Jumat, 09 April 2010

Pasal 33 UUD 1945 sebagai Orientasi Kebijakan Publik: MEMBEBASKAN RAKYAT DARI ANCAMAN BENCANA SOSIAL (Bagian I)


Indonesia kita hari ini, bak perempuan hamil tua, yang dengan segala daya merawat dan menahan sakit karena desakan jabang bayi ”peradaban” di antara dua harapan akan datangnya sang bayi dalam keadaan sehat dan lucu—Indonesia yang lebih baik—atau cedera dan kematian.

DI halaman Indonesia kita hari ini tengah berkecamuk tiga gurita kekuatan yang saling berebut pengaruh secara ketat, yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil. Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula tiga kecenderungan utama masyarakat kita dewasa ini, yakni konsumsi, kompetisi, dan konflik. Di sudut lainnya, terdapat pula tiga akar persoalan sosial yang melahirkan bencana menggiriskan, yakni kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural.
Ketiga akar persoalan itu—kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural—tumbuh dan merajalela di hampir seluruh pelosok negeri. Ini memang bukan monopoli Indonesia, karena juga terjadi hampir di setiap belahan bumi. De facto tidak satupun negara di dunia ini yang bebas dari ketiga jenis bencana sosial tersebut.
Dikatakan sebagai bencana sosial sebab ketiganya timbul sebagai akibat dialektika tesis–antitesis–sintesis dalam perspektif perkembangan—juga kemunduran—peradaban manusia. Peradaban dimaksud adalah aneka produk dari setiap jenis tindakan, kebijakan maupun intervensi yang dilakukan oleh tiga pilar utama penyangga negara—juga tata dunia saat ini—yaitu pilar politik (negara), pilar ekonomi (pasar), dan pilar sosial (masyarakat sipil) berikut perubahan sosial yang menyertainya sebagai konsekuensi langsung-logis atas tindakan, kebijakan serta intervensi itu sendiri.
Bencana sosial tersebut juga bersifat masif-destruktif dan struktural-kultural. Masif karena terjadi di hampir setiap titik dalam peta geo-politik dan destruktif karena menelan korban umat manusia dalam kuantitas yang signifikan bahkan mampu melumpuhkan kemampuan survival manusia. Bersifat struktural-kultural oleh karena “dalang” bencana sosial ini melibatkan para pemegang otoritas formal-legal yang memang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menentukan masa depan serta nasib sebagian atau hampir seluruh anak-anak negeri. Sedangkan aspek kultural bencana sosial dimaksud dapat terlihat dari nilai-nilai dasar, ideologi atau paham, juga teori yang menjadi landasan pada setiap jenis tindakan, produk kebijakan publik, maupun intervensi yang dilakukan.
Dengan menyadari bahwa bencana sosial hakekatnya timbul karena ulah manusia sendiri dan memiliki dampak yang tidak kalah destruktifnya daripada bencana alam, maka upaya mereduksi bencana sosial mestinya perlu dilakukan sejak dini sebagai langkah antisipasi dan menjadi bagian sistem pengingat dini (early warning system) bersama dalam konteks hubungan trilateral negara, pasar dan masyarakat.
Persoalannya kemudian, negara-negara di dunia kini dewasa ini sudah tidak mungkin lagi bisa mengisolasi dirinya sendiri. Kesalingbergantungan satu negara dengan negara lainnya, bukan lagi wacana, tetapi telah menjadi realitas dan keniscayaan, menjadi kampung global. Sebuah produk kebijakan publik dari suatu negara juga semakin tidak lagi bersih dari pengaruh dan kepentingan negara lain. Sebab narasi besar yang berkisar pada rivalitas ideologi dan Perang Dingin, memang telah runtuh, seiring runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989.
Kala itu, dunia sempat semilir dengan harapan baru akan keberagaman kultur lokal yang akan bermekaran. Budaya bangsa-bangsa semakin aneka warna. Multiragam. Narasi-narasi kecil bermunculan. Kesalingtergantungan antar negara dan bangsa akan mendorong terjadinya kemakmuran global. Bagi para penganjur globalisasi, ’air pasang naik akan mengangkat semua sampan’, menyediakan keuntungan ekonomi menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Namun semua itu ternyata hanya ilusi. Kenyataan menunjukkan, yang terangkat dan melaju hanya sekumpulan kecil perahu olah raga atau kapal-kapal pesiar mewah (yacht). Perahu-perahu bermotor kecil atau tanpa motor, digilas dan ditepikan, menjadi rongsokan, dan mati mengenaskan.
Persoalannya kemudian, seperti dikatakan Terry Eagleton dalam After Theory, “tidak benar narasi besar telah hilang. Globalisasi adalah narasi besar dewasa ini”. Akibatnya mudah diduga, kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural pun melanda di banyak negara.
Para pengusung globalisasi tetap bergeming dengan semua keburukan yang dihasilakknya. Bahkan, misalnya Stave Change, CEO perusahaan teknologi. Trend Micro, menjelaskan dengan lebih gamblang. ”Adalah kutuk bahwa, budaya nasional amat berbeda-beda. Kami menyusun siasat bagaimana mempertobatkan semua orang agar memeluk satu kultur bisnis, tak peduli darimana mereka berasal,” demikian dikatakan Stave Change pada Business Week edisi 22 Oktober 2003.
Bagaimana dengan Indonesia kita? (Bersambung)

0 komentar: