Jumat, 09 April 2010

TAPAL BATAS


BATAS memang hanya ada bagi para pelintas. Lalu, dengan berguru pada orang-orang seperti Hume, Nietzsche, Marx, atau Freud, pelan-pelan kita mengerti bahwa sejarah juga bukan hanya gerak rasio, melainkan basic instinct: derap fantasi, hasrat, serta kepentingan. Batas adalah pagar untuk dilompati dan kepentingan adalah basic instinct yang memburu realisasi.
Namun kemudian kita tahu, agenda melampaui batas-batas tak akan pernah tercapai sepenuhnya, lantaran ‘batas’ adalah istilah bagi tubuh kita yang tak mampu menghapus lokalitas. Kita lahir, dibesarkan, dan mati pada suatu titik waktu-ruang tertentu, bukan di alam maya. Bukan seperti yang ditawarkan paham globalisasi yang menjadi etalase kapitalisme-neoliberalisme dewasa ini.
Memang harus diakui, keunggulan dan kemenangan kapitalisme begitu mengesankan. Lebih dari dua abad setelah terbitnya buku ”The Wealth of Nation” karya mahaguru kapitalisme Adam Smith, sistem ekonomi kapitalistik berhasil mengalahkan semua pesaingnya. Pada akhir Perang Dunia II, hanya dua kawasan bumi yang tidak komunis, otoriter, merkantilistik atau sosialis, yakni Amerika Utara dan Swis. Kini, selain kita menyaksikan negara-negara komunis rontok satu demi satu, hampir tak ada satupun negara di dunia yang saat ini bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad 21. Pendekatan lain dianggap telah menemui jalan buntu dan akhir sejarahnya (the end of history) dan yang mengemuka kemudian adalah jargon Margareth Thacher, yang terkenal dengan inisial TINA (There Is No Alternative). Maksudnya, hanya melalui cara kapitalisme dan pasar sajalah kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dapat dicapai.
Akibatnya, kapitalisme yang mengedepankan demokrasi liberal, hak azasi manusia, dan ekonomi pasar bebas, kini bukan saja telah merasuki hampir seluruh pendekatan pembangunan, melainkan pula ditengarai telah menjadi pandangan hidup universal seluruh bangsa manusia. Sebagai contoh, ketika krisis ekonomi melanda berbagai negeri, termasuk Indonesia, hampir semua strategi pemulihan ekonomi berpijak pada paradigma kapitalisme. Banyak negara mengikuti resep-resep IMF dan Bank Dunia, dua lembaga internasional dan simbol hegemoni kapitalisme global. Liberalisasi kebijakan perdagangan, pembukaan pasar modal bagi investor asing, rekapitalisasi industri besar, dan pengurangan campur tangan negara dalam pembangunan ekonomi, dipercayai sebagai obat mujarab bagi pemulihan ekonomi. Keyakinan ini semakin disulut oleh gagasan Milton Friedman dan Fukuyama; bahwa kalau pembangunan ekonomi ingin maju, maka peran negara harus diminimalisir dan kekuasaan bisnis harus diutamakan.
Selain itu, karena pembangunan kesejahteraan sosial kerap dipandang hanya sebagai beban pertumbuhan ekonomi dan simbol intervensi negara, maka berkembanglah suatu keyakinan nihilistis bahwa institusi-institusi kesejahteraan sosial secara intrinsik bersifat tidak ekonomis dan bahkan patologis, di manapun dan dalam kondisi apapun.
Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat, apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab berbagai permasalahan nasional maupun global?
Sebab sejarah juga menunjukkan bahwa, kapitalisme bukanlah piranti paripurna yang tanpa masalah. Selain gagasan itu sering menyesatkan, terdapat banyak agenda pembangunan yang tidak mengalir jernih dalam arus sungai kapitalisme. Masalah seperti perusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi moral lainnya ditengarai sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi kapitalistik. Dan terakhir, krisis finansial global yang menghantam ke segenap penjuru, tak lain adalah anak kandung dari kapitalisme global itu sendiri.
Menurut kaum utopiawan revolusioner, seperti Horkheimer, Marcuse, Adorno, dan Roszak, masa buruk itu akan menggantikan masa baik apabila skenario pembangunan gaya kapitalisme neoliberal dibiarkan, dimana wajah pembangunan akan diformat dan dikuasai oleh elit teknokrat dan elit konglomerat yang berkolaborasi mereduksi pembangunan yang tahap demi tahap diarahkan menuju teknokrasi totaliter dan “work-fare state”, bukan “welfare state” yang mematikan kesejatian manusia, kebebasan, kebahagiaan, keselarasan, keharmonisan dan yang mengasingkan manusia dari semesta dan sesamanya.
Dari sana kita pun tergoda untuk membaca kembali Ranggawarsita dalam Kalatida. Membaca nada-nada protes seorang pujangga pada rajanya
........derajat kerajaan telah penyap, aturan kacau, zaman seperti gila.......
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunya-ruri,
rurah pangrehing ukara,
karana tanpa palupi.....
Saya tidak tahu apakah Ranggawarsita juga membaca karya Adam Smith yang cukup fenomenal, The Theory of Moral Sentiments dan atau The Wealth of Nation. Tapi dalam Kalatida nampak jelas, pujangga Jawa ini tidak tengah mengecam pemerintahan. Sebab ia kemudian menyebutkan betapa tingginya kemuliaan sang raja, juga para pembantunya..........
Ratune ratu utama,
patihe patih linuwih,
pra nayaka tyas raharja,
panakare becik-becik.......
Ranggawarsita memang tidak melihat sejarah sebagai garis lurus yang terdiri dari titik-titik kemajuan. Sejarah menjadi semacam siklus. Riwayat berputar seperti roda pedati. Bagi Ranggawarsita, kesulitan zaman yang dilukiskannya bukanlah kesalahan penguasa. Tapi persoalan siklus. Masa baik datang, kemudian masa buruk menggantikan. Bila itu terjadi, bagaimana pun baiknya seseorang, malapetaka tak akan terelakkan.
Dia mengeluh, tapi juga tak berbuat. Dia menunggu, tapi juga tahu ia akan sia-sia. Maka yang perlu adalah menyelamatkan batin. “Betapapun beruntungnya mereka yang lupa—akan nilai-nilai”, demikian kata-katanya yang mashur, “masih beruntung mereka yang tetap ingat serta waspada.” Ada tapal batas yang secara wajar disadari, diyakini dan dijalani.**

0 komentar: