Jumat, 09 April 2010

BAHTERA NUH


AKHIR april lalu, puluhan warga Kecamatan Poncokusumo, berbondong-bondong memprotes penebangan empat pohon di areal konsesi Perhutani, Kabupaten Malang. Warga khawatir, penebangan itu akan menjadikan lereng Selatan Semeru yang kini telah rusak cukup parah akan semakin gundul.
Menurut warga, kerusakan hutan setahun terakhir di Poncokusumo telah menaikkan suhu lokal menjadi 24-26 derajat Celcius, sehingga tanaman apel yang membutuhkan suhu harian antara 18-20 derajat Celsius tidak lagi bisa tumbuh. Selain itu, warga juga mendapati matinya sumber air, juga longsor tahun lalu akibat banjir Kali Lesti yang menghantam rumah dan sawah di Kecamatan Wajak.
”Kita berdiam dalam suatu penggalan pendek sejarah manusia. Di antara zaman kendala ekologi dan zaman bencana ekologi”, tulis George Monbiot dalam bukunya, “Heat. Zona nyaman”.
Kini pilihan ada di tangan manusia: berbuat seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa (business as usual) atau segera menjalankan Plan B, seperti dituliskan Lester R Brown.
Pohon meranti, misalnya, butuh waktu lebih dari 50 tahun untuk mencapai diameter batang lebih dari 50 sentimeter. Namun, dengan mesin potong, ratusan tegakan pohon seukuran itu dibabat setiap hari. Di Kalimantan, Sumatera, juga di Poncokusumo.
Belum lagi sumber daya alam berupa gas, minyak bumi, batu bara, dan bahan mineral lain yang pembentukannya butuh waktu jutaan tahun. Ketika sumber daya dieksploitasi, karbon yang ada di dalam bumi dilepaskan. Di luar emisi karbon, kehidupan di atasnya pun punah karena hewan-hewan kehilangan habitatnya akibat kegiatan pembukaan hutan. Hewan akan punah karena suhu bumi naik, yang mengakibatkan perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan siklus kehidupan hewan terganggu. Uang tunai mengalir dalam waktu singkat, cash and carry, sementara dampaknya: tak tersembuhkan.
Jika kondisi bumi yang sudah nyaris sampai pada ambang ketahanannya ini tidak segera diatasi dengan tindakan radikal, pemanasan global akan berlangsung lebih cepat.
Jika tahun 2030 konsentrasi CO2 bertahan seperti saat ini (kemungkinan besar akan terjadi mengingat negara maju tidak mampu memenuhi kewajiban mengurangi emisi karbonnya 5-15 persen dari emisi tahun 1990 pada tahun 2012), bukan tidak mungkin pada 2030 konsentrasi CO2 akan sama seperti saat ini—sebab jumlah manusia semakin banyak sehingga emisi karbon pun semakin banyak.
Jika kondisi itu tercapai, suhu bumi akan meningkat 2°C di mana semua sistem mayor akan mulai kolaps sehingga karbon yang ada dalam bumi akan terlepas ke atmosfer dan saat itulah perubahan iklim tidak dapat lagi dikendalikan. Saat itulah kehidupan bumi dipertaruhkan. Saat itulah sebagian besar kehidupan di muka bumi akan punah—serupa dengan berakhirnya zaman Permian 251 juta tahun lalu.
Dan kita adalah generasi paling beruntung. Kita hidup pada sebuah jeda pendek, sebuah titik persimpangan eksistensial. Tapi tidak bagi generasi anak-cucu kita. Dan itu menempatkan kita untuk memilih satu diantara dua pilihan yang tersedia: berbuat seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa atau segera menjalankan Plan B.
”Tak pelak lagi, perubahan iklim adalah tantangan paling besar dan paling urgen saat ini,” ujar PM Inggris Tony Blair saat masih memegang jabatan.
Dan di 1.100 kilometer dari kutub Utara, di sebuah gunung beku, di Kepulauan Svalbard, Norwegia, akhir Februari 2008 yang lalu, Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg, memfungsikan sebuah Kubah Kiamat (Doomsday Vault) yang disebutnya sebagai ”Svalbard Global Seed Vault”.
"Ini adalah 'Bahtera Nuh' untuk melindungi keragaman biologi generasi masa depan," ujar Stoltenberg, dalam upacara pembukaan fasilitas ini yang juga dihadiri Presiden Komisi Eropa, Jose Manual Barroso, dan penerima Nobel Perdamaian 2004, Wangari Maathai, dari Kenya.
Kubah yang dibangun atas prakarsa Global Crop Diversity Trust, lembaga yang didanai badan PBB untuk urusan pangan dan Biodiversity Internasional yang berbasis di Roma, Italia, serta dibangun selama satu tahun dengan biaya pembangunan mencapai US$ 9,1 juta ini berada di dalam perut gunung sedalam 127,5 meter. Fasilitas ini akan menyimpan cadangan bibit dari ratusan bank benih dari seluruh dunia dengan kapasitas mencapai 4,5 juta sampel benih. Dan, jika terjadi bencana alam yang sangat besar sehingga memusnahkan sumber pangan, biji-bijian tersebut diharapkan menjadi penyelamat manusia dari kelaparan.
Seperti satu-satunya pilihan yang ditawarkan Brown, yaitu melakukan mobilisasi besar-besaran untuk menggembosi economic bubble sebelum dia mencapai titik ledak. Namun, sebuah ’Bahtera Nuh’ di tengah kedinginan yang membeku itu belumlah cukup.
Kerjasama internasional masih harus terus digalang untuk menstabilkan populasi, iklim, permukaan air tanah, dan tanah. Juga harus ada kejujuran pasar—memasukkan kalkulasi lingkungan dan sosial pada produknya, dan menggeser pajak bukan pada produk, namun pada kerusakan lingkungan.
Inilah ”perang” kita mulai hari ini dan seterusnya. Perang untuk memenangkan kehidupan anak cucu kita. Sebuah perang semesta, karena di dalam, kita masih menghadapi banyak petugas yang berperilaku seperti salah seorang petinggi Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kabupaten Malang, ketika menghadapi protes warga demi melihat hutannya yang gundul nestapa, namun masih tega berkata: "tanah itu kalau dibiarkan saja, ya akhirnya jadi hutan”.
Duh, Gusti Allah, dalem nyuwun pangapunten.**IBA

0 komentar: