai pengendalian oleh pemerintah, termasuk menghancurkan kekuatan-kekuatan monopoli dan oligopoli.

Widjojo berbeda pendapat dengan Wilopo yang dianggapnya terlalu memerhatikan masalah pemerataan pendapatan dan hanya sedikit tentang usaha meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita. Bagi Widjojo, pemerataan pendapatan dan peningkatan pendapatan tidak bisa dipisahkan, haruslah dilaksanakan bersama-sama.

Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, Widjojo—beserta gagasannya tentu saja—menjadi warna utama ideologi dan pembangunan ekonomi Indonesia. Lalu apa yang terjadi kemudian?

Peningkatan pendapatan tak kunjung terasakan, sementara pemerataan pendapatan makin timpang. Pada saat yang sama, kesengsaraan rakyat justru menjadi kian massiv. Posisi rakyat direduksi menjadi residual dan hanya mendapat spill-over. Sekadar rembesan. Padahal menurut UUD 1945, posisi rakyat adalah substansial. Namun para penghulu negeri tetap saja tak peduli.

Jemari Konsensus Washington yang menjadi tonggak Neoliberalisme dengan pasar terbuka, deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi nampaknya mengalahkan amanah konstitusi. Dalam skala waktu yang kian cepat, orang-orang miskin digusur ketepian. Sebaliknya kemiskinan justru makin berkembang.

Di televisi, hampir saban hari kita menyaksikan para pedagang kakilima dihela dari pusat-pusat keramaian kota. Atasnama planologi, atasnama kenyamanan pengendara mobil yang kian menyesakkan kota, juga atas nama mall-mall yang makin disarati dengan merek-merek global, para penjaja es, gorengan, nasi bungkus, tukan semir sepatu yang mencoba bertahan dari lapar dan derita yang berkepanjangan terus dirampas hak hidupnya.

Tanpa pembelaan. Tanpa kata-kata dari mereka yang hidup dalam peluk kemewahan.

Aku dicekam kegalauan, bibirku komat-kamit......mengucapkan doa-doa apa saja, maki-maki apa saja.........tapi entah kepada siapa....

Dalam suatu kesempatan, Presiden Yudhoyono pernah menegaskan sikapnya yang menolak ideologi fundamentalisme pasar. Namun demikian, Menteri Negara BUMN tetap mengobral BUMN-BUMN strategis, juga penyerahan sumber-sumber daya alam ke tangan asing telah dibiarkan menjadi brutal piracies.

Terakhir aku mendengar, Krakatau Steel (KS) akan segera dijual.

Ada dua pembeli yang telah siap. BlueScope Steel Limited dan Arcelor Mittal (Mittal).

Lalu kenapa dua kakap produsen baja dunia ini kepincut untuk membeli Krakatau Steel?

Jawabnya tentu bukan karena para juragan baja dunia itu merasa iba dengan kemiskinan rakyat Indonesia. Mereka bukan pedagang coba-coba yang tidak pandai menghitung untung. Niat mereka sudah begitu terang-benderang, yakni harapan keuntungan akan mereka peroleh dari pembelian KS.

Namun pemerintah tetap menyodorkan dalih. Pemerintah hanya akan melepaskan 49 persen sahamnya di KS. Dengan begitu, pemerintah Indonesia akan tetap menjadi pemegang saham terbesar.

Angankupun melayang ke beberapa waktu lalu. Pada kisah penjualan saham pemerintah di Semen Gresik ke Cemex. Perusahaan dari Meksiko ini memang hanya menguasai 25,53 persen saham di Semen Gresik. Namun, entah bagaimana, Cemex menjadi pengendali atau penentu operasional perusahaan.

Sebagai pemegang saham minoritas, Cemex mendapat jatah wakil direktur utama dan wakil komisaris di jajaran manajemen. Namun kekuasaannya ternyata sama dengan direktur utama dan komisaris utama. Setiap pengambilan keputusan direktur utama dan komisaris utama (yang orang Indonesia) harus mendapat persetujuan dari wakilnya (orang Cemex Meksiko).

Kenapa bisa begitu?

Pada tahun 1998 lalu, pemerintah Indonesia telah diikat Cemex, dengan menandatangani Conditional Sale and Purchase Agreement (CSPA). Melalui CSPA ini anomali itu pun terjadi.

Kisah borong-memborong dan obral-mengobral—privatisasi—atas nama dan demi mengisi APBN ini adalah pendorong utama kekuatan pasar yang didorong negeri-negeri adidaya, lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan sebagainya berkat kuasa lobby para pemilik modal yang berada di balik prusahaan-perusahaan multinasional.

Dan privatisasi ini hanya terjadi di negara miskin seperti Indonesia. Sementara di negara-negara kapitalis besar, privatisasi justru tidak terjadi. Mereka terus merengsek ke negara-negara miskin untuk menghisap dan terus menghisap.

Ya......kapitalisme memang tidak mengenal kata cukup. Dan batas bagi ekonomi kapitalis adalah siapa yang kuat dialah yang menang dan menguasai.

Secara perlahan namun pasti, logika pasar secara penuh menguasai kehidupan publik negeri ini. Cakar neoliberalisme pun kemudian merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan.

Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara terus dipaksa untuk menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Sebab, neoliberalisme memang tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum.

Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Dan bangsa ini telah masuk kesana. Dari sekian banyak contoh, salah satu yang cukup telanjang adalah pada program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema water resources sector adjustment loan (Watsal).

Melalui skema Watsal, air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli. Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaan sumber air ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional.

Dalih penerimaan gagasan Darwinian oleh para penghulu negeri ini adalah demi efisiensi. Karena kata mereka, tanpa efisiensi kita akan segera mati. Di ujung satunya lagi adalah agar pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi dan karena itu, subsidi yang membikin tidak efisien dan juga mengendala pertumbuhan ekonomi harus dipupus dari kebijakan negeri.

Bagi kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik. Dalam titik ini pemerintah kemudian menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.

Tanpa sadar, aku pun menyenandungkan tembang Iwan Fals

.........Galang Rambu Anarkhi,

............................

BBM naik tinggi,

susu tak terbeli

Orang pintar tarik subsidi,

Anak kami kurang gizi

............................

Tapi suaraku ternyata begitu parau, karena para pemimpin negeri tetap saja bersikeukeuh untuk mencabuti subsidi, demi efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun Amartya Sen dalam Development as Freedom, juga telah lama memberikan peringatan.

Menurut pemenang penghargaan Nobel dalam Ilmu Ekonomi ini, pembangunan negara dunia ketiga mestinya harus dipahami sebagai perluasan kemampuan manusia, bukan semata-mata sebagai peningkatan pendapatan perkapita nasional, dan oleh sebab itu memerlukan kebijakan-kebijakan yang juga mempertimbangkan kesehatan dan pendidikan, tidak hanya PDB.

...................................

Lekaslah besar matahariku

Menangis yang keras, janganlah ragu

Tinjulah congkaknya dunia, matahariku

Doa kami di nadimu

......................

Sekali lagi tembang Iwan Fals mendayu-haru......

Dan di bibir sebuah jalan, di Lausanne, aku membaca sebuah tulisan menentang forum ekonomi dunia (WED) yang anggotanya para negara adidaya ekonomi dunia: La croissance est une foliea. Pertumbuhan adalah kegilaan. Dan kegilaan tidaklah sehat buat kehidupan.

Karena itu, meminjam gagasan David C Korten, kita membutuhkan kesadaran planeter. Sebuah kesadaran penuh yang memikul tanggung jawab akan peran seseorang yang tak terelakkan, baik dalam membentuk nasibnya sendiri sebagai satu spesies, maupun mengenai evolusi hidup masa-depan di atas planet Bumi ini.

Dan bagi kita, peran yang tak terelakkan itu barangkali seperti cerita Sukarno pada Cindy Adam........

"Ibu," kata Sukarno, "semua pelajar yang sudah lulus HBS, otomatis pergi ke Negeri Belanda. Itulah proses yang normal. Siapapun ingin mendapat pendidikan universitas, mesti ke Holland."

"Tidak. Samasekali tidak," sahut Ibunya. "Anakku tidak akan ke Negeri Belanda."

"Tetapi apa salahnya pergi ke luar negeri?"

"Memang tidak ada salahnya. Tetapi banyak kelirunya pergi ke Negeri Belanda. Apa yang menarik kamu? Harapan akan mendapat gelar universiter, atau keinginan akan perempuan kulit putih?"

"Saya mau ke universitas, Ibu,"

"Kalau memang demikian, kamu akan masuk universitas di sini. Pertama, kita harus mempertimbangkan masalah pokok yang menguasai apapun dalam hidup kita. Uang. Terlalu mahal pergi ke luar negeri. Lagipula kamu seorang anak yang lahir dengan darah Hindia. Saya mau kamu tinggal di sini, di antara bangsamu sendiri. Jangan pernah lupa, anakku, tempatmu, tujuan hidupmu, warisanmu, adalah di Pulau ini!"

Ah....hari telah pagi. Semoga kegelapan segera berganti.......**(Sahabat Pena)

0 komentar: