This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 28 Januari 2012

YUDHISTIRA NUJU MAHAMERU

YUDHISTIRA NUJU MAHAMERU:
Catatan Kecil Lewat GOR Sidoarjo

Di pintu surga, Yudhistira, raja tua yang lembut dan lurus hati itu, ditolak masuk. Permukaan bumi konon terkejut mendengarnya: bisa dipercayakah janji keadilan dalam hidup sesudah mati? Berabad-abad manusia mengajukan pertanyaan seperti ini, namun para dewa tak menengok. Tuhan tak menjawab. Tapi kejadian hari itu memang luar biasa. Banyak orang menganggap ini salah satu adegan paling memukau dalam Mahabharata.
Yudhistira ditolak masuk ke surga karena ia bertekad membawa serta seekor anjing yang kurus dan kotor ke dalam.
”Kau harus meninggalkan hewan itu di luar,” kata Dewa Indra di gerbang itu.
”Kalau tidak, kau tak bisa masuk.”
”Hamba harus membawanya,” jawab Yudhistira.
”Tak mungkin. Ada aturan yang melarang binatang masuk ke surga.”
Yudhistira diam sejenak.
”Kalau begitu, hamba tak akan masuk ke sana,” katanya. ”Lebih baik hamba kembali.”
”Ke mana?”
Yudhistira terdiam. Ia tak tahu apa yang akan didatanginya. Tapi ia tak banyak punya pilihan. Ia pun membalikkan badan dan melangkah dengan memeluk anjingnya yang kini menggonggong lirih.
Versi resmi Mahabharata menyebutkan di saat itulah mendadak hewan itu raib, dan yang tampak sosok Yamadharma. Dewa itulah—konon ayah Yudhistira sendiri—yang selama itu sebenarnya menyertainya dalam perjalanan.
Yudhistira terkejut. Tapi segera ia sadar, persoalannya tak berubah: ada yang tetap tak adil di situ. Pendakian ke surga di pucuk Mahameru itu begitu panjang, meletihkan, dan berbahaya—hingga istri serta empat saudaranya mati di jalan—tapi anjing yang lemah itu menanggungkan semuanya. Ia dengan setia menemani Yudhistira sejak batas kota Hastina, sejak semua pengantar mengundurkan diri. Ia juga penolongnya jika jalan sulit dan arah sesat.
Dalam diri binatang yang tanpa pamrih itulah Yudhistira menemukan sosok makhluk yang mulia; kepadanyalah ia merasa berutang budi. Tapi kahyangan menghinanya. Bukan saja si anjing ditolak masuk surga, tapi ditunjukkan bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya bukan kemuliaan. Perbuatan adalah mulia jika ia dilakukan satu subyek yang bebas tapi juga menjadikan dirinya bagian dari pengorbanan. Yamadharma bukan subyek semacam itu. Ia hanya menjalankan tugas kedewaan. Ia tak menanggungkan rasa sakit.
Saya bayangkan Yudhistira tetap memutuskan tak hendak masuk surga. Baginya surga tempat yang sewenang-wenang. Para dewa melarang satu makhluk masuk hanya karena sebuah batasan a priori: ia anjing, titik. Tak ada artinya perbuatan baik. Mantan raja Hastina itu percaya, jika ia melangkah ke dalam, ia akan mengukuhkan ketidakadilan. Ia pun meninggalkan gerbang.
Indra mencoba meyakinkannya.
”Dengarkan, Yudhistira. Kahyangan menghargaimu karena tindakanmu memprotes ketidakadilan. Ketidakadilan memang ada di sini, karena kedermawanan hati—dilakukan anjing atau bukan—dianggap tak ada. Kau benar, ketika kau menggugat.”
”Tapi para dewa telah menipuku. Anjing itu sebenarnya tak ada,” jawab Yudhistira.
”Memang tak ada,” kata Indra. ”Tapi pengorbanan itu ada”.
”Paduka berbicara pengorbanan sebagai sebuah ide. Hamba manusia. Pengorbanan adalah tindak, dengan pelaku dan peristiwanya. Jika anjing yang menderita itu tak ada, apa yang bernilai dari peristiwa itu juga tak ada.”
”Tapi engkau ada. Engkau berkorban, dan engkau ada.”
”Hamba berkorban untuk sebuah ilusi. Tak ada artinya. Hamba tak layak di sini.”
Di mana sebenarnya budi baik? Yudhistira mungkin akan menjawab: ketika ”aku” menegaskan diri, tapi dengan kesadaran dan kebebasan itu pula ”aku” membuat diriku menghilang, agar yang-lain, terutama yang membutuhkan, yang menderita, bisa hadir, terbebaskan, terhibur, dihargai. Budi baik terbit dari sebuah senyum: saat ketika kau melihat hidup sebagai panggilan untuk memandang liyan dengan ramah, takzim, tanpa pamrih.
Liyan: kata bahasa Jawa untuk menyebut ”orang lain” ini memang mengakui ”beda” dalam kedekatan—kedekatan yang justru membuat liyan sebuah enigma, keakraban yang justru membuatnya selalu menjadi: aku tak bisa menudingmu, aku tak berkuasa atas dirimu, aku tak bisa menentukan sejarahmu.
Di titik ini tiba-tiba Yudhistira justru merasa bersalah. Ada yang selalu tak pernah ia ketahui, sebenarnya, juga tentang seekor anjing yang menemaninya berhari-hari di perjalanan. Ia berutang budi kepada hewan itu, tapi mengapa tak ia lihat dalam diri makhluk yang kurus dan kotor itu ada sifat-sifat setengah dewa, seperti dahulu Bhisma: pengorbanan diri yang begitu jauh, dan sebab itu begitu suci? Bukankah tiap perbuatan baik kepada yang menderita adalah secercah cahaya keramat? Yudhistira kini mengakui: makhluk yang menolongnya sampai ke gerbang surga itu akhirnya tak penting identitasnya sebagai anjing; perbuatannya adalah manifestasi Dharma.
Yudhistira pun berhenti melangkah. Ia berpikir kembali: jangan-jangan ia—dan bukan kahyangan—yang telah menghina yang-lain itu dengan satu definisi: ia ”anjing”, titik.
Ia pun berbalik. Ia mulai mendaki lagi. Namun pada tikungan yang ke-7 sebelum pucuk Mahameru ia berhenti melangkah. Bimbang merasukinya lagi. Buat apa sebenarnya ia ke surga: untuk menikmati anugerah, atau untuk mengakui bahwa Indra benar?
Raja tua itu lelah. Ia kini tahu, kemurnian hati tak dengan sendirinya membawa pikiran jernih. Langit makin gelap. Ia melihat cahaya berpendar-pendar dari pucuk Mahameru, dan sayup-sayup terdengar nyanyian langit. ”Jika aku diizinkan masuk ke sana, surga akan menerima seorang yang bersalah. Atau seorang yang pamrih. Atau seorang yang tak punya pilihan lain, karena aku takut ke neraka. Apa artinya tempat itu jika demikian?”
Ia menghela napas. Tiba-tiba ia sejenak merasa melihat di gerbang di kejauhan itu Indra muncul, tinggi dan agung.
”Kemarilah, manusia,” begitu ia dengar kata-kata.
”Kemarilah jika kau tak merasa semua ini hanya ilusi.”
…...di dunia yang penuh sesak dan penuh orang lapar, seorang yang kekenyangan berarti merenggutkan nyawa yang lain …**


(Sidoarjo_Juanda, 22 Januari 2010)

Senin, 27 September 2010

Gembel-gembel Beijing, Suatu Hari



Pria berkaus putih keruh merebahkan tubuhnya di bangku taman kawasan pedestrian di luar tembok Kota Terlarang, Beijing, Republik Rakyat Cina. Handuk putih menyampir di sandaran bangku tempat dia tidur pada siang bolong itu. Tas hitam menyangga tengkuk dan kepalanya, menggantikan tugas bantal.
Ia seperti ingin melupakan Beijing yang sedang tertimpa cuaca ganjil. Siang itu, cuaca demikian panas. Menurut badan meteorologi, dalam sepuluh hari terakhir akhir Juli itu suhu berada pada titik 38 derajat Celsius. Biasanya ketika musim panas tiba suhu "cuma" 35 derajat. Terlihat di mana-mana orang gerah, berkipas, membuka baju, atau berpayung. Tapi aneh, pria itu terlelap.
Lima puluh meter dari pria itu, ada lelaki sepuh duduk di bangku taman lain. Kepalanya doyong ke kanan dan memejamkan mata. Hanya celana pendek hitam yang melindungi tubuh kurusnya yang tak terurus.
Ya, mereka gelandangan. Dua orang gelandangan itu sebagian dari puluhan lainnya yang menumpang hidup di taman-taman sekeliling Kota Terlarang, salah satu pusat wisata di Beijing. Mereka bagian dari ratusan orang miskin yang menyandarkan hidup di sana, entah sebagai pengemis, pemulung, penjual asongan air kemasan dalam botol, entah pengecer koran.
Mereka adalah sisa-sisa orang miskin yang "lolos" dari gerakan pembersihan yang dilakukan pemerintah Cina sejak menjelang peringatan 50 tahun kemerdekaan Republik Rakyat Tiongkok sebelas tahun lalu. Sebelum itu, pengemis, pedagang asongan, dan pengamen banyak dijumpai di persimpangan jalan. Sejumlah kawasan kumuh, terutama yang tampak dari jalan raya, dibongkar habis. Urbanisasi ke Beijing juga diawasi ketat. Orang miskin di pedesaan Cina dan di provinsi-provinsi miskin di kawasan barat Cina dilarang masuk Beijing.
Semua jalan raya dibikin lebar, menjadi tiga, empat, bahkan enam lajur. Yang menarik, hampir semua jalan di Beijing lurus, sedikit sekali yang berkelok. "Di Beijing yang ada jalan tegak dan lurus," kata Tommy Lie, seorang warga Beijing sembari tangannya membuat lambang tegak lurus di depannya. Ini beda dengan Shanghai, banyak jalan berkelok-kelok. Sejak itu, Beijing tertib dan bersih.
Pembersihan Beijing dari orang dan kawasan miskin kian gencar ketika kota ini membedaki diri demi Olimpiade pada Agustus dua tahun lalu. Olimpiade Musim Panas 2008 adalah titik balik Beijing. Pemerintah Cina menganggap pesta olahraga bangsa-bangsa seluruh dunia ini sebagai lambang keterbukaan negara itu. Mereka membawa angin perubahan "Beijing Baru". Beijing yang lebih megah dan wah.
Separuh dari jutaan penduduk Cina tersingkir dari perkampungan tradisional (hutong) mereka dan digantikan dengan berbagai kondominium, mal, serta gerai makan dan minum cepat saji produk Amerika. Pengendara sepeda berkurang, sedangkan jumlah lapangan golf, tempat ski, klub dansa, dan spa makin banyak.
Menjelang perhelatan akbar olahraga musim panas sedunia itu, tinggal 1.500 hutong. Padahal dulu setidaknya ada 10 ribu hutong. Kini jumlahnya terus menyusut. Memang, setelah Partai Komunis menang di Cina pada 1949, pemerintah mengambil alih kepemilikan hutong. Penghuni hutong tak lagi memiliki rumah sendiri.
l l l
Beijing atau Pinyin atau Peking adalah kota yang struktur administrasinya setingkat provinsi, mirip DKI Jakarta. Kota ini berpenduduk sekitar 14 juta jiwa dan merupakan kota terbesar kedua di Cina setelah Shanghai. Beijing adalah pusat politik, pendidikan, dan kebudayaan di Cina. Sedangkan Shanghai dan Hong Kong pusat perekonomian. Beijing ibu kota bagi negeri berpenduduk hampir 1,5 miliar orang ini. Pada 1 Oktober nanti Republik Rakyat Cina berusia 61 tahun.
Wajah Beijing yang dulu identik dengan gerobak dan sepeda ontel orang-orang miskin berubah menjadi kota yang bisa dibilang serba digital. Bus kota dan kereta bawah tanah menjual karcis dengan sistem digital. Peta, petunjuk jalan, dan iklan di stasiun serba digital. Dulu, Beijing cuma punya satu jalur kereta bawah tanah. Menjelang penyelenggaraan Olimpiade, Beijing membangun sembilan lagi jalur baru. Untuk mengelilingi Beijing yang luasnya 22 kali Jakarta, seorang penumpang cukup membeli tiket dua kali.
Berkat Olimpiade Beijing, semua tanda, pengumuman, dan nama stasiun menggunakan bahasa Inggris, selain bahasa Mandarin. Olimpiade juga menjadi momentum buat Beijing mengharamkan sepeda motor melintasi jalanan di kawasan dalam kota. Alasannya, sepeda motor kerap dipakai penjambret melakukan aksinya. Setelah menjambret, biasanya mereka lari ke kawasan perumahan kumuh dengan gang-gang sempit yang tidak bisa dilalui mobil.
Menjelang Olimpiade, Beijing berbenah. Warisan Cina era tua diperbaiki habis-habisan. Pemerintah Kota Beijing memasok anggaran khusus satu miliar yuan untuk proyek pembangunan kembali gedung lama dan prasarana kota. Wakil Direktur Komisi Pembangunan Kota Beijing Zhang Jiaming mengatakan, "Kami perbaiki 40 kawasan rumah lorong dan 140 taman."
Beijing pun membangun stadion raksasa untuk pesta megah olahraga musim panas sedunia dua tahun lalu. Kini stadion itu menjadi landmark baru Beijing era modern setelah Kota Terlarang dan Tembok Raksasa. Stadion Nasional Beijing, demikian nama resminya, menjadi semacam monumen sukses Cina menyelenggarakan Olimpiade. Orang juga mengenalnya sebagai Bird Nest Building atau Niao Ciao. Sebuah gedung berkonstruksi baja yang terinspirasi oleh sarang burung walet. Di sinilah dulu upacara megah pembukaan dan penutupan Olimpiade berlangsung. Cina mengeluarkan pundi-pundi hingga sekitar Rp 4,8 triliun untuk membangunnya.
Stadion Nasional berada dalam satu kawasan dengan Stadion Tertutup Nasional dan Pusat Akuatik Nasional. Tiga bangunan ini menyatu dengan Gedung Pertemuan, Pusat Olahraga, dan Gedung Budaya Wukesong Beijing, sebuah kawasan yang kemudian diberi nama Taman Olimpiade. Enam lokasi utama ini dibangun dengan biaya US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 19 triliun. Fantastis!
Alun-alun superluas membentang. Sejauh mata memandang belum juga ditemukan ujung Taman Olimpiade pada saat Beijing berkabut, akhir Juli lalu. Setidaknya 20 ribu orang berkunjung per hari. Pada musim liburan musim panas akhir Juli lalu, kunjungan makin banyak. Orang-orang dari pelosok Cina berduyun-duyun mengunjungi kemegahan stadion sarang burung itu. Turis asing pun terus mengalir. "Luas dan megahnya menakjubkan," kata Jodie O'tania, seorang pelancong.
Kemewahan stadion ini didukung patung kontemporer di Taman Olimpiade. Ada dua puluh patung. Dua tahun lalu, sebagai bagian dari cara Beijing berdandan menyambut Olimpiade, Institut Seni Patung Cina mengundang 20 pematung top dunia untuk membangun 20 karya monumental. Salah satunya adalah pematung top Italia, Alfio Mogelli.
l l l
Ekonomi Cina memang sedang tumbuh melesat. Akhir Juli lalu, Bank Dunia membuat laporan yang mengatakan pertumbuhan ekonomi Cina telah membantu negara-negara berkembang di Asia Timur pulih dari krisis global. Tapi Bank Dunia tetap mengingatkan Cina agar tak buru-buru mencabut kebijakan propertumbuh-an. "Terima kasih sekali kepada Cina. Kebanyakan produksi, ekspor, dan kesempatan kerja di sini telah kembali ke tingkat sebelum krisis," tulis laporan lembaga pemberi pinjaman yang berbasis di Washington.
Laporan itu menyebutkan perekonomian Cina tumbuh 10,7 persen pada kuartal keempat 2009. Ini meningkatkan perekonomian, terutama melalui permintaan impor dari Cina yang terus menanjak. Pertumbuhan ekonomi Cina ini ikut mengatrol pertumbuhan ekonomi di negara berkembang di Asia Timur.
Wilayah itu meliputi Vietnam, Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Sehingga Asia Timur memimpin pertumbuhan ekonomi global tahun. Bank Dunia pun memperbarui target pertumbuhan tahun ini menjadi 8,7 persen. Ini melebihi target yang ditetapkan pada November tahun lalu sebesar 7,8 persen.
Cina terus membangun. Tahun ini Negeri Paman Mao Tse Tung ini melakukan investasi lebih dari US$ 100 miliar atau sekitar Rp 930 triliun pada 23 proyek infrastruktur baru. Sebagian besar untuk memacu pertumbuhan kawasan barat, meliputi Xinjiang, Tibet, Mongolia Dalam, Sichuan, dan Yunnan. Daerah ini lebih miskin dibanding kawasan timur Cina. Ini sekaligus untuk mendorong naiknya permintaan dalam negeri. Perdana Menteri Wen Jiabao mengumumkan ini pada Juli lalu.
Menurut Wen Jiabao, ekonomi Cina menghadapi situasi sangat rumit. Ekonomi Cina memang stabil. Tapi lambannya pemulihan ekonomi global dari yang diperkirakan berimbas pula pada Cina. Survei terhadap manajer pembelian dua bulan lalu juga menunjukkan kegiatan pada industri manufaktur juga melemah.
Uang 682,2 miliar yuan itu akan digunakan untuk membangun rel kereta api, jalan, bandara, tambang batu bara, pusat pembangkit listrik tenaga nuklir, dan jaringan listrik. Cina menganggarkan 2,2 triliun yuan untuk 120 proyek besar sejak tahun 2000 hingga 2009. Media pemerintah Cina melaporkan pada Juni lalu, Beijing akan mengalirkan bantuan ekonomi sekitar 10 miliar yuan untuk Xinjiang. Bantuan mengucur ke rakyat mulai tahun depan.
Ini bagian dari upaya meningkatkan standar hidup suku minoritas Uighur. Bayaran atas dilarangnya orang-orang miskin menyerbu Beijing yang wah. Pemerintah Cina tampak berupaya keras menjadikan Beijing steril dari gembel di jalanan. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil.
Selain pengemis yang tidur di taman-taman seputar kawasan Kota Terlarang di atas, banyak pemulung yang berkeliaran di seputar stadion mewah bekas Olimpiade. Mereka memungut botol-botol bekas dari tempat sampah atau dari orang yang sembarang membuang sampah. Ada yang mencangklong karung sembari berputar dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain. Ada juga yang menggunakan sepeda bergerobak, menunggu bekas kemasan makan dan minum di warung-warung tenda ditinggal pembelinya.
Di beberapa tempat di Taman Olimpiade, tampak warga Cina yang masih terlihat ndeso antre panjang ingin difoto kamera digital. Tukang foto keliling laris manis. Selama musim panas Juli itu, begitu banyak gembel menuju taman-taman Kota Beijing untuk sekadar mendinginkan badan. Warga miskin Beijing itu tampak duduk-duduk bertelanjang dada, tak ubahnya orang kampung di Jawa atau orang Tionghoa papa yang berserak di Pontianak hingga Singkawang, Kalimantan Barat.

Buah Zakar Goreng dari Berlin

• 20 September 2010


Laki-laki itu berwajah kaku dengan penampilan kuno: rambut klimis, kacamata gagang tebal, dan dasi model 1960-an. Dia Thomas Richter, 34 tahun, pengelola sekaligus juru bicara sebuah restoran yang baru dibuka di Berlin, Jerman, awal September lalu.
Resto itu bernama Flime, kependekan dari Fleisch isst Mensch alias "Daging untuk Manusia". Menu yang disajikan resto ini bisa membuat perut mual: daging yang berasal dari potongan tubuh manusia. "Daging manusia enak rasanya," kata Richter dengan mimik aneh. Di mana tepatnya lokasi resto ini?
"Masih rahasia," ujar Richter kepada Tempo. Ide restoran milik warga Brasil bernama Eduardo Amando itu meniru pengalaman suku Amazon yang dengan tradisi Wari suka melahap daging anggota keluarga dan musuhnya untuk mendapatkan kekuatan dan jiwa baru.
Seluruh peralatan dapur diimpor dari Rusia dan Polandia. Untuk menyantap menu, seperti "Feijoada", yaitu aneka potongan tubuh yang dimakan dengan nasi dan kacang polong, dan "Gebraten Tartarbaelchen" alias buah zakar goreng yang disantap dengan sup, tamu resto hanya perlu membayar tempat duduk seharga 199 euro.
Untuk memperoleh bahan baku, sejak akhir Agustus lalu Flime gencar memasang iklan di Internet. Isinya menerima siapa saja yang mau menyumbangkan potongan tubuhnya. Termasuk penggalan bekas operasi dari rumah sakit. Ongkos operasi akan diambil alih Flime, sedikitnya senilai 1.000 euro, asalkan hasil cek kesehatan dinyatakan beres.
"Banyak orang merasa tidak mengenal anggota tubuhnya sendiri. Orang merasa tangan dan kakinya bukan bagian dari tubuhnya. Jika ini yang dirasakan, kami bisa menolongnya. Tulislah permintaan Anda lewat info@flime-restaurant.com," Richter menambahkan dengan nada serius.
Iklan itu dengan cepat merebak. Media prestisius Jerman, Spiegel Online, dan koran bergengsi Inggris, Daily Telegraph, memuat berita tentang resto itu. "Kelak di Jerman orang bisa menyantap breasticles, headcaroni, atau fingertenders," tulis Daily Telegraph dengan gaya bahasa satire.
Richter mengaku sudah beroleh izin usaha dari pemerintah. Cuma, keterangan ini dibantah. "Tidak pernah ada permohonan izin usaha itu," kata juru bicara Pemerintah Kota Berlin. Richter juga mengundang wartawan menghadiri jumpa pers di Hotel Holiday Inn pada 2 September 2010 pukul 10.00. Tapi undangan yang disebar via Internet itu dibantah Holiday Inn. Toh, dengan kalem, Richter menjawab, "Oh, Holiday Inn membatalkan acara tersebut. Kami sedang mencari tempat lain."
Tak pelak, warga ibu kota Jerman pun dibikin geger oleh berita itu. "Cuma orang dengan kelainan jiwa yang punya ide seperti itu," kata Alessandro, warga Berlin, bergidik ngeri. "Jika pemerintah mengizinkan restoran seperti ini beroperasi, saya akan minggat dari Jerman. Kami bukan orang rimba," kata Martina mencak-mencak.
Sedangkan Hans mengaku mual berat setelah membaca iklan itu di Internet. "Di mana gerangan kepalanya? Sudah jadi alas kaki?" ujarnya dengan berang. Papan demo bertulisan "Cegah Flime" dan "Dagingku Milikku" pun bermunculan di sana-sini.
Senator bidang kesehatan, Marie-Luise Dittmar, mengatakan pada prinsipnya Jerman tidak melarang konsumsi segala jenis daging, asalkan bebas dari penyakit. Namun memotong bagian tubuh sendiri untuk dikonsumsi atau dengan alasan adat dilarang di Jerman.
Ketegangan dan kegelisahan warga baru redup setelah muncul keterangan dari Persatuan Vegetarian Jerman bahwa iklan itu fiktif. Iklan itu cuma akal-akalan untuk menarik perhatian orang. "Problem global seperti kelaparan, kebakaran hutan, dan penyakit hewan terjadi karena rusaknya sumber daya alam," kata Sebastian Zoesch, juru bicara organisasi vegetarian itu.
Konsumsi daging merangsang berkembangnya perusahaan ternak, yang pada gilirannya membuat sumber daya alam semakin menciut. "Tahukah Anda setiap 3,6 detik satu orang meninggal karena kekurangan gizi?" ujar Zoesch. Iklan fiktif itu dimaksudkan agar orang berhenti mengkonsumsi daging. "Organisasi kami sudah berdiri sejak 1892, tapi orang tidak peduli pada kegiatan kami," Zoesch menambahkan.
Kendati berdalih mengajak orang hidup sehat, tindakan memasang iklan fiktif itu tetap memicu kegusaran. "Jika mereka menganggap itu cuma guyonan, lelucon itu sama sekali tidak lucu," kata Volker Nickel, juru bicara penasihat periklanan Jerman, berang bukan main.

Sabtu, 10 April 2010

CHANGE, WE CAN BELIEVE IN


AKHIRNYA, di tengah komunitas yang pernah menjadi budak-budak bagi tuan kulit putih itu punya keturunan yang kemudian menjadi presiden bagi kulit putih itu sendiri, mematahkan mainstream kepemimpinan puncak di AS yang didominasi warga berdemografis White, Anglo-Saxon, dan Protestant, yang berlaku sejak 1797 atau dari 43 presiden, yang juga belum memunculkan satu pun perempuan presiden. Lidah orang-orang pun seperti kelu, sementara ingatan lama menyeruak hingga 55 tahun silam, ketika Martin Luther King Jr menyampaikan pidatonya, I Have A Dream.
”Saya mempunyai satu impian bahwa suatu hari setiap lembah akan ditimbun, setiap bukit dan gunung akan diratakan, tempat-tempat yang kasar akan dihaluskan, dan jalan-jalan yang berkelok-kelok akan diluruskan, dan (akhirnya) kemuliaan Tuhan akan dinyatakan serta seluruh umat manusia bersama-sama melihatnya.”
Dan Obama, boleh jadi memang adalah politisi yang telah menemukan kembali politik dari jalannya selama ini. “Ini adalah revolusi besar seperti pemilihan Franklin D Roosevelt tahun 1932 dan John F Kennedy tahun 1960,” kata Paul Levinson, pakar politik dari Fordham University, New York, seperti dikutip kantor berita AFP.
Ibu Barry—begitu Obama dipanggil teman-temannya yang bersekolah di SD Negeri 04 Percobaan di Jalan Besuki, Jakarta Pusat—berasal dari Kansas, ayahnya orang Kenya, dari suku Luo yang lahir di Alego yang menikahi ibu Barry tahun 1959 di Honolulu saat miscegenation (pernikahan antarras) dilarang di banyak negara bagian Amerika Serikat. Bapak tirinya Lulu Soetoro. Waktu kecil Barry hidup sederhana di Jakarta, saat dewasa menjadi pengacara top lulusan Harvard.
Dari buku Dreams from My Father, (1996) Barry banyak bercerita tentang ayah kandungnya, jebolan University of Hawaii (UH) yang menjadi anggota Phi Beta Kappa—komunitas akademisi elitis yang susah diterobos masuk orang luar AS. Ayahnya adalah penerima beasiswa pertama asal Afrika di UH dan belajar ekonometri dengan menggaet peringkat terbaik di angkatannya. Barry Junior juga lulus dari Harvard Law School dan menjadi presiden kulit hitam pertama di Harvard Law Review—jurnal hukum berwibawa.
Dreams bercerita tentang perjalanan hidup dia yang biasa saja. Ia dari kecil hidup dengan ayah tiri, waktu remaja ditinggal ibu, dan sampai dewasa diasuh kakek-nenek. Ia pernah tinggal di Honolulu, Jakarta, New York City, Boston, Chicago, Springfield, kini Washington DC. Tanpa malu ia mengaku pernah dijerat ganja dan alkohol serta menjadi perokok berat selama bertahun-tahun.
Dreams menyajikan perjuangan Obama mengorganisasi ”mikropolitik” yang mudah diberdayakan ke skala lebih besar, mulai dari tingkat kota, regional, sampai nasional. Ia memulai awal karier politik di Chicago tahun 1983. Ia tinggalkan gaji besar di pasar saham Wall Street, New York, untuk menjadi community organizer alias politisi. Sebab baginya, ”perubahan bukan slogan kosong yang datang dari atas, tetapi dari pengalaman berpolitik di akar rumput.”
Ia organisator komunitas di Calumet, Chicago Selatan, yang dihuni kalangan bawah dari warna kulit yang berwarna-warni. Dana bagi politisi ”bau kencur” macam Obama datang dari kalangan kaya, kota praja, pebisnis, atau para donor di luar negeri. Gajinya pas-pasan, jadwal hariannya bagai ”diuber setan”, dan akhir pekan dia habiskan untuk belajar lagi.
Ia datangi rumah warga satu per satu mendata masalah mereka, mulai dari selokan mampat, leding air tak menetes, sampai bagaimana caranya mengusir para muncikari. Tak jarang ia ditolak, diusir, bahkan dimaki. Di Altgeld Gardens, Chicago selatan, Barry mencari lowongan bagi penganggur menyusul penutupan sejumlah pabrik-pabrik yang produk-produknya kalah bersaing dengan kualitas barang-barang serupa dari luar negeri.
Barry memaksa kota praja membongkar asbestos di apartemen karena bahan bangunan itu menjadi sumber penyakit kanker hati. Ia tak segan mengerahkan pendemo atau memanfaatkan pers membongkar konspirasi pebisnis dengan politisi. Secara perlahan tetapi pasti, warga mendengar rekor Barry yang akhirnya memimpin CCRC. Ia sukses menambah jumlah organisasi antikenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan, dan membuat sistem keamanan mandiri.
Kemudian, ketika The Audacity of Hope (2006) diterbitkan, buku ini selama sembilan pekan masuk di Daftar Buku Terlaris. Sampai suatu waktu, begitu banyak orang dibuat terkesiap ketika mendengar ia menyebut namanya ”Barrack Hussein Obama” (mirip Saddam Hussein dan Osama bin Laden) sambil mengulurkan tangan saat kampanye untuk menjadi anggota Senat di Springfield, Illinois.
Dari catatan itu kita tahu, Barry bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, tetapi dielu-elukan sebagai penjelmaan John Fitzgerald Kennedy. Nama Barry meroket ketika dipilih sebagai pengucap pidato kunci Konvensi Partai Demokrat 2004.
”Tak ada orang hitam Amerika dan orang putih Amerika dan orang Latin Amerika dan orang Asia Amerika—yang ada hanyalah Amerika Serikat. Saya tak punya pilihan lain kecuali memercayai visi Amerika. Sebagai anak lelaki hitam dan perempuan putih, sebagai orang yang lahir di Hawaii yang multirasial bersama saudara tiri yang separuh Indonesia, punya ipar dan keponakan keturunan China, punya saudara-saudara mirip Margaret Thatcher..., saya tak bisa setia pada sebuah ras saja.”
Di Audacity of Hope, Barry menulis esai mengenai tanah airnya yang ketiga, Indonesia. Sepanjang sepuluh halaman ia mengulas evolusi Indonesia dari sebuah kampung besar, lalu jadi antek politik dan ekonomi AS, kemudian mengalami krisis moneter dan reformasi, sampai jadi negara yang tak toleran lagi.
Rumahnya di Jakarta tak berkakus duduk, di halaman belakang ada beberapa ekor ayam peliharaan, dan di dekat jendela banyak jemuran bergelantungan. ”Jenderal-jenderal membungkam hak asasi, birokrasinya penuh korupsi. Tak ada uang untuk masuk ke sekolah internasional, saya masuk sekolah biasa dan bermain dengan anak-anak jongos, tukang jahit, atau pegawai rendahan,” tulisnya. Bagi Barry, Indonesia kini tak sama lagi. ”Indonesia terasa jauh dibandingkan dengan 30-an tahun yang lalu. Saya takut ia menjadi tanah yang asing,” tulisnya.
Barry politisi yang merangkak dari bawah, telah membuktikan politik pengabdian tak kenal lelah, yang jika diseriusi pasti membuahkan hasil. Ia matang berkat ”politik eceran” yang rajin ditekuninya dengan menggeluti topik hubungan luar negeri, UU kode etik politisi, kesejahteraan rakyat miskin, pendidikan anak, masalah veteran, kesehatan, pendidikan, buruh, pensiunan, sampai pembasmian flu burung. Dan slogan, ”Change, We Can Believe In”, bukan sekadar omong kosong.**IBA

....CAPITALISM IS DYING..?.


KRISIS finansial global, kini telah menjadi kabut perekonomian dunia. Revisi perkiraan pertumbuhan ekonomi pun mulai bermunculan. Penurunan pertumbuhan membuat kisah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) marak dibicarakan. Sektor otomotif dan keuangan paling terpukul akibat krisis global ini, namun kemudian pukulan juga mulai merambah ke industri kimia, hotel, turisme dan sebagainya.
Fiat, industri otomotif utama Italia, sudah memperkirakan penjualan mereka akan turun 10 – 20 persen. Hyundai (Korea Selatan), juga memperkirakan hal yang sama. Mereka memang belum membicarakan PHK, ini berbeda dengan industri otomotif AS yang sudah melakukan PHK. Chrysler LLC, raksasa otomotif nomor tiga AS, setelah General Motors dan Ford, Kamis (23/10/2008) telah menegaskan akan menutup salah satu pabiknya. Penutupan ini dipercepat karena situasi yang memburuk. Karyawan akan dialihkan, tetapi 1.825 pekerja harus di-PHK. Sementara Goldman Sachs Group, raksasa perbankkan, juga Kamis (23/10/2008), dilaporkan bakal mem-PHK sekitar 3.260 pekerja. Sekitar 10 persen dari pekerja mereka berada di New York.
Trilyunan dollar AS yang dikucurkan untuk membendung laju dampak krisis, nampaknya hanya sekadar penunda waktu kebangkrutan. Kapitalisme yang sangat membenci intervensi negara dalam perekonomian (laissez faire) pun terpaksa menasionalisasi korporasi finansial dan membayar hutang swasta (bail out) secara besar-besaran. Ingatan saya pun terseret pada bukunya Harry Shutt, Runtuhnya Kapitalisme (2005), yang menyebutkan bahwa Kapitalisme kini sedang mengalami “gejala-gejala utama kegagalan secara sistemik”.
Di AS, pemerintahan Bush memaksa rakyat Amerika membayar hutang-hutang perbankan sebesar US$ 700 milyar (Rp 6.650 trilyun). Bush juga menambah beban rakyat dengan program rekapitalisasi perbankan senilai US$ 250 milyar (Rp 2.375 trilyun) dan pembelian aset-aset bank US$ 100 milyar (Rp 950 trilyun). Semuanya harus didanai rakyat AS untuk membayar keserakahan para investor. Belum lagi dana US$ 900 milyar (Rp 8.550 trilyun) yang digelontorkan bank sentral AS untuk melakukan intervensi pasar.
Di Eropa, pemerintah Inggris mengeluarkan dana rakyat sebesar £ 500 milyar untuk rencana penyelamatan sistem keuangan mereka. Sebesar £ 119 milyar atau US$ 215 milyar (Rp 2.042,5 trilyun) dihabiskan untuk menasionalisasi bank nasional Inggris Northern Rock yang sudah bangkrut. Negara perekonomian terbesar ketiga dunia, Jerman harus mengeluarkan dana €400 milyar untuk menjamin perbankannya dan €100 milyar untuk program rekapitalisasi.
Krisis finansial global yang terparah dalam 80 tahun terakhir ini membuat banyak negara bersatu untuk mengatasinya. Namun, sejauh ini langkah bersama itu belum membuat kepercayaan pasar pulih. Ini terlihat dari harga saham di sejumlah bursa dunia yang masih terus merosot.
Lalu, apakah yang sesungguhnya tengah terjadi?
Tepat satu bulan pasca bangkrutnya Lehman Brothers (10/09/2008) dengan nilai kerugian US$ 3,9 milyar yang kemudian menyeret kehancuran perusahaan asuransi terbesar AS American International Group (AIG) dan menimbulkan efek berantai serta merontokan kepercayaan para investor akan ketangguhan sistem keuangan AS, Washington Post (10 Oktober 2008) menurunkan artikel berjudul “The End of American Capitalism?” Artikel yang ditulis Anthony Faiola itu mengutip Joseph Stigliz. Stigliz, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2001 ini memperingatkan negara-negara yang selama ini mengagumi model ekonomi kapitalisme Amerika untuk segera bersiap menghadapi kehancuran ekonominya. Kabangkrutan dan nasionalisasi parsial sejumlah bank di AS, merupakan tanda-tanda kematian sistem kapitalisme AS.
Stigliz mengatakan: “People around the world once admired us for our economy, and we told them if you wanted to be like us, here’s what you have to do — hand over power to the market… The point now is that no one has respect for that kind of model anymore given this crisis. And of course it raises questions about our credibility. Everyone feels they are suffering now because of us.”
Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy menyatakan era sistem yang tanpa regulasi telah berakhir (Business Week, 29/09/2008). Ide free market dan laissez faire dalam ideologi kapitalisme benar-benar mengalami kebuntuan sejarah. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan perlunya sistem keuangan global yang baru untuk mengganti sistem Bretton Woods yang sudah 64 tahun tegak (Telegraph, 15/10/2008). Negara-negara kapitalis dan para pendukungnya harus jujur mengakui kebangkrutan ide kapitalisme sehingga tidak layak sistem ini dipertahankan.
Para pembela kapitalisme sebagaimana Allan Gresspan dan Francis Fukuyama masih mencoba mempertahankan diri. Mereka mengatakan bahwa krisis yang terbesar pasca Malaise (1929) itu sama sekali bukan kesalahan kapitalisme dan pasar bebas. Mereka menyebut bahwa krisis itu lebih dikarenakan kerakusan para pebisnis yang melakukan bisnis derivatif, kecerobohan masyarakat dengan sikap yang tidak “cerdas pasar”, serta kegagalan pemerintah melakukan good governance.
Bantahan bernada defensive apologetic ini nampaknya juga menguasai ekonom arus utama negeri ini. Tapi benarkah?
Keinginan agar semua orang berpikir “cerdas pasar” tidak relevan karena orang-orang yang cerdas pasar justru akan menjadikan mayoritas orang “bodoh pasar” (Kiyosaki, Rich Dad Poor Dad). Ini ditunjang oleh sistem bunga yang membuat eksploitasi itu menjadikan bisnis tak sekedar “permainan” tapi “pembantaian”. Bayangkan, betapa tidak adilnya orang-orang yang di sektor keuangan mendapat keuntungan 40 persen, sementara orang-orang di sektor riil hanya dapat untung 20 persen. Tentu saja ini sebuah eksploitasi karena orang-orang di sektor riil bekerja jauh lebih keras.
Lalu, harapan supaya para kapitalis tidak rakus juga tidak mungkin. Ini karena selisih yang terlalu besar antara sektor keuangan dan sektor riil menjadikan eksploitasi benar-benar di depan mata. Faktanya, sistem bunga menjadikan jual beli uang jauh lebih menarik dari produksi dan jual beli barang.
Hal lain yang kadang membuat kita lupa diri adalah bahwa, sistem kapitalisme hanya memungkinkan milik (bhs Jawa: ”punya” atau ”harta”) menjadi begitu penting dan melik (bhs Jawa: keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu) terlembagakan sebagai perilaku wajar. Keduanya (milik dan melik) kemudian dianggap hal yang bagus bagi pertumbuhan ekonomi. Meski untuk itu, ketamakan dan kerakusan yang menelan begitu banyak korban menjadi sebuah keniscayaan: Siapa peduli?.
Selain itu, fakta juga menunjukkan bahwa mekanisme pasar tak pernah sanggup menghasilkan “tangan gaib”. Optimisme Adam Smith dan John Naisbitt tidak pernah terbukti. Pesimisme David Ricardo terasa lebih realistis.
Kemudian, tuntutan agar pemerintah melakukan good governance juga tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimanapun, persaingan yang terjadi bukan persaingan sempurna. Tapi persaingan oligopolistis, bahkan monopolistis. Selain itu, manusia kemampuannya berbeda-beda. Tak semua mereka kuda. Sebagian singa, sebagian kancil, dan sebagian besar lagi anthelop muda dengan kaki yang terluka. Sikap pemerintah tak akan mengubah suasana persaingan ini. Dan akhirnya, pasar yang digerakkan oleh milik dan melik, tak akan mudah ditertibkan oleh Negara. Wallahu’alam.** (Sahabat Pena)

Keterjebakan Indonesia dan Babad Indonesia


Ekonomi pasar, bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum, yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil dicapai. Sebab, ekonomi pasar itu secara prinsipil tidak dapat diterapkan sama untuk semua bangsa. Nicht verallgemeinerungsfaehig
“DALAM lomba”, tulis Kurt Beidenkopf, “sistem komunislah yang kalah”. Tetapi jika permasalahan paling mendasar dari bumi ini dipandang serius dan jujur. Maka, harus diakui bahwa, negara-negara dengan orientasi pasar bebas pun, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sistem pasar itu. Sebab, sistem pasar maupun komunisme, yang sangat menentukan dunia budaya industrial kita, pada hakikatnya sama saja. Yakni, pertumbuhan terus-menerus. Dari penyediaan barang-barang dan pelayanan material. Sasaran dari pertumbuhan itulah, yang diikhtiarkan tanpa henti. Dengan demikian, perbedaan antara dua sistem itu bukan pada sasaran mereka. Melainkan hanya pada jalan yang ditempuh. Padahal, pertanyaan paling mendasar hari ini dan masa datang adalah justru pada sasaran itu.
Tulisan Beidenkopf dalam majalah Die Zeit, itu cukup menarik. Sebab, kala tulisan itu diterbitkan, 26 September 1991, ia adalah Perdana Menteri di negara bagian Shachsen, Jerman. Ia juga anggota Partai Kristen Demokrat yang biasanya berhaluan konservatif tradisional sayap kanan, pemuja sistem ekonomi pasar. Karena itu, pernyataannya itu seolah guyuran air dingin bagi masyarakat Barat yang tengah dimabuk kejayaan pasar bebas setelah tembok berlin runtuh. Patung Lenin rubuh.
Seperti juga pernah diingatkan mendiang Paus Yohanes Paulus. “Dengan runtuhnya kaum komunisme tidak berarti, bahwa kapitalismelah yang akan menjadi dewa keselamatan. Khususnya bagi negara-negara berkembang.”
Ya.....dengan begitu. Bagi kita di Indonesia kini, persoalannya bukan lagi pada Adam Smith atau Karl Marx. Bukan pada ekonomi pasar yang begitu dielu-elukan sebagian besar elit bangsa ini, terutama setelah ekonomi komunisme yang terpusat runtuh dan seolah tata dunia baru sudah jelas terbentang di depan. Tetapi meneguhkan jawaban atas pertanyaan, untuk apa dan siapa sesungguhnya sasaran seluruh ikhtiar bangsa ini akan dipersembahkan?
Seperti juga Beidenkopf dalam tulisannya itu. Bangsa-bangsa kaya hanya dapat mengadakan ekspansi dengan pengorbanan bangsa-bangsa yang lebih lemah. Karena itu, untuk membebaskan ancaman-ancaman yang melekat pada sistem pasar negara-negara industri maupun komunis yang industrial maju, yang padanya terjadi penghisapan struktural terhadap mayoritas bangsa manusia, hanya mungkin bisa dilakukan bila cara berfikir negara Barat dirubah secara radikal. Jika tidak maka, kendati menamai diri sebagai negara demokrasi, dunia akan mengalami keruntuhan, yang oleh Beidenkopf disebut regierbarken. Keruntuhan yang dapat diperintah atau keruntuhan yang bisa diatur. Dan semua itu mewujud pada berbagai tindak kekerasan. Perang, terorisme dan sebagainya.
Dengan begitu, ekonomi pasar, bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum, yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil dicapai. Sebab secara prinsipil, ekonomi pasar memang tidak dapat diterapkan sama untuk semua bangsa. Nicht verallgemeinerungsfaehig.
Ya....aku rasa betul juga. Sistem ekonomi pasar yang dianut faktual oleh dunia Barat dan yang diterapkan secara luas di dunia Timur tanpa kritik, jelas bukanlah hasil hukum kodrat manusia. Seperti juga ekonomi terpusat yang kini runtuh.
Titik berangkatnya berasal dari konstruksi-konstruksi buatan pikiran, bayangan-bayangan instrumen, tata masyarakat yang datang dari ideologi tertentu, yang dikembangkan historis oleh manusia Barat tertentu untuk menangani masalah-masalah konkrit tertentu dalam alam sistuasi kondisi yang tertentu pula. Sekali lagi, bukan dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil untuk dapat diwujudkan.
Hanya persoalannya, bangsa Indonesia ini sepertinya sudah tidak lagi bisa terbebas dari pilihan tunggal. Ekonomi pasar. Juga dengan kiblat tunggal. Kelompok negara adidaya yang dikomandani Amerika Serikat. Meski sudah cukup lama, juga cukup intens sebagian dari para pakar ekonomi kita mencoba merumuskan ekonomi Pancasila.
Namun, dalam praktik keseharian kita, ekonomi pasarlah yang nyata berjaya.
Dan selanjutnya, godaan besar yang kemudian mencuat di hadapan kita, dan kita sepertinya juga tidak bisa mengelak, adalah pada munculnya ideologi yang mengerikan. Yakni, segala yang mungkin bagi manusia, boleh dikerjakan juga.
Kemudian, dari hari ke hari hutan-hutan dibantai dengan cara yang sungguh sulit dinalar. Tambang-tambang di perut bumi dikeruk tanpa kendali dan tanpa peduli lingkungan sekitarnya. Limpahan hasil laut terus pula diekspolitasi tanpa sedikit pun keinginan untuk mengembalikan agar bisa pulih lestari. Dan akhirnya, sumberdaya alam amanah Tuhan untuk anak cucu kita, kini teronggok tinggal sisa-sisa.
Lalu bencana?
Rakyat miskin di pedalaman kini selalu dicekam oleh datangnya aneka petaka. Banjir, longsor, serbuan aneka hama, juga kekeringan yang mengerontangkan jiwa raga. Semua sudah tidak lagi bisa kita hitung, berapa korbannya.
Berikutnya. Kita seperti berada pada lingkar keterjebakan.
Ya....deretan persoalan yang saling berkelindan. Begitu melelahkan. Juga begitu mengerikan akibatnya.
Tapi bagaimana konstruksi lingkar keterjebakan bangsa ini hingga kita begitu susah keluar dari belitannya itu?
Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man, John Perkins, warga Amerika Serikat itu mengungkapkan sejumlah fakta. Tentang sebuah potret jaringan corporatocracy elit politik dan bisnis AS yang begitu kuat menjerat kita. Cara kerjanya mirip mafia. Mereka menggunakan segala cara. Termasuk membunuh atau mempekerjakan pelacur. Semua upaya itu ditujukan untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi mereka.
”Kita melakukan pekerjaan kotor. Tak ada yang tahu apa yang kamu lakukan. Termasuk istrimu“, kata Charlie Illingworth, bos Perkins.
Untuk menjalankan operasinya, Perkins diberi dua tugas utama. Pertama, menyusun laporan fiktif agar IMF, Bank Dunia, dan USAID bersedia mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur. Kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang setinggi gunung, negara penerima hutang kemudian dijadikan kuda yang dikendalikan sang kusir yang duduk di ibukota negara Amerika Serikat sana.
Praktik corporatocracy itu di Indonesia ternyata disambut hangat para pejabat kita. Sebab, di negeri ini gerilya Perkins menemukan sekutu dengan kelompok yang telah disiapkan oleh Amerika Serikat sebelumnya. Kelompok itu dikenal dengan sebutan ’Mafia Berkeley’.
Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan, MAIN, dan para pejabat itu pun kemudian saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek pembangkrutan. Maaf, faktanya memang bukan pembangunan Indonesia itu pun dimulai. Dan, dimulai pulalah lingkaran setan utang luar negeri yang dielu-elukan sebagai ideologi pembangunan.
Tapi...ah, cerita corporatocracy AS di Indonesia itu sebetulnya punya akar sejarah cukup dalam dan waktu yang lama. Kuku-kukunya telah mulai ditanam sejak awal abad ke 20. Ketika imperialisme Amerika mulai menjadi tantangan bagi kekuatan kolonial Eropa. Terutama setelah AS menduduki Filipina, tahun 1898. Lebih seabad lalu.
Strategi AS di daerah ini waktu itu, seperti ditulis Terri Cavanagh dalam Lessons of the 1965 Indonesian Coup, dapat diringkas dari pendapat Senator William Beveridge:
"The Philippines are ours forever ... and beyond the Philippines are China's illimitable markets. We will not retreat from either. We will not repudiate our duty in the archipelago. We will not abandon our duty in the Orient. We will not renounce our part in the mission of our race, trustee under God, of the civilisation of the world ... We will move forward to our work ... with gratitude ... and thanksgiving to Almighty God that he has marked us as his chosen people, henceforth to lead in the regeneration of the world ... Our largest trade henceforth must be with Asia. The Pacific is our ocean ... and the Pacific is the ocean of the commerce of the future. The power that rules the Pacific, therefore, is the power that rules the world. And with the Philippines, that power is and will forever be the American Republic." (Emphasis in the original)
"Filipina adalah milik kita selamanya...dan lewat Filipina adalah pasaran Cina yang tak terbatas. Kita tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggungjawab kita di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan, untuk peradaban di dunia ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina, kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik Amerika."
Sejak itu, perusahaan minyak Standard (AS) mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak di Indonesia yang semula dikuasai penuh oleh Royal Dutch Company. Tahun 1907, Royal Dutch dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai mengebor minyak di Jawa Tengah. Dalam tahun yang sama perusahaan-perusahaan AS mulai menguasai perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre and Rubber membuka perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber membuka perkebunan-perkebunan karet di bawah satu kepemilikan yang terbesar di dunia.
Pada tahun 1939, lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah yang penting bagi Amerika Serikat dipasok dari Indonesia. Waktu itu masih dikenal dengan nama East Indies Belanda. Bagi Amerika Serikat, kekuasaan atas daerah ini merupakan misi utama dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dan setelah Perang Dunia II, kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.
17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Banyak negara-negara Asia-Afrika juga kemudian merdeka. Sejak itu, kapitalisme yang menjadi pendorong imperialisme, dan kolonialisme pun meluruh pamornya. Amerika Serikat sebagai pemenang atas Perang Dunia II merasa berhak mengambil manfaat atas kemenangannya itu.
Satu tahun sebelumnya. 1944, di pegunungan New Hampshire, di Bretton Woods, AS, dibentuklah IMF dan saudara kembarnya World Bank. Dari sana kemudian lahir gagasan Harrod-Domar yang menegaskan bahwa, pembangunan adalah masalah penyediaan modal semata. Dikembangkan pula gagasan David Mc Clelland yang menyatakan bahwa untuk menjadi maju, sebuah bangsa harus dibenahi mental dan motivasinya agar mereka mempunyai hasrat untuk meraih setinggi-tingginya prestasi dalam hidup. Need for achievement (n-ach). Untuk mewujudkan semua itu, perlu dikembangkan nilai-nilai budaya yang menjadi penunjangnya, usul Max Weber. Dan salah satunya adalah agama. Kemudian dilanjutkan oleh Rostow dan Hozelits yang mengusulkan perlunya lembaga-lembaga yang memungkinkan semua itu dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Dan itu adalah birokrasi, teknokrasi dan tentara.
Inilah garis besar tatanan ekonomi liberal yang dikenal dengan sistem Bretton Woods dan penerimaan atas cara pengelolaan ekonomi oleh kalangan elit-elit penguasa yang kemudian dikenal dengan nama Marshall Plan. Kompilasi atas teori-teori itu kemudian dikenal sebagai teori modernisasi. Di Indonesia, kita mengenalnya sebagai pembangunan.
Ya……sebuah ramuan lama dalam botol baru.
Dalam beleidnya, World Bank dimaksudkan untuk mengatasi kepincangan neraca pembayaran perdagangan internasional, terutama kelak sesudah perang selesai (setelah diyakini Sekutu akan menang). Tetapi secara tidak langsung, namun ini justru menjadi inti perkara: untuk konsultasi sistem liberalisme yang menjadi jiwa sistem mereka. Atau dengan kata lain, dan dari kacamata bekas negara-negara jajahan, untuk memperkokoh kembali struktur-struktur kolonialisme berpola menyetor bahan-bahan mentah (yang juga harus murah) dan menjual barang jadi (yang harus mahal), secara lebih intensif dan efisien dengan cara lain, mengingat dan kendali koloni-koloni itu politis resmi sudah merdeka.
Adapun IMF bertugas mendesak ditumbuhkannya keleluasaan maksimal untuk arus-arus barang-barang komoditi. Dan, Bank Dunia bertugas mempromosikan keleluasaan maksimal dalam arus internasional dari investasi modal.
Betul, IMF secara de yure hanya promotor, perantara dan penasihat bila menghadapi suatu pemerintah di suatu negara. Akan tetapi, praktis, segala penerimaan dan penolakan nasihat-nasihatnya adalah otomatis lampu hijau atau lampu merah yang menentukan suatu pemerintahan didukung atau dilawan. Sebab, liberalization is the prince of aid.
Januari 1948, pemerintahan Republik Indonesia, dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifuddin, menandatangani Perjanjian Renville. Perjanjian ini ditandatangani di atas kapal Amerika Serikat. USS Renville.
Fasilitasi oleh Amerika Serikat itu bukan bantuan gratis tentu saja. Peminjaman USS Renville untuk penandatanganan perjanjian itu juga dimaksudkan untuk memastikan keselamatan pasokan bahan mentah dari Indonesia ke negeri Paman Sam itu.
Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 persen dari karet Indonesia, 65 persen perkebunan kopi, 95 persen perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang difasilitasi AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran unit-unit rakyat bersenjata untuk kemudian disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia.
Desember 1948, Belanda menjalankan serangan militer. Tetapi perlawanan rakyat yang meluas memaksa Belanda menyerah dalam waktu enam bulan. Dan, konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Belanda itu diselenggarakan.
Inti perjanjian itu, Pemerintah Indonesia setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan di balik aling-aling pemerintahan parlemen di republik yang baru.
Tahun 1953, presiden AS Eisenhower, dihadapan konperensi gubernur negara-negara bagian mengatakan bahwa, pembiayaan oleh AS untuk perang kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.
Eisenhower menerangkan: "Sekarang marilah kita anggap kita kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan Tungsten yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India akan terkepung.”
Karena itu, Pemerintah AS memutuskan menyumbang US$ 400 juta untuk membantu perang di Indoncina. Kata Eisenhower, "Kita bukannya menyuarakan program bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan, kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia Tenggara."
Sampai kemudian, tahun 1954, Perancis kalah dalam perang di Indocina. Pemerintah AS menjadi khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol mereka atas Indonesia. Maka, didatangkan pasukan-pasukan Amerika Serikat ke wilayah Vietnam, juga ditebarkan ranjau darat serta bom-bom kimia yang bukan saja membunuh ribuan manusia. Tetapi juga kerusakan ekosistem yang luar biasa dan bayi-bayi dari perempuan tak berdosa yang mengalami mutagenik begitu luar biasa.
Tahun 1956-1965, Pemerintah Amerika Serikat mulai serius ’menggarap’ pemuda Indonesia. Kelompok ini disiapkan sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California.
Universitas Berkeley sendiri merupakan salah satu universitas terkemuka di Amerika dan para mahasiswanya terkenal progresif dan mayoritas anti perang Vietnam. Tetapi program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk di kemudian hari menjadi bagian dari hegemoni global Amerika. Disebut “Mafia”, mengambil idea dari organisasi kejahatan terorganisir di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisir menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Tahun 1965, sebelum kudeta 30 September, Richard Nixon, yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman saturasi guna melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelah itu, 1967, Nixon menyatakan bahwa, “Indonesia merupakan hadiah terbesar Asia Tenggara.”
Tahun 1971, Charlie Illingworth menuturkan pesan Nixon seperti ditulis John Perkins dalam Confessions of An Economic Hit Man yang populer itu. ”Presiden AS, Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China,“ kata bos Perkins itu, suatu kali di Bandung.
Aku tercenung…….entah murung, entah merenung, atau mungkin bingung…….
5 Juni 2006. Koalisi Anti Utang menyelenggarakan sebuah diskusi di Jakarta. Diskusi ini mengusung thema menarik. “Mafia Berkeley: Kegagalan Indonesia Menjadi Negara Besar di Asia.”
Ya....mereka membedah sebuah jaringan yang perannya begitu signifikan dalam perjalanan ekonomi, politik, sosial dan juga budaya Indonesia. Terutama sejak Pemerintahan Orde Baru menggantikan Orde Lama dan masih terus berlangsung hingga sekarang. Jaringan itu dikenal dengan nama Mafia Berkeley.
Dari cara kerja mereka, para pembicara menyebut bahwa, anggota Mafia Berkeley adalah pengabdi kekuasaan. Tak ada etis apapun, selain kekuasaan. Dalam banyak kasus, mereka juga menjadi public relations di berbagai forum dan media untuk memperlunak dan mempermanis image pemerintahan otoriter dan represif.
Efektifitas media relations itu terutama dilakukan dengan memberikan akses khusus, dalam bentuk bocoran informasi dan dokumen konfidential kepada satu media harian dan satu mingguan berita terkemuka. Kedua media tersebut memiliki pandangan yang sangat liberal dalam bidang politik dan sosial, tetapi sangat konservatif dalam bidang ekonomi.
Pola rekruitmen Mafia Berkeley dilakukan dengan prinsip utama loyalitas dan feodalisme, di atas kriteria profesionalisme. Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberikan kesempatan akademis di Amerika Serikat sehingga terjadi sikronisasi dan kesamaan cara berfikir.
Banyak di antara mereka kemudian diberikan kesempatan untuk menduduki berbagai posisi strategis. Di samping itu para kader diberikan berbagai bonus dalam bentuk perjalanan ke luar negeri, keanggotaan di berbagai komite dengan kompensasi finansial. Dengan struktur dan skala pendapatan yang berkali lipat lebih tinggi dari pegawai negeri dan ABRI, kader Mafia Berkeley merasa dirinya sangat elitis sehingga tidak memiliki emphati terhadap nasib pegawai-negeri, ABRI, dan rakyat.
Sumber pembiayaan utama dari lembaga-lembaga yang dikontrol mafia ini berasal dari bantuan dan grants dari IMF, Bank Dunia, USAID dan lembaga-lembaga kreditor internasional lainnya sehingga tidak aneh bila hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia, policy papers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Jika ada kebijakan Presiden atau menteri, yang bukan anggota Mafia Berkeley, dan menyimpang dari arahan Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia, USAID, anggota-anggota Mafia dengan cepat melaporkan kepada perwakilan IMF–Bank Dunia, USAID untuk dikritik di laporan-laporan resmi lembaga-lembaga kreditor. Kritik-kritik tersebut kemudian dipublikasikan di media-media kolaborator di dalam negeri.
Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dengan arahan IMF–Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman hutang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan global sehingga berbagai potensi Indonesia untuk menjadi negara besar di Asia tidak akan pernah terealisasikan. Mekanisme mengaitkan hutang luar negeri dengan covenants berupa penyusunan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, serta institusi-institusi baru yang makin super dan kompleks, juga memungkinkan adanya intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.
Adakah ini yang menyebabkan lingkar keterjebakan Indonesia kita?
Adakah karena itu pula, upaya bangsa ini dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan rasa-rasanya begitu sulit dan bahkan semakin jauh dari jangkauan?
Aku tidak tahu. Tetapi begitulah kenyataannya.......
Malam terus melarut.......hening....sepi....mengantar ingatanku singgah pada deretan waktu....
Sebuah layar bioskop seperti membentang di hadapan. Sebuah film disuguhkan.
”Need Full Things”, begitu judulnya.
......ketika laku setan dalam tubuh manusia mendatangi perkampungan. Di kampung yang damai itu, ia membuat berbagai macam jebakan. Tidak saja banyak jumlahnya. Tetapi juga disusun bertingkat. Saling kait dalam rumit. Complicated and multilevel traps, sehingga tidak satu pun penduduk kampung itu dapat terbebas dari jebakan sang setan.
Aku tercekat. Betapa cermat jebakan itu dibangun. Sebuah strategi penguasaan yang mengandalkan rasionalitas cerdas, seperti kerap dijumpai dalam dunia bisnis yang sarat persaingan atau perang moderen dewasa ini. Begitu tertata tertib jebakan demi jebakan itu dipasang. Sehingga manusia yang ada di dalam permainan itu tidak lagi merasakan bahwa yang ia dapati adalah jebakan. Para pemain justru merasa mengejar sesuatu yang ideal. Kerap, jebakan yang didapat justru dianggap sebagai solusi. Bahkan rakhmat Tuhan.
Tapi ternyata, satu solusi yang didapat, pada kenyataannya justru melahirkan dua permasalahan baru. Seperti deret ukur. Satu menjadi dua. Dua menjadi empat. Empat menjadi delapan, dan seterusnya. Sekali lagi, si penyusun strategi telah merancang sedemikian rupa cantiknya, sehingga para pemain tidak mudah sadar. Sampai kemudian, para pemain itu mendapati bahwa dirinya telah terjebak dalam sebuah lingkaran yang mungkin sudah tidak bisa lagi dilerai.
Plot film ini memang hampir serupa dengan The Devil’s Advocate yang terkenal itu.
Tapi.....Ah....kenapa begitu mirip dengan situasi Indonesia kita?
Ya....ketika situasi keterjebakan itu sudah terjadi, juga mantap dan melembaga dalam struktur sistem kepemerintahan suatu negari, maka hampir semua pilihan yang harus diambil untuk mengatasi suatu persoalan akan menempatkan kita seperti ”memakan buah simalakama.”
Atau.....
Aku merasa keadaan justru lebih parah dari itu. Dan mungkin lebih tepat bila disebut sebagai The Devil’s Alternative, seperti judul buku Frederick Forsyth. Ya...sebab apapun pilihannya, semuanya akan memakan korban. Ratusan, ribuan dan bahkan jutaan jiwa. Tanpa kuasa kita menghindarinya.
Aku tercenung…….entah murung, entah merenung, atau mungkin bingung…….
Sebab faktanya. Nyaris tidak ada kasus sejenis di dunia, di mana satu kelompok ekonom eksklusif berkuasa selama hampir 40 tahun nyaris tiada henti. Dari 1966-2006. Mereka menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi suatu negara.
Dan, negara itu bernama Indonesia.
Ya.....Indonesia telah mengalami pergantian presiden 5 kali sejak tahun 1966. Juga berulang kali melakukan perubahan sistem dan struktur politik. Pergantian pemimpin sipil maupun militer. Reformasi tentara dan sebagainya. Tetapi, pelaku perumus kebijakan ekonominya, nyaris tidak berubah selama 40 tahun. Tidak aneh tidak ada terobosan inovatif dalam strategi dan kebijakan ekonomi sehingga Indonesia semakin ketinggalan dibandingkan negara-negara besar lainnya di Asia.
Lalu, adakah pemerintahan kita yang telah dihasilkan dari pilihan rakyat secara langsung akan bertekuk-lutut di hadapan kekuatan serupa ini?
Aku tahu. Ini tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin.
Kita tahu pengalaman waktu Presiden BJ Habibie maupun Abdurrakhman Wahid tempo hari. Betapa segala penolakan dan penerimaan nasihat-nasihat IMF menjadi lampu merah dan lampu hijau yang menentukan suatu negara dilawan atau didukung?
Tapi, Malaysia di tangan Dr. Mahatir Mohammad terbukti bisa. Bahkan jauh memberikan maslahat yang lebih sempurna ketimbang kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis 1998 itu.
Sebab, seperti juga ditulis Cheryl Payer, kesediaan yang selalu dituntut IMF kepada negara-negara yang meminta bantuan ialah program stabilisasi. Hanya untuk apa?
”Liberalization of exchange and import control is the heart of each IMF stabilization programme,“ tulis Cheryl Payer dalam bukunya The Debt Trap. Stabil untuk siapa?
Ya...siapa lagi kalau bukan World Bank dan IMF yang menanamkan modal asing dalam negeri itu, agar arus import-export dapat diselenggarakan secara bebas maksimal.
Dalam buku The Debt Trap yang kini terasa sudah begitu klasik (terbit di pertengahan 70-an), dari sejak awal hingga akhir kita seperti ditunjukkan betapa bangsa-bangsa miskin berusaha keras untuk meraih kontrol sekadarnya atas ekonomi-ekonomi mereka, dan bagaimana peranan IMF yang justru meremuk (frustrating) usaha-usaha itu....selaku penghalang perkembangan bangsa yang otonom.
Sebagai ilustrasi, Cheryl Payer menguraikan penyelidikannya atas sejumlah kasus yang cukup tipikal. Mulai dari masalah impor-ekspor di Filipina, lika-liku panas perang Vietnam, kasus Yugoslavia selaku sistem sosialis yang terkena jaring-jaring IMF, penghancuran demokrasi di Brazil dan Korea Utara. Juga, satu bab penuh tentang kasus Indonesia dengan IMF, World Bank, IGGI dan sebagainya dalam judul, Indonesia: A“Success Story“ (dengan tanda petik), karena dalam bagian itu, Cheryl Payer berkesimpulan bahwa, Indonesia adalah sama sekali bukan kisah sukses.
Meski begitu, sebagian besar elit pemikir yang menjadi pengendali berbagai lembaga negara sejak masa awal Orde Baru justru terus saja berupaya keras untuk memastikan peran IMF/Bank Dunia dengan berbagai jejaringnya di negeri ini. Ya...jejaring pengendali di dalam negeri itu salah satunya adalah Mafia Berkeley ini. Dan jejaring ini telah membengkak dan berbiak selama 40 tahun, sehingga.........
Ya.....Aku tahu. Ini tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin.
Dan harapku. Ada baiknya kita mengingat kembali tekat para pendiri republik Indonesia ini. Bahwa, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Juga harapku, ada tekat untuk mandiri, dengan keluar dari segala bentuk penjajahan, juga berbagai bentuk jebakan.
Ya....tantangan hari ini memang jauh lebih majemuk ketimbang di masa lalu. Tetapi, seperti juga para pendiri republik ini yang dalam segenap keterbatasan, toh bisa mengatasi permasalahan, tantangan dan ancaman pada jamannya. Dan mewariskan kepada kita sebuah negara merdeka. Betapapun centang-perentangnya.
Meski tentu. Kita juga jangan pernah lupa. Bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu adalah, Berkat Rakhmat Allah Subhana Wa Ta’ala, juga.
Ya......semoga saja bisa segera.**


(2) INIKAH BABAD INDONESIA RAYA?
Tuhan Maha memahami bahasa setiap makhluk-Nya dan tidak meminta orang hutan belantara pedalaman menggunakan bahasa orang pesisir, karena sepatah kata bisa menentukan apakah sebilah pedang disarungkan atau ditancapkan.
MALAM telah cukup larut, di atas batu datar itu, di Lipuro, Panembahan Senopati lelap tertidur. Letih. Ia ingin bebas. Lepas dari kekuasaan Pajang. Begitu ditulis dalam Babad Tanah Djawi. Tak lama kemudian, ia dibangunkan Ki Mondoroko Juru Martani. Penasehat spiritualnya. Dan, ketika itu pula, sebuah bintang turun di dekat kepalanya.
Dan, terjadilah dialog itu. Si bintang berucap, keinginan Senopati akan diluluskan Hyang Maha Kuasa..........
Seting sejarah dimulai. Sebuah transformasi politik diawali. Dari gaya kepemimpinan pesisiran yang berwatak lebih terbuka, egaliter dan demokratis, menuju atau menjadi kekuasaan pedalaman yang relatif lebih tertutup. Proses pemusatan kekuasaan pun dibuat memusat agar stabilitas negara tetap terjaga.
Di mata para penelaah, ketertutupan dan pemusatan inilah yang menjadi awal dan sekaligus sumber kegagalan kerajaan Jawa, Mataram. Namun kemudian, di-copy begitu saja setelah Indonesia merdeka. Ya....sentralisasi kekuasaan. Pada satu tangan yang kemudian menghadirkan beragam persoalan.
Sebab, sentralisasi kekuasaan itu, tidak pernah bisa membawa kemajuan kepada rakyat Jawa. Dan, dalam pidato budayanya, WS Rendra menyebutkan bahwa, ”dipandang dari segi kepentingan rakyat, raja-raja Mataram adalah raja-raja yang gagal. Tidak ada kharisma mereka, sehingga gagal menyatukan Jawa”.
Rendra, dalam pidatonya itu kemudian mengutip laporan Joonnes de Barros, dalam bukunya Decadas Da Asia, yang juga merupakan sebuah dokumen pertama Eropa yang menuliskan nama Jayakarta. ”Orang Jawa itu angkuh, berani, berbahaya dan pendendam. Kalau tersinggung perasaannya sedikit saja, terutama kalau disentuh kepala atau dahinya, terus mengamuk dan membalas dendam.”
Seorang Portugis lain, Diego de Couto, yang juga dikutip Rendra, melaporkan bahwa ia mengagumi kecakapan berlayar orang-orang Jawa. Begini kutipan itu:
“Bahasa Jawa selalu berkembang dan punya aksara sendiri. Namun, mereka begitu angkuh sehingga menganggap bangsa lain lebih rendah. Maka kalau orang Jawa lewat di jalan, dan melihat ada orang bangsa lain yang berdiri di onggokan tanah atau suatu tempat lain yang tinggi dari tanah tempat ia berjalan, dan apabila orang itu tidak segera turun dari tempat semacam itu, maka ia akan dibunuh oleh orang Jawa itu. Sebab ia tidak akan memperkenankan orang lain berdiri di tempat yang lebih tinggi. Juga orang Jawa tak akan mau menyunggi beban di atas kepalanya, biarpun ia diancam dengan ancaman maut. Mereka adalah pemberani dan penuh keyakinan diri dan hanya karena penghinaan kecil saja bisa melakukan amuk untuk balas dendam. Dan meskipun ia telah ditusuk-tusuk dengan tombak sampai tembus, mereka akan terus merangsek maju sehingga dekat kepada lawannya.”
Ah....mungkin terlalu berlebihan gambaran itu. Tapi, ada juga kebenarannya. Orang Jawa akan mudah marah bila disentuh kepala atau dahinya.
Mereka penuh harga diri dan pasti diri. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab Salokantara dan Jugul Muda. Keduanya adalah kitab undang-undang semasa Demak yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para Wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun.
Hanya kemudian, begitu muncul Panembahan Senopati, rasa hormat pada daulat hukum itu dilecehkan. Sultan bergelar Sayidin Panatagama, dan terus sampai kepada seluruh keturunannya ini begitu fanatik terhadap kekuasaan raja yang mutlak dan sentralisasi kekuasaan. Rakyat disebut kawula (abdi) dan bukan warganegara. Hidup rakyat tidak pasti. Inisiatif mereka mulai terbatas. Banyak larangan untuk ini dan itu. Rakyat tak bisa mengontrol atau memberi tanggapan kepada kekuasaan. Maka daya hidup rakyat merosot.
Yacob Couper, panglima tentara Belanda, menganggap daya tempur tentara Mataram sangat rendah. Sangat jauh dari deskripsi yang dilukiskan Joonnes de Barros ataupun Diego de Couto.
Ah..... mungkin sejarah memang tidak ada, karena yang nyata adalah kekuasaan.
Dan, Babad Tanah Djawi, baik bentuk maupun isinya memang ditentukan oleh kepentingan raja-raja Mataram. Termasuk plot dialog antara bintang –mewakili penguasa semesta alam—dengan Panembahan Senopati.
“Karena Babad, memang diberi fungsi sebagai alat legitimasi yang melembagakan definisi dari realitas,” begitu kata ahli sejarah Sartono Kartodirdjo.
Dengan demikian, ia berfungsi pula sebagai pengelola universum serta orde yang berkuasa. Dan, di tengah tradisi yang tertutup diselimuti kabut ini, persoalan kepemimpinan di dalam tradisi Jawa nampak disarati misteri. Hal itu masih terus berlangsung hingga kini. Konsep ‘raja’ adalah penyangga dan sekaligus penghubung mikrokosmos dan makrokosmos kehidupan manusia dan alam semesta terus diberlangsungkan hingga kini.
Walau, menarik juga mengutip pemikiran A.Teeuw. Menurutnya, babad bukanlah sekadar cerita sejarah, tetapi juga sebagai karya sastra. Dalam babad sebagai karya sastra, genealogi, silsilah, raja-raja barangkali bisa dipandang sebagai plot cerita. Dengan kata lain, genealogi menentukan urutan peristiwa yang diceritakan. “Sebagian besar unsur-unsur cerita tidak saling berhubungan satu sama lain, tetapi unsur-unsur itu bertaut konsistensi dan relevansinya pada plot utama, yakni genealoginya,” begitu A.Teeuw dalam Genealogical Narrative Texts as an Indonesian Literary Genre.
Dan, si bintang, dalam Babad Tanah Djawi itu kemudian meneruskan ’titahnya’.....
Ia (Panembahan Senopati) akan memerintah Mataram, demikian pula putra dan cucunya. Tetapi, buyutnya akan menjadi raja terakhir dan Mataram kerajaannya akan ditimpa bencana.
Buyut itu tidak lain adalah Amangkurat I, putra Sultan Agung, cucu Seda ing Krapyak dan tentu saja buyut Senopati. Ia terpaksa meninggalkan Mataram, akibat pemberontakan Trunojoyo. Setelah peristiwa itu, kraton dipindahkan oleh Amangkurat II ke Wonokerto, yang kemudian diubah namanya menjadi Kartosuro.
”Kala semanten sang nata sabarang karsanipun ewah kalijan adatipun, asring misesa tijang, tansah nggelaraken sijasat. Para boepati, mantri toewin para sentana sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung resah tataning nagari. Tijang samatawis sami miris manahipoen, serta asring grahana woelan toewin srengenge; djawah salah mangsa, lintang koemoekoes ing saben daloe ketingal. Djawah awoe oetawi lindoe. Akatah delajat ingkang ketingal. Poenika pratandanipoen, jen negari bade risak.”
“Ketika itu, raja bertindak sekehendak hatinya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindakan kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalahgunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhana bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.”
Ya.....meski sempat dua kali Sultan Agung menyerang VOC, tetapi raja kedua Mataram ini tidak mampu menjamah Batavia. Dilemahkannya wibawa dan daulat rakyat oleh para raja Mataram menjadikan daulat raja semakin meluruh. Dan, pada masa Amangkurat I, kerajaan sudah mulai compang-camping. Rakyat semakin menderita. Baik oleh kelakuan raja maupun oleh letusan Gunung Merapi serta juga tertimpa kelaparan selama 1674-1676, begitu ditulis de Graaf.
28 Juni 1677, Kraton Mataram di Plered jatuh. Rakyat yang menderita kelaparan, serbuan tentara Trunojoyo, serangan pihak Makasar, intervensi bala tentara VOC dan pecahnya kekerabatan kraton menjadi komponen penyebabnya. Dan akhirnya, Amangkurat I pergi ke Tegal, meminta perlindungan kepada VOC. Belum sampai Tegal ia sudah sekarat. Di Tegal Wangi, pada 10 Juli 1677, Amangkurat I mangkat. Konon, dalam keadaan sekarat, ia diracun anaknya yang kemudian menggantikannya dan bergelar Amangkurat II.
Gubernur Jenderal VOC, Cornelius Speelman, menyebut Amangkurat II ini sebagai "anak emas kompeni". Raja ini menyebut Gubernur "Eyang" dan menyebut komandan militer lokal Belanda dengan sebutan "Romo". Dan, di tangan Amangkurat II inilah, hutan-hutan dan wilayah Semarang hingga Surabaya digadaikan kepada VOC.
Dan, si bintang, dalam Babad Tanah Djawi itu kemudian meneruskan ’titahnya’..... dalam ’Babad Indonesia Raya’, diakhir milenium II dan diawal milenum III ........
Babad ini sedang disusun sendiri oleh perjalanan sejarah.... yang sekali lagi seperti pemikiran A.Teeuw, . “Unsur-unsur cerita sebagian besar tidak saling berhubungan satu sama lain, tetapi unsur-unsur itu bertaut konsistensi dan relevansinya pada plot utama, yakni genealoginya,”
Juga seperti kata ahli sejarah Sartono Kartodirdjo: “Karena Babad, memang diberi fungsi sebagai alat legitimasi yang melembagakan definisi dari realitas”.....
Si bintangpun mengingatkan aku tentang drama pergulatan kita beberapa waktu lalu dengan ExxonMobil menyangkut sumber minyak dan gas di Blok Cepu yang begitu seru. Juga tentang Freeport McMoran dan berbagai sumber-sumber tambang yang mengisi perut bumi Indonesia. Apa yang terjadi dengan semua itu?
Dari waktu ke waktu. Dari kontrak karya ke kontrak karya lainnya......plot cerita dan deritanya hampir sama.
11 Agustus 2004, Widya Purnama diangkat menjadi Dirut Pertamina, menggantikan Ariffin Nawawi. Lima belas hari kemudian, 26 Agustus 2004, kerjasama ExxonMobil dan Pertamina di Blok Cepu dihentikan. Alasannya, ExxonMobil tidak beritikad baik.
Presiden AS, George W. Bush meradang. Dan Bush, konon mengagendakan hal itu pada saat berbicara dengan Presiden RI. Saat keduanya berjumpa di pertemuan APEC, di Cili November 2004.
Entahlah apa isi pembicaraan itu,
Bagi Bush, kehadiran ExxonMobil di Blok Cepu adalah sebuah keharusan. Dan, Bush merasa perlu ‘menekan’. Sebab, ExxonMobil kabarnya menyumbang US$ 2,8 juta kepada Bush dalam pemilu presiden 2004. Angka ini belum terhitung sumbangan-sumbangan lain terhadap orang-orang di sekitar Bush.
29 Maret 2005, Pulang dari Cile, pemerintah langsung berbenah. Meneg BUMN membentuk tim perunding dengan ExxonMobil. Tim itu diketuai Martiono Hadianto, yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Anggota tim 10 orang, terdiri dari Martiono, Roes Aryawijaya, Lin Che Wei, Muhammad Abduh, Umar Said, Mustiko Saleh, Iin Arifin Takhyan, Achmad Rochjadi, M. Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng.

Dalam daftar itu tidak tampak nama Widya Purnama. Direksi Pertamina hanya diwakili Mustiko Saleh, Wakil Direktur Utama Pertamina. Sedangkan semua anggota komisaris Pertamina ada di sana. Lin Che Wei adalah tenaga ahli Meneg BUMN, Sugiharto yang menjabat sebagai sekretaris dalam tim tersebut. Sedangkan M. Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng konon adalah orang dekatnya Aburizal Bakrie yang kala itu masih menjadi Menko Perekonomian.

Perebutan soal siapa pengelola Cepu ini memang sudah cukup lama. Sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid, Exxon sudah berulangkali melobi pemerintah agar bisa lolos. Begitu juga ketika Presiden Megawati. Tapi belum juga ada keputusan bulat. Kwik Kian Gie, konon merupakan menteri yang paling getol menolak Exxon.
Tarik ulur pengelolaan Cepu kembali marak setelah pertemuan di forum APEC itu. Pertamina dan Exxon masing-masing ngotot agar bisa menjadi pengelola. Keduanya merasa mampu mengelola lapangan minyak dan gas tersebut. Pertamina didukung oleh sebagian tokoh-tokoh kritis yang peduli terhadap nasib bangsa: Bangsa Indonesia. Exxon juga didukung mereka yang peduli nasib bangsa: Bangsa Amerika.
Lebih dari enam bulan, perang wacana dan perang data diluncurkan. Pemerintah mendapat tekanan dari tokoh-tokoh kritis dan anggota DPR agar Pertamina lolos. Pemerintah juga mendapat tekanan dari Amerika agar Exxon lolos. Entahlah apa alasannya. Hasil akhirnya, tekanan Amerika lebih dipertimbangkan: mereka (di)menang(kan).
Ahaa…..sebesar apa toh pepesan yang diperebutkan itu?
Menurut hasil kajian Humpuss Patragas (pemilik pertama blok ini), cadangan minyak yang bisa dieksploitasi mencapai 2,6 miliar barrel, dengan total produksi nantinya 170 ribu barel per hari. Kelak miliaran dolar akan bisa diraih dari sumber minyak dan gas ini.

Soal teknologi, Pertamina dengan pengalaman selama 48 tahun yakin betul mampu karena eksplorasi Blok Cepu ini memang relatif lebih mudah. ”It’s peanut”, begitu kata Widya Purnama ketika aku ketemu sendiri dengan dia. Soal pendanaan juga tidak terlampau susah.
Dengan cadangan yang luar biasa, bank mana yang tidak berminat membiayainya?

Namun, tarik-menarik berbagai kepentingan begitu kuat terasa. Pemerintah Amerika berkali-kali menekan agar Exxon dimenangkan, bahkan Presiden Bush sesekali turun tangan. Pemerintah cq. Wapres mengatakan bahwa, operasional Cepu bukan masalah nasionalisme tetapi profesionalisme. Menneg BUMN memberi prasyarat untuk mengelola Cepu adalah modal, sistem logistik, kemampuan teknologi, dan pengalaman eksplorasi daerah lain. Dan jika diperbandingkan antara Pertamina dan Exxon, maka pernyataan itu mengarah ke Exxon. Lalu, penegasan Presiden bahwa Pertamina akan di-overhaul menyiratkan bahwa Pertamina perlu berbenah diri dulu. Tergusurnya Widya Purnama dari dirut Pertamina, menjadi penutup cerita. Sebab, selama ini dialah yang paling ngotot agar Pertamina yang mengelola lapangan Cepu.
Dan............. Tuhan Maha memahami bahasa setiap makhluk-Nya dan tidak meminta orang hutan belantara pedalaman menggunakan bahasa pesisir, karena sepatah kata bisa menentukan apakah sebilah pedang disarungkan atau ditancapkan.

Namun, kata akhir dari semua itu ada di tangan Presiden…………

Prinsipnya hanya satu, konstitusi Negara Republik Indonesia ini dengan tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Senin, 13 Maret 2006. Pengelolaan tambang minyak Blok Cepu yang ramai dibicarakan masyarakat akhirnya berhenti dengan disepakatinya kerjasama Pertamina-Exxon tentang oganisasi pengelolaan bersama. Dalam Joint Operation Agreement (JOA) yang struktur organisasinya tertuang dalam Cepu Organization Agreement, Exxon resmi menjadi 'komandan' dalam pengelolaan ladang minyak dan gas di Cepu. Dan
Pertamina, sebagai pihak yang memiliki lapangan tersebut, cukup dijadikan wakil saja.

Rabu, 15 Mar 2006, Menlu AS Condoleeza Rice berkunjung ke Indonesia.

Dan, karpet merah kinyis-kinyis digelar……..
“Welcome, Condy”, begitu sapa ramah para pemimpin negeri …..
Dan, dengan segera pula Condoleeza Rice menjawab, “Well done, sir.”.
Ah....tapi …. inikah Babad Indonesia Raya?
Kantukku hebat berkecamuk. Hari sudah jelang subuh. Petang akan segera berganti pagi. Tapi si bintang, sebelum pamit ke asalnya, membawa ingatanku ke pertengahan tahun 1700-an. Kepada sepotong surat perjanjian, dari seorang Gusti Kanjeng Paku Buwono II, salah seorang cucu Amangkurat II kepada penjajah Belanda.
Kala itu, 11 Desember 1749, kepada Kompeni Belanda, Gusti Kanjeng Paku Buwono II menuliskan suratnya. Sebuah surat perjanjian, yang kemudian ternyata berulang kali ditiru para kanjeng susuhanan lainnya di generasi-generasi berikutnya. Begini bunyi surat itu:
"Inilah surat perkara melepaskan serta menyerahkan terhadap keraton Mataram, dari kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Panatagama, ialah dikarenakan oleh perintah Kanjeng Kumpeni yang agung itu, keratuan ini diserahkan kepada Kanjeng Tuwan Gupernur serta direktur di tanah Jawa Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf.
Hamba,
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama."
Ok…….Well done, tuan raja……..
Lalu akupun tertidur. Nyenyak betul tidurku. Senyenyak tidurnya Kumbakarno di Panglebur Gongso, karena tidak tega melihat kekejaman kakaknya. Rahwana**

Jumat, 09 April 2010

WARAS


MINGGU lalu, saya menonton di sebuah film dokumenter tentang Mordechai Vanunu, orang Israel yang membocorkan rahasia proyek senjata nuklir di Reaktor Dimona milik Israel. Pertama, saya merasa biasa-biasa saja. Saya tahu bahwa reaktor nuklir itu dibangun Israel atas bantuan AS dan Perancis; bahwa usia reaktor yang sudah hampir 30 tahun itu, sudah tidak layak beroperasi dan setiap saat bisa memuntahkan radiasi di area yang sangat luas; bahwa minimalnya, pada saat 1986, reaktor itu sudah memproduksi 200 hulu ledak nuklir, entah berapa persediaan mereka saat ini, bla…bla..bla…
Namun, film itu menjadi menarik ketika Vanunu menceritakan pengalaman batinnya. Dia mulai bekerja di reaktor nuklir Dimona sejak tahun 1976. Ketika ia mengetahui bahwa reaktor itu memproduksi senjata nuklir, batinnya mulai memberontak. Secara diam-diam, ia mengambil 57 foto (dan ini merupakan satu-satunya rangkaian foto bagian dalam reaktor Dimona yang sampai ke dunia luar hingga kini). Dia lalu memutuskan berhenti dari tempat kerjanya tersebut, dan hijrah ke Australia, sambil membawa rol film rahasia itu.
Di benua Kangguru itu, ia masuk Kristen dan bekerja sebagai sopir taksi. Dia pun kembali bergulat dengan batinnya sendiri. Bila ia membocorkan rahasia ini, nyawanya menjadi taruhan. Namun bila dia diam saja, nyawa seluruh umat manusia di dunia berada dalam ancaman. Akhirnya, Vanunu mengambil pilihan pertama: ia menyerahkan foto-foto itu kepada wartawan Sunday Times, sebuah surat kabar yang berpusat di London. Vanunu pun dipanggil ke London untuk dikonfirmasi dengan para pakar nuklir Inggris untuk membuktikan kebenaran laporannya.
Sunday Times bahkan juga mengirimkan pakar ke Israel, untuk mengecek identitas Vanunu dan reaktor Dimona. Namun inilah kesalahan besar Sunday Times, dan inilah awal dari malapetaka yang menimpa Vanunu. Mossad, Dinas Rahasia Israel, mencium jejaknya dan mengirimkan seorang agen cantik. Pada saat itu, kondisi psikologis Vanunu sangat down. Ia benar-benar ketakutan. Ia merasa dikhianati oleh Sunday Times yang tidak kunjung menerbitkan berita mengenai senjata nuklir Israel. Ia merasa sendirian. Si cantik agen Mossad itu datang menawarkan cinta dan Vanunu pun terpikat. Ia mau saja diajak ke Roma untuk berlibur. Di sana, Vanunu ditangkap dan diselundupkan dengan kapal ke Israel.
Pada tanggal 5 Oktober 1986, Sunday Times memasang sebuah headline: "Revealed: The Secrets of Israel's Nuclear Arsenal." Dunia pun gempar. Namun, di mana Vanunu? Dia saat itu berada di sebuah sel sempit, dengan lampu super terang yang bersinar 24 jam, yang membuatnya tidak bisa tidur. Dia dilarang bicara dengan siapapun. Dia tidak tahu hari, jam, detik. Dia tidak mendengar apapun, tidak melihat apapun. Dua setengah tahun ia menjalani kehidupan seperti ini. Mentalnya jatuh, jiwanya terkoyak. Namun ia bertahan.
Setelah melewati dua setengah tahun penyiksaan itu, dia menjalani pengadilan. Dia sama sekali tidak berhak berbicara satu patah katapun. Dia berkali-kali diberangus, ketika berusaha meneriakkan suatu kalimat. Vonis pun jatuh. Dia harus menjalani kehidupan penjara hingga tahun 2004. Selama 18 tahun masa penjara, 11 setengah tahun di antaranya, dilaluinya dalam sel isolasi. Sendiri. Namun ia bertahan.
Saya terus menatap layar televisi. Saya lihat rekaman ketika Vanunu dibebaskan tanggal 21 April 2004. Rambutnya memutih. Wajahnya yang dulu tampan, nampak mulai keriput. Saya perhatikan matanya yang memancarkan ketegaran, meski terkadang memancarkan kepahitan tak terkira ketika menceritakan pengalamannya di sel isolasi.
Saya bertanya-tanya, kekuatan apa yang membuatnya bisa bertahan menghadapi siksaan psikis selama 18 tahun itu? Kekuatan apa yang membuatnya tetap menjadi manusia waras dan bahkan langsung melanggar peraturan ketika ia dikeluarkan dari penjara: ia langsung melakukan wawancara dengan wartawan asing. Bila dia seorang muslim, akan mudah dicari jawabannya, mungkin keimanan pada Allah, mungkin jihad, mungkin…entahlah.
Di akhir film, baru saya tahu jawabannya: “Saya tidak mau mereka (Israel) merenggut kebebasan saya. Saya adalah manusia bebas dan tidak ada siapapun yang bisa mengambil kebebasan itu dari diri saya.” **IBA