Sabtu, 10 April 2010

CHANGE, WE CAN BELIEVE IN


AKHIRNYA, di tengah komunitas yang pernah menjadi budak-budak bagi tuan kulit putih itu punya keturunan yang kemudian menjadi presiden bagi kulit putih itu sendiri, mematahkan mainstream kepemimpinan puncak di AS yang didominasi warga berdemografis White, Anglo-Saxon, dan Protestant, yang berlaku sejak 1797 atau dari 43 presiden, yang juga belum memunculkan satu pun perempuan presiden. Lidah orang-orang pun seperti kelu, sementara ingatan lama menyeruak hingga 55 tahun silam, ketika Martin Luther King Jr menyampaikan pidatonya, I Have A Dream.
”Saya mempunyai satu impian bahwa suatu hari setiap lembah akan ditimbun, setiap bukit dan gunung akan diratakan, tempat-tempat yang kasar akan dihaluskan, dan jalan-jalan yang berkelok-kelok akan diluruskan, dan (akhirnya) kemuliaan Tuhan akan dinyatakan serta seluruh umat manusia bersama-sama melihatnya.”
Dan Obama, boleh jadi memang adalah politisi yang telah menemukan kembali politik dari jalannya selama ini. “Ini adalah revolusi besar seperti pemilihan Franklin D Roosevelt tahun 1932 dan John F Kennedy tahun 1960,” kata Paul Levinson, pakar politik dari Fordham University, New York, seperti dikutip kantor berita AFP.
Ibu Barry—begitu Obama dipanggil teman-temannya yang bersekolah di SD Negeri 04 Percobaan di Jalan Besuki, Jakarta Pusat—berasal dari Kansas, ayahnya orang Kenya, dari suku Luo yang lahir di Alego yang menikahi ibu Barry tahun 1959 di Honolulu saat miscegenation (pernikahan antarras) dilarang di banyak negara bagian Amerika Serikat. Bapak tirinya Lulu Soetoro. Waktu kecil Barry hidup sederhana di Jakarta, saat dewasa menjadi pengacara top lulusan Harvard.
Dari buku Dreams from My Father, (1996) Barry banyak bercerita tentang ayah kandungnya, jebolan University of Hawaii (UH) yang menjadi anggota Phi Beta Kappa—komunitas akademisi elitis yang susah diterobos masuk orang luar AS. Ayahnya adalah penerima beasiswa pertama asal Afrika di UH dan belajar ekonometri dengan menggaet peringkat terbaik di angkatannya. Barry Junior juga lulus dari Harvard Law School dan menjadi presiden kulit hitam pertama di Harvard Law Review—jurnal hukum berwibawa.
Dreams bercerita tentang perjalanan hidup dia yang biasa saja. Ia dari kecil hidup dengan ayah tiri, waktu remaja ditinggal ibu, dan sampai dewasa diasuh kakek-nenek. Ia pernah tinggal di Honolulu, Jakarta, New York City, Boston, Chicago, Springfield, kini Washington DC. Tanpa malu ia mengaku pernah dijerat ganja dan alkohol serta menjadi perokok berat selama bertahun-tahun.
Dreams menyajikan perjuangan Obama mengorganisasi ”mikropolitik” yang mudah diberdayakan ke skala lebih besar, mulai dari tingkat kota, regional, sampai nasional. Ia memulai awal karier politik di Chicago tahun 1983. Ia tinggalkan gaji besar di pasar saham Wall Street, New York, untuk menjadi community organizer alias politisi. Sebab baginya, ”perubahan bukan slogan kosong yang datang dari atas, tetapi dari pengalaman berpolitik di akar rumput.”
Ia organisator komunitas di Calumet, Chicago Selatan, yang dihuni kalangan bawah dari warna kulit yang berwarna-warni. Dana bagi politisi ”bau kencur” macam Obama datang dari kalangan kaya, kota praja, pebisnis, atau para donor di luar negeri. Gajinya pas-pasan, jadwal hariannya bagai ”diuber setan”, dan akhir pekan dia habiskan untuk belajar lagi.
Ia datangi rumah warga satu per satu mendata masalah mereka, mulai dari selokan mampat, leding air tak menetes, sampai bagaimana caranya mengusir para muncikari. Tak jarang ia ditolak, diusir, bahkan dimaki. Di Altgeld Gardens, Chicago selatan, Barry mencari lowongan bagi penganggur menyusul penutupan sejumlah pabrik-pabrik yang produk-produknya kalah bersaing dengan kualitas barang-barang serupa dari luar negeri.
Barry memaksa kota praja membongkar asbestos di apartemen karena bahan bangunan itu menjadi sumber penyakit kanker hati. Ia tak segan mengerahkan pendemo atau memanfaatkan pers membongkar konspirasi pebisnis dengan politisi. Secara perlahan tetapi pasti, warga mendengar rekor Barry yang akhirnya memimpin CCRC. Ia sukses menambah jumlah organisasi antikenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan, dan membuat sistem keamanan mandiri.
Kemudian, ketika The Audacity of Hope (2006) diterbitkan, buku ini selama sembilan pekan masuk di Daftar Buku Terlaris. Sampai suatu waktu, begitu banyak orang dibuat terkesiap ketika mendengar ia menyebut namanya ”Barrack Hussein Obama” (mirip Saddam Hussein dan Osama bin Laden) sambil mengulurkan tangan saat kampanye untuk menjadi anggota Senat di Springfield, Illinois.
Dari catatan itu kita tahu, Barry bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, tetapi dielu-elukan sebagai penjelmaan John Fitzgerald Kennedy. Nama Barry meroket ketika dipilih sebagai pengucap pidato kunci Konvensi Partai Demokrat 2004.
”Tak ada orang hitam Amerika dan orang putih Amerika dan orang Latin Amerika dan orang Asia Amerika—yang ada hanyalah Amerika Serikat. Saya tak punya pilihan lain kecuali memercayai visi Amerika. Sebagai anak lelaki hitam dan perempuan putih, sebagai orang yang lahir di Hawaii yang multirasial bersama saudara tiri yang separuh Indonesia, punya ipar dan keponakan keturunan China, punya saudara-saudara mirip Margaret Thatcher..., saya tak bisa setia pada sebuah ras saja.”
Di Audacity of Hope, Barry menulis esai mengenai tanah airnya yang ketiga, Indonesia. Sepanjang sepuluh halaman ia mengulas evolusi Indonesia dari sebuah kampung besar, lalu jadi antek politik dan ekonomi AS, kemudian mengalami krisis moneter dan reformasi, sampai jadi negara yang tak toleran lagi.
Rumahnya di Jakarta tak berkakus duduk, di halaman belakang ada beberapa ekor ayam peliharaan, dan di dekat jendela banyak jemuran bergelantungan. ”Jenderal-jenderal membungkam hak asasi, birokrasinya penuh korupsi. Tak ada uang untuk masuk ke sekolah internasional, saya masuk sekolah biasa dan bermain dengan anak-anak jongos, tukang jahit, atau pegawai rendahan,” tulisnya. Bagi Barry, Indonesia kini tak sama lagi. ”Indonesia terasa jauh dibandingkan dengan 30-an tahun yang lalu. Saya takut ia menjadi tanah yang asing,” tulisnya.
Barry politisi yang merangkak dari bawah, telah membuktikan politik pengabdian tak kenal lelah, yang jika diseriusi pasti membuahkan hasil. Ia matang berkat ”politik eceran” yang rajin ditekuninya dengan menggeluti topik hubungan luar negeri, UU kode etik politisi, kesejahteraan rakyat miskin, pendidikan anak, masalah veteran, kesehatan, pendidikan, buruh, pensiunan, sampai pembasmian flu burung. Dan slogan, ”Change, We Can Believe In”, bukan sekadar omong kosong.**IBA

0 komentar: