This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 27 September 2010

Gembel-gembel Beijing, Suatu Hari



Pria berkaus putih keruh merebahkan tubuhnya di bangku taman kawasan pedestrian di luar tembok Kota Terlarang, Beijing, Republik Rakyat Cina. Handuk putih menyampir di sandaran bangku tempat dia tidur pada siang bolong itu. Tas hitam menyangga tengkuk dan kepalanya, menggantikan tugas bantal.
Ia seperti ingin melupakan Beijing yang sedang tertimpa cuaca ganjil. Siang itu, cuaca demikian panas. Menurut badan meteorologi, dalam sepuluh hari terakhir akhir Juli itu suhu berada pada titik 38 derajat Celsius. Biasanya ketika musim panas tiba suhu "cuma" 35 derajat. Terlihat di mana-mana orang gerah, berkipas, membuka baju, atau berpayung. Tapi aneh, pria itu terlelap.
Lima puluh meter dari pria itu, ada lelaki sepuh duduk di bangku taman lain. Kepalanya doyong ke kanan dan memejamkan mata. Hanya celana pendek hitam yang melindungi tubuh kurusnya yang tak terurus.
Ya, mereka gelandangan. Dua orang gelandangan itu sebagian dari puluhan lainnya yang menumpang hidup di taman-taman sekeliling Kota Terlarang, salah satu pusat wisata di Beijing. Mereka bagian dari ratusan orang miskin yang menyandarkan hidup di sana, entah sebagai pengemis, pemulung, penjual asongan air kemasan dalam botol, entah pengecer koran.
Mereka adalah sisa-sisa orang miskin yang "lolos" dari gerakan pembersihan yang dilakukan pemerintah Cina sejak menjelang peringatan 50 tahun kemerdekaan Republik Rakyat Tiongkok sebelas tahun lalu. Sebelum itu, pengemis, pedagang asongan, dan pengamen banyak dijumpai di persimpangan jalan. Sejumlah kawasan kumuh, terutama yang tampak dari jalan raya, dibongkar habis. Urbanisasi ke Beijing juga diawasi ketat. Orang miskin di pedesaan Cina dan di provinsi-provinsi miskin di kawasan barat Cina dilarang masuk Beijing.
Semua jalan raya dibikin lebar, menjadi tiga, empat, bahkan enam lajur. Yang menarik, hampir semua jalan di Beijing lurus, sedikit sekali yang berkelok. "Di Beijing yang ada jalan tegak dan lurus," kata Tommy Lie, seorang warga Beijing sembari tangannya membuat lambang tegak lurus di depannya. Ini beda dengan Shanghai, banyak jalan berkelok-kelok. Sejak itu, Beijing tertib dan bersih.
Pembersihan Beijing dari orang dan kawasan miskin kian gencar ketika kota ini membedaki diri demi Olimpiade pada Agustus dua tahun lalu. Olimpiade Musim Panas 2008 adalah titik balik Beijing. Pemerintah Cina menganggap pesta olahraga bangsa-bangsa seluruh dunia ini sebagai lambang keterbukaan negara itu. Mereka membawa angin perubahan "Beijing Baru". Beijing yang lebih megah dan wah.
Separuh dari jutaan penduduk Cina tersingkir dari perkampungan tradisional (hutong) mereka dan digantikan dengan berbagai kondominium, mal, serta gerai makan dan minum cepat saji produk Amerika. Pengendara sepeda berkurang, sedangkan jumlah lapangan golf, tempat ski, klub dansa, dan spa makin banyak.
Menjelang perhelatan akbar olahraga musim panas sedunia itu, tinggal 1.500 hutong. Padahal dulu setidaknya ada 10 ribu hutong. Kini jumlahnya terus menyusut. Memang, setelah Partai Komunis menang di Cina pada 1949, pemerintah mengambil alih kepemilikan hutong. Penghuni hutong tak lagi memiliki rumah sendiri.
l l l
Beijing atau Pinyin atau Peking adalah kota yang struktur administrasinya setingkat provinsi, mirip DKI Jakarta. Kota ini berpenduduk sekitar 14 juta jiwa dan merupakan kota terbesar kedua di Cina setelah Shanghai. Beijing adalah pusat politik, pendidikan, dan kebudayaan di Cina. Sedangkan Shanghai dan Hong Kong pusat perekonomian. Beijing ibu kota bagi negeri berpenduduk hampir 1,5 miliar orang ini. Pada 1 Oktober nanti Republik Rakyat Cina berusia 61 tahun.
Wajah Beijing yang dulu identik dengan gerobak dan sepeda ontel orang-orang miskin berubah menjadi kota yang bisa dibilang serba digital. Bus kota dan kereta bawah tanah menjual karcis dengan sistem digital. Peta, petunjuk jalan, dan iklan di stasiun serba digital. Dulu, Beijing cuma punya satu jalur kereta bawah tanah. Menjelang penyelenggaraan Olimpiade, Beijing membangun sembilan lagi jalur baru. Untuk mengelilingi Beijing yang luasnya 22 kali Jakarta, seorang penumpang cukup membeli tiket dua kali.
Berkat Olimpiade Beijing, semua tanda, pengumuman, dan nama stasiun menggunakan bahasa Inggris, selain bahasa Mandarin. Olimpiade juga menjadi momentum buat Beijing mengharamkan sepeda motor melintasi jalanan di kawasan dalam kota. Alasannya, sepeda motor kerap dipakai penjambret melakukan aksinya. Setelah menjambret, biasanya mereka lari ke kawasan perumahan kumuh dengan gang-gang sempit yang tidak bisa dilalui mobil.
Menjelang Olimpiade, Beijing berbenah. Warisan Cina era tua diperbaiki habis-habisan. Pemerintah Kota Beijing memasok anggaran khusus satu miliar yuan untuk proyek pembangunan kembali gedung lama dan prasarana kota. Wakil Direktur Komisi Pembangunan Kota Beijing Zhang Jiaming mengatakan, "Kami perbaiki 40 kawasan rumah lorong dan 140 taman."
Beijing pun membangun stadion raksasa untuk pesta megah olahraga musim panas sedunia dua tahun lalu. Kini stadion itu menjadi landmark baru Beijing era modern setelah Kota Terlarang dan Tembok Raksasa. Stadion Nasional Beijing, demikian nama resminya, menjadi semacam monumen sukses Cina menyelenggarakan Olimpiade. Orang juga mengenalnya sebagai Bird Nest Building atau Niao Ciao. Sebuah gedung berkonstruksi baja yang terinspirasi oleh sarang burung walet. Di sinilah dulu upacara megah pembukaan dan penutupan Olimpiade berlangsung. Cina mengeluarkan pundi-pundi hingga sekitar Rp 4,8 triliun untuk membangunnya.
Stadion Nasional berada dalam satu kawasan dengan Stadion Tertutup Nasional dan Pusat Akuatik Nasional. Tiga bangunan ini menyatu dengan Gedung Pertemuan, Pusat Olahraga, dan Gedung Budaya Wukesong Beijing, sebuah kawasan yang kemudian diberi nama Taman Olimpiade. Enam lokasi utama ini dibangun dengan biaya US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 19 triliun. Fantastis!
Alun-alun superluas membentang. Sejauh mata memandang belum juga ditemukan ujung Taman Olimpiade pada saat Beijing berkabut, akhir Juli lalu. Setidaknya 20 ribu orang berkunjung per hari. Pada musim liburan musim panas akhir Juli lalu, kunjungan makin banyak. Orang-orang dari pelosok Cina berduyun-duyun mengunjungi kemegahan stadion sarang burung itu. Turis asing pun terus mengalir. "Luas dan megahnya menakjubkan," kata Jodie O'tania, seorang pelancong.
Kemewahan stadion ini didukung patung kontemporer di Taman Olimpiade. Ada dua puluh patung. Dua tahun lalu, sebagai bagian dari cara Beijing berdandan menyambut Olimpiade, Institut Seni Patung Cina mengundang 20 pematung top dunia untuk membangun 20 karya monumental. Salah satunya adalah pematung top Italia, Alfio Mogelli.
l l l
Ekonomi Cina memang sedang tumbuh melesat. Akhir Juli lalu, Bank Dunia membuat laporan yang mengatakan pertumbuhan ekonomi Cina telah membantu negara-negara berkembang di Asia Timur pulih dari krisis global. Tapi Bank Dunia tetap mengingatkan Cina agar tak buru-buru mencabut kebijakan propertumbuh-an. "Terima kasih sekali kepada Cina. Kebanyakan produksi, ekspor, dan kesempatan kerja di sini telah kembali ke tingkat sebelum krisis," tulis laporan lembaga pemberi pinjaman yang berbasis di Washington.
Laporan itu menyebutkan perekonomian Cina tumbuh 10,7 persen pada kuartal keempat 2009. Ini meningkatkan perekonomian, terutama melalui permintaan impor dari Cina yang terus menanjak. Pertumbuhan ekonomi Cina ini ikut mengatrol pertumbuhan ekonomi di negara berkembang di Asia Timur.
Wilayah itu meliputi Vietnam, Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Sehingga Asia Timur memimpin pertumbuhan ekonomi global tahun. Bank Dunia pun memperbarui target pertumbuhan tahun ini menjadi 8,7 persen. Ini melebihi target yang ditetapkan pada November tahun lalu sebesar 7,8 persen.
Cina terus membangun. Tahun ini Negeri Paman Mao Tse Tung ini melakukan investasi lebih dari US$ 100 miliar atau sekitar Rp 930 triliun pada 23 proyek infrastruktur baru. Sebagian besar untuk memacu pertumbuhan kawasan barat, meliputi Xinjiang, Tibet, Mongolia Dalam, Sichuan, dan Yunnan. Daerah ini lebih miskin dibanding kawasan timur Cina. Ini sekaligus untuk mendorong naiknya permintaan dalam negeri. Perdana Menteri Wen Jiabao mengumumkan ini pada Juli lalu.
Menurut Wen Jiabao, ekonomi Cina menghadapi situasi sangat rumit. Ekonomi Cina memang stabil. Tapi lambannya pemulihan ekonomi global dari yang diperkirakan berimbas pula pada Cina. Survei terhadap manajer pembelian dua bulan lalu juga menunjukkan kegiatan pada industri manufaktur juga melemah.
Uang 682,2 miliar yuan itu akan digunakan untuk membangun rel kereta api, jalan, bandara, tambang batu bara, pusat pembangkit listrik tenaga nuklir, dan jaringan listrik. Cina menganggarkan 2,2 triliun yuan untuk 120 proyek besar sejak tahun 2000 hingga 2009. Media pemerintah Cina melaporkan pada Juni lalu, Beijing akan mengalirkan bantuan ekonomi sekitar 10 miliar yuan untuk Xinjiang. Bantuan mengucur ke rakyat mulai tahun depan.
Ini bagian dari upaya meningkatkan standar hidup suku minoritas Uighur. Bayaran atas dilarangnya orang-orang miskin menyerbu Beijing yang wah. Pemerintah Cina tampak berupaya keras menjadikan Beijing steril dari gembel di jalanan. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil.
Selain pengemis yang tidur di taman-taman seputar kawasan Kota Terlarang di atas, banyak pemulung yang berkeliaran di seputar stadion mewah bekas Olimpiade. Mereka memungut botol-botol bekas dari tempat sampah atau dari orang yang sembarang membuang sampah. Ada yang mencangklong karung sembari berputar dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain. Ada juga yang menggunakan sepeda bergerobak, menunggu bekas kemasan makan dan minum di warung-warung tenda ditinggal pembelinya.
Di beberapa tempat di Taman Olimpiade, tampak warga Cina yang masih terlihat ndeso antre panjang ingin difoto kamera digital. Tukang foto keliling laris manis. Selama musim panas Juli itu, begitu banyak gembel menuju taman-taman Kota Beijing untuk sekadar mendinginkan badan. Warga miskin Beijing itu tampak duduk-duduk bertelanjang dada, tak ubahnya orang kampung di Jawa atau orang Tionghoa papa yang berserak di Pontianak hingga Singkawang, Kalimantan Barat.

Buah Zakar Goreng dari Berlin

• 20 September 2010


Laki-laki itu berwajah kaku dengan penampilan kuno: rambut klimis, kacamata gagang tebal, dan dasi model 1960-an. Dia Thomas Richter, 34 tahun, pengelola sekaligus juru bicara sebuah restoran yang baru dibuka di Berlin, Jerman, awal September lalu.
Resto itu bernama Flime, kependekan dari Fleisch isst Mensch alias "Daging untuk Manusia". Menu yang disajikan resto ini bisa membuat perut mual: daging yang berasal dari potongan tubuh manusia. "Daging manusia enak rasanya," kata Richter dengan mimik aneh. Di mana tepatnya lokasi resto ini?
"Masih rahasia," ujar Richter kepada Tempo. Ide restoran milik warga Brasil bernama Eduardo Amando itu meniru pengalaman suku Amazon yang dengan tradisi Wari suka melahap daging anggota keluarga dan musuhnya untuk mendapatkan kekuatan dan jiwa baru.
Seluruh peralatan dapur diimpor dari Rusia dan Polandia. Untuk menyantap menu, seperti "Feijoada", yaitu aneka potongan tubuh yang dimakan dengan nasi dan kacang polong, dan "Gebraten Tartarbaelchen" alias buah zakar goreng yang disantap dengan sup, tamu resto hanya perlu membayar tempat duduk seharga 199 euro.
Untuk memperoleh bahan baku, sejak akhir Agustus lalu Flime gencar memasang iklan di Internet. Isinya menerima siapa saja yang mau menyumbangkan potongan tubuhnya. Termasuk penggalan bekas operasi dari rumah sakit. Ongkos operasi akan diambil alih Flime, sedikitnya senilai 1.000 euro, asalkan hasil cek kesehatan dinyatakan beres.
"Banyak orang merasa tidak mengenal anggota tubuhnya sendiri. Orang merasa tangan dan kakinya bukan bagian dari tubuhnya. Jika ini yang dirasakan, kami bisa menolongnya. Tulislah permintaan Anda lewat info@flime-restaurant.com," Richter menambahkan dengan nada serius.
Iklan itu dengan cepat merebak. Media prestisius Jerman, Spiegel Online, dan koran bergengsi Inggris, Daily Telegraph, memuat berita tentang resto itu. "Kelak di Jerman orang bisa menyantap breasticles, headcaroni, atau fingertenders," tulis Daily Telegraph dengan gaya bahasa satire.
Richter mengaku sudah beroleh izin usaha dari pemerintah. Cuma, keterangan ini dibantah. "Tidak pernah ada permohonan izin usaha itu," kata juru bicara Pemerintah Kota Berlin. Richter juga mengundang wartawan menghadiri jumpa pers di Hotel Holiday Inn pada 2 September 2010 pukul 10.00. Tapi undangan yang disebar via Internet itu dibantah Holiday Inn. Toh, dengan kalem, Richter menjawab, "Oh, Holiday Inn membatalkan acara tersebut. Kami sedang mencari tempat lain."
Tak pelak, warga ibu kota Jerman pun dibikin geger oleh berita itu. "Cuma orang dengan kelainan jiwa yang punya ide seperti itu," kata Alessandro, warga Berlin, bergidik ngeri. "Jika pemerintah mengizinkan restoran seperti ini beroperasi, saya akan minggat dari Jerman. Kami bukan orang rimba," kata Martina mencak-mencak.
Sedangkan Hans mengaku mual berat setelah membaca iklan itu di Internet. "Di mana gerangan kepalanya? Sudah jadi alas kaki?" ujarnya dengan berang. Papan demo bertulisan "Cegah Flime" dan "Dagingku Milikku" pun bermunculan di sana-sini.
Senator bidang kesehatan, Marie-Luise Dittmar, mengatakan pada prinsipnya Jerman tidak melarang konsumsi segala jenis daging, asalkan bebas dari penyakit. Namun memotong bagian tubuh sendiri untuk dikonsumsi atau dengan alasan adat dilarang di Jerman.
Ketegangan dan kegelisahan warga baru redup setelah muncul keterangan dari Persatuan Vegetarian Jerman bahwa iklan itu fiktif. Iklan itu cuma akal-akalan untuk menarik perhatian orang. "Problem global seperti kelaparan, kebakaran hutan, dan penyakit hewan terjadi karena rusaknya sumber daya alam," kata Sebastian Zoesch, juru bicara organisasi vegetarian itu.
Konsumsi daging merangsang berkembangnya perusahaan ternak, yang pada gilirannya membuat sumber daya alam semakin menciut. "Tahukah Anda setiap 3,6 detik satu orang meninggal karena kekurangan gizi?" ujar Zoesch. Iklan fiktif itu dimaksudkan agar orang berhenti mengkonsumsi daging. "Organisasi kami sudah berdiri sejak 1892, tapi orang tidak peduli pada kegiatan kami," Zoesch menambahkan.
Kendati berdalih mengajak orang hidup sehat, tindakan memasang iklan fiktif itu tetap memicu kegusaran. "Jika mereka menganggap itu cuma guyonan, lelucon itu sama sekali tidak lucu," kata Volker Nickel, juru bicara penasihat periklanan Jerman, berang bukan main.

Sabtu, 10 April 2010

CHANGE, WE CAN BELIEVE IN


AKHIRNYA, di tengah komunitas yang pernah menjadi budak-budak bagi tuan kulit putih itu punya keturunan yang kemudian menjadi presiden bagi kulit putih itu sendiri, mematahkan mainstream kepemimpinan puncak di AS yang didominasi warga berdemografis White, Anglo-Saxon, dan Protestant, yang berlaku sejak 1797 atau dari 43 presiden, yang juga belum memunculkan satu pun perempuan presiden. Lidah orang-orang pun seperti kelu, sementara ingatan lama menyeruak hingga 55 tahun silam, ketika Martin Luther King Jr menyampaikan pidatonya, I Have A Dream.
”Saya mempunyai satu impian bahwa suatu hari setiap lembah akan ditimbun, setiap bukit dan gunung akan diratakan, tempat-tempat yang kasar akan dihaluskan, dan jalan-jalan yang berkelok-kelok akan diluruskan, dan (akhirnya) kemuliaan Tuhan akan dinyatakan serta seluruh umat manusia bersama-sama melihatnya.”
Dan Obama, boleh jadi memang adalah politisi yang telah menemukan kembali politik dari jalannya selama ini. “Ini adalah revolusi besar seperti pemilihan Franklin D Roosevelt tahun 1932 dan John F Kennedy tahun 1960,” kata Paul Levinson, pakar politik dari Fordham University, New York, seperti dikutip kantor berita AFP.
Ibu Barry—begitu Obama dipanggil teman-temannya yang bersekolah di SD Negeri 04 Percobaan di Jalan Besuki, Jakarta Pusat—berasal dari Kansas, ayahnya orang Kenya, dari suku Luo yang lahir di Alego yang menikahi ibu Barry tahun 1959 di Honolulu saat miscegenation (pernikahan antarras) dilarang di banyak negara bagian Amerika Serikat. Bapak tirinya Lulu Soetoro. Waktu kecil Barry hidup sederhana di Jakarta, saat dewasa menjadi pengacara top lulusan Harvard.
Dari buku Dreams from My Father, (1996) Barry banyak bercerita tentang ayah kandungnya, jebolan University of Hawaii (UH) yang menjadi anggota Phi Beta Kappa—komunitas akademisi elitis yang susah diterobos masuk orang luar AS. Ayahnya adalah penerima beasiswa pertama asal Afrika di UH dan belajar ekonometri dengan menggaet peringkat terbaik di angkatannya. Barry Junior juga lulus dari Harvard Law School dan menjadi presiden kulit hitam pertama di Harvard Law Review—jurnal hukum berwibawa.
Dreams bercerita tentang perjalanan hidup dia yang biasa saja. Ia dari kecil hidup dengan ayah tiri, waktu remaja ditinggal ibu, dan sampai dewasa diasuh kakek-nenek. Ia pernah tinggal di Honolulu, Jakarta, New York City, Boston, Chicago, Springfield, kini Washington DC. Tanpa malu ia mengaku pernah dijerat ganja dan alkohol serta menjadi perokok berat selama bertahun-tahun.
Dreams menyajikan perjuangan Obama mengorganisasi ”mikropolitik” yang mudah diberdayakan ke skala lebih besar, mulai dari tingkat kota, regional, sampai nasional. Ia memulai awal karier politik di Chicago tahun 1983. Ia tinggalkan gaji besar di pasar saham Wall Street, New York, untuk menjadi community organizer alias politisi. Sebab baginya, ”perubahan bukan slogan kosong yang datang dari atas, tetapi dari pengalaman berpolitik di akar rumput.”
Ia organisator komunitas di Calumet, Chicago Selatan, yang dihuni kalangan bawah dari warna kulit yang berwarna-warni. Dana bagi politisi ”bau kencur” macam Obama datang dari kalangan kaya, kota praja, pebisnis, atau para donor di luar negeri. Gajinya pas-pasan, jadwal hariannya bagai ”diuber setan”, dan akhir pekan dia habiskan untuk belajar lagi.
Ia datangi rumah warga satu per satu mendata masalah mereka, mulai dari selokan mampat, leding air tak menetes, sampai bagaimana caranya mengusir para muncikari. Tak jarang ia ditolak, diusir, bahkan dimaki. Di Altgeld Gardens, Chicago selatan, Barry mencari lowongan bagi penganggur menyusul penutupan sejumlah pabrik-pabrik yang produk-produknya kalah bersaing dengan kualitas barang-barang serupa dari luar negeri.
Barry memaksa kota praja membongkar asbestos di apartemen karena bahan bangunan itu menjadi sumber penyakit kanker hati. Ia tak segan mengerahkan pendemo atau memanfaatkan pers membongkar konspirasi pebisnis dengan politisi. Secara perlahan tetapi pasti, warga mendengar rekor Barry yang akhirnya memimpin CCRC. Ia sukses menambah jumlah organisasi antikenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan, dan membuat sistem keamanan mandiri.
Kemudian, ketika The Audacity of Hope (2006) diterbitkan, buku ini selama sembilan pekan masuk di Daftar Buku Terlaris. Sampai suatu waktu, begitu banyak orang dibuat terkesiap ketika mendengar ia menyebut namanya ”Barrack Hussein Obama” (mirip Saddam Hussein dan Osama bin Laden) sambil mengulurkan tangan saat kampanye untuk menjadi anggota Senat di Springfield, Illinois.
Dari catatan itu kita tahu, Barry bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, tetapi dielu-elukan sebagai penjelmaan John Fitzgerald Kennedy. Nama Barry meroket ketika dipilih sebagai pengucap pidato kunci Konvensi Partai Demokrat 2004.
”Tak ada orang hitam Amerika dan orang putih Amerika dan orang Latin Amerika dan orang Asia Amerika—yang ada hanyalah Amerika Serikat. Saya tak punya pilihan lain kecuali memercayai visi Amerika. Sebagai anak lelaki hitam dan perempuan putih, sebagai orang yang lahir di Hawaii yang multirasial bersama saudara tiri yang separuh Indonesia, punya ipar dan keponakan keturunan China, punya saudara-saudara mirip Margaret Thatcher..., saya tak bisa setia pada sebuah ras saja.”
Di Audacity of Hope, Barry menulis esai mengenai tanah airnya yang ketiga, Indonesia. Sepanjang sepuluh halaman ia mengulas evolusi Indonesia dari sebuah kampung besar, lalu jadi antek politik dan ekonomi AS, kemudian mengalami krisis moneter dan reformasi, sampai jadi negara yang tak toleran lagi.
Rumahnya di Jakarta tak berkakus duduk, di halaman belakang ada beberapa ekor ayam peliharaan, dan di dekat jendela banyak jemuran bergelantungan. ”Jenderal-jenderal membungkam hak asasi, birokrasinya penuh korupsi. Tak ada uang untuk masuk ke sekolah internasional, saya masuk sekolah biasa dan bermain dengan anak-anak jongos, tukang jahit, atau pegawai rendahan,” tulisnya. Bagi Barry, Indonesia kini tak sama lagi. ”Indonesia terasa jauh dibandingkan dengan 30-an tahun yang lalu. Saya takut ia menjadi tanah yang asing,” tulisnya.
Barry politisi yang merangkak dari bawah, telah membuktikan politik pengabdian tak kenal lelah, yang jika diseriusi pasti membuahkan hasil. Ia matang berkat ”politik eceran” yang rajin ditekuninya dengan menggeluti topik hubungan luar negeri, UU kode etik politisi, kesejahteraan rakyat miskin, pendidikan anak, masalah veteran, kesehatan, pendidikan, buruh, pensiunan, sampai pembasmian flu burung. Dan slogan, ”Change, We Can Believe In”, bukan sekadar omong kosong.**IBA

....CAPITALISM IS DYING..?.


KRISIS finansial global, kini telah menjadi kabut perekonomian dunia. Revisi perkiraan pertumbuhan ekonomi pun mulai bermunculan. Penurunan pertumbuhan membuat kisah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) marak dibicarakan. Sektor otomotif dan keuangan paling terpukul akibat krisis global ini, namun kemudian pukulan juga mulai merambah ke industri kimia, hotel, turisme dan sebagainya.
Fiat, industri otomotif utama Italia, sudah memperkirakan penjualan mereka akan turun 10 – 20 persen. Hyundai (Korea Selatan), juga memperkirakan hal yang sama. Mereka memang belum membicarakan PHK, ini berbeda dengan industri otomotif AS yang sudah melakukan PHK. Chrysler LLC, raksasa otomotif nomor tiga AS, setelah General Motors dan Ford, Kamis (23/10/2008) telah menegaskan akan menutup salah satu pabiknya. Penutupan ini dipercepat karena situasi yang memburuk. Karyawan akan dialihkan, tetapi 1.825 pekerja harus di-PHK. Sementara Goldman Sachs Group, raksasa perbankkan, juga Kamis (23/10/2008), dilaporkan bakal mem-PHK sekitar 3.260 pekerja. Sekitar 10 persen dari pekerja mereka berada di New York.
Trilyunan dollar AS yang dikucurkan untuk membendung laju dampak krisis, nampaknya hanya sekadar penunda waktu kebangkrutan. Kapitalisme yang sangat membenci intervensi negara dalam perekonomian (laissez faire) pun terpaksa menasionalisasi korporasi finansial dan membayar hutang swasta (bail out) secara besar-besaran. Ingatan saya pun terseret pada bukunya Harry Shutt, Runtuhnya Kapitalisme (2005), yang menyebutkan bahwa Kapitalisme kini sedang mengalami “gejala-gejala utama kegagalan secara sistemik”.
Di AS, pemerintahan Bush memaksa rakyat Amerika membayar hutang-hutang perbankan sebesar US$ 700 milyar (Rp 6.650 trilyun). Bush juga menambah beban rakyat dengan program rekapitalisasi perbankan senilai US$ 250 milyar (Rp 2.375 trilyun) dan pembelian aset-aset bank US$ 100 milyar (Rp 950 trilyun). Semuanya harus didanai rakyat AS untuk membayar keserakahan para investor. Belum lagi dana US$ 900 milyar (Rp 8.550 trilyun) yang digelontorkan bank sentral AS untuk melakukan intervensi pasar.
Di Eropa, pemerintah Inggris mengeluarkan dana rakyat sebesar £ 500 milyar untuk rencana penyelamatan sistem keuangan mereka. Sebesar £ 119 milyar atau US$ 215 milyar (Rp 2.042,5 trilyun) dihabiskan untuk menasionalisasi bank nasional Inggris Northern Rock yang sudah bangkrut. Negara perekonomian terbesar ketiga dunia, Jerman harus mengeluarkan dana €400 milyar untuk menjamin perbankannya dan €100 milyar untuk program rekapitalisasi.
Krisis finansial global yang terparah dalam 80 tahun terakhir ini membuat banyak negara bersatu untuk mengatasinya. Namun, sejauh ini langkah bersama itu belum membuat kepercayaan pasar pulih. Ini terlihat dari harga saham di sejumlah bursa dunia yang masih terus merosot.
Lalu, apakah yang sesungguhnya tengah terjadi?
Tepat satu bulan pasca bangkrutnya Lehman Brothers (10/09/2008) dengan nilai kerugian US$ 3,9 milyar yang kemudian menyeret kehancuran perusahaan asuransi terbesar AS American International Group (AIG) dan menimbulkan efek berantai serta merontokan kepercayaan para investor akan ketangguhan sistem keuangan AS, Washington Post (10 Oktober 2008) menurunkan artikel berjudul “The End of American Capitalism?” Artikel yang ditulis Anthony Faiola itu mengutip Joseph Stigliz. Stigliz, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2001 ini memperingatkan negara-negara yang selama ini mengagumi model ekonomi kapitalisme Amerika untuk segera bersiap menghadapi kehancuran ekonominya. Kabangkrutan dan nasionalisasi parsial sejumlah bank di AS, merupakan tanda-tanda kematian sistem kapitalisme AS.
Stigliz mengatakan: “People around the world once admired us for our economy, and we told them if you wanted to be like us, here’s what you have to do — hand over power to the market… The point now is that no one has respect for that kind of model anymore given this crisis. And of course it raises questions about our credibility. Everyone feels they are suffering now because of us.”
Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy menyatakan era sistem yang tanpa regulasi telah berakhir (Business Week, 29/09/2008). Ide free market dan laissez faire dalam ideologi kapitalisme benar-benar mengalami kebuntuan sejarah. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan perlunya sistem keuangan global yang baru untuk mengganti sistem Bretton Woods yang sudah 64 tahun tegak (Telegraph, 15/10/2008). Negara-negara kapitalis dan para pendukungnya harus jujur mengakui kebangkrutan ide kapitalisme sehingga tidak layak sistem ini dipertahankan.
Para pembela kapitalisme sebagaimana Allan Gresspan dan Francis Fukuyama masih mencoba mempertahankan diri. Mereka mengatakan bahwa krisis yang terbesar pasca Malaise (1929) itu sama sekali bukan kesalahan kapitalisme dan pasar bebas. Mereka menyebut bahwa krisis itu lebih dikarenakan kerakusan para pebisnis yang melakukan bisnis derivatif, kecerobohan masyarakat dengan sikap yang tidak “cerdas pasar”, serta kegagalan pemerintah melakukan good governance.
Bantahan bernada defensive apologetic ini nampaknya juga menguasai ekonom arus utama negeri ini. Tapi benarkah?
Keinginan agar semua orang berpikir “cerdas pasar” tidak relevan karena orang-orang yang cerdas pasar justru akan menjadikan mayoritas orang “bodoh pasar” (Kiyosaki, Rich Dad Poor Dad). Ini ditunjang oleh sistem bunga yang membuat eksploitasi itu menjadikan bisnis tak sekedar “permainan” tapi “pembantaian”. Bayangkan, betapa tidak adilnya orang-orang yang di sektor keuangan mendapat keuntungan 40 persen, sementara orang-orang di sektor riil hanya dapat untung 20 persen. Tentu saja ini sebuah eksploitasi karena orang-orang di sektor riil bekerja jauh lebih keras.
Lalu, harapan supaya para kapitalis tidak rakus juga tidak mungkin. Ini karena selisih yang terlalu besar antara sektor keuangan dan sektor riil menjadikan eksploitasi benar-benar di depan mata. Faktanya, sistem bunga menjadikan jual beli uang jauh lebih menarik dari produksi dan jual beli barang.
Hal lain yang kadang membuat kita lupa diri adalah bahwa, sistem kapitalisme hanya memungkinkan milik (bhs Jawa: ”punya” atau ”harta”) menjadi begitu penting dan melik (bhs Jawa: keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu) terlembagakan sebagai perilaku wajar. Keduanya (milik dan melik) kemudian dianggap hal yang bagus bagi pertumbuhan ekonomi. Meski untuk itu, ketamakan dan kerakusan yang menelan begitu banyak korban menjadi sebuah keniscayaan: Siapa peduli?.
Selain itu, fakta juga menunjukkan bahwa mekanisme pasar tak pernah sanggup menghasilkan “tangan gaib”. Optimisme Adam Smith dan John Naisbitt tidak pernah terbukti. Pesimisme David Ricardo terasa lebih realistis.
Kemudian, tuntutan agar pemerintah melakukan good governance juga tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimanapun, persaingan yang terjadi bukan persaingan sempurna. Tapi persaingan oligopolistis, bahkan monopolistis. Selain itu, manusia kemampuannya berbeda-beda. Tak semua mereka kuda. Sebagian singa, sebagian kancil, dan sebagian besar lagi anthelop muda dengan kaki yang terluka. Sikap pemerintah tak akan mengubah suasana persaingan ini. Dan akhirnya, pasar yang digerakkan oleh milik dan melik, tak akan mudah ditertibkan oleh Negara. Wallahu’alam.** (Sahabat Pena)

Keterjebakan Indonesia dan Babad Indonesia


Ekonomi pasar, bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum, yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil dicapai. Sebab, ekonomi pasar itu secara prinsipil tidak dapat diterapkan sama untuk semua bangsa. Nicht verallgemeinerungsfaehig
“DALAM lomba”, tulis Kurt Beidenkopf, “sistem komunislah yang kalah”. Tetapi jika permasalahan paling mendasar dari bumi ini dipandang serius dan jujur. Maka, harus diakui bahwa, negara-negara dengan orientasi pasar bebas pun, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sistem pasar itu. Sebab, sistem pasar maupun komunisme, yang sangat menentukan dunia budaya industrial kita, pada hakikatnya sama saja. Yakni, pertumbuhan terus-menerus. Dari penyediaan barang-barang dan pelayanan material. Sasaran dari pertumbuhan itulah, yang diikhtiarkan tanpa henti. Dengan demikian, perbedaan antara dua sistem itu bukan pada sasaran mereka. Melainkan hanya pada jalan yang ditempuh. Padahal, pertanyaan paling mendasar hari ini dan masa datang adalah justru pada sasaran itu.
Tulisan Beidenkopf dalam majalah Die Zeit, itu cukup menarik. Sebab, kala tulisan itu diterbitkan, 26 September 1991, ia adalah Perdana Menteri di negara bagian Shachsen, Jerman. Ia juga anggota Partai Kristen Demokrat yang biasanya berhaluan konservatif tradisional sayap kanan, pemuja sistem ekonomi pasar. Karena itu, pernyataannya itu seolah guyuran air dingin bagi masyarakat Barat yang tengah dimabuk kejayaan pasar bebas setelah tembok berlin runtuh. Patung Lenin rubuh.
Seperti juga pernah diingatkan mendiang Paus Yohanes Paulus. “Dengan runtuhnya kaum komunisme tidak berarti, bahwa kapitalismelah yang akan menjadi dewa keselamatan. Khususnya bagi negara-negara berkembang.”
Ya.....dengan begitu. Bagi kita di Indonesia kini, persoalannya bukan lagi pada Adam Smith atau Karl Marx. Bukan pada ekonomi pasar yang begitu dielu-elukan sebagian besar elit bangsa ini, terutama setelah ekonomi komunisme yang terpusat runtuh dan seolah tata dunia baru sudah jelas terbentang di depan. Tetapi meneguhkan jawaban atas pertanyaan, untuk apa dan siapa sesungguhnya sasaran seluruh ikhtiar bangsa ini akan dipersembahkan?
Seperti juga Beidenkopf dalam tulisannya itu. Bangsa-bangsa kaya hanya dapat mengadakan ekspansi dengan pengorbanan bangsa-bangsa yang lebih lemah. Karena itu, untuk membebaskan ancaman-ancaman yang melekat pada sistem pasar negara-negara industri maupun komunis yang industrial maju, yang padanya terjadi penghisapan struktural terhadap mayoritas bangsa manusia, hanya mungkin bisa dilakukan bila cara berfikir negara Barat dirubah secara radikal. Jika tidak maka, kendati menamai diri sebagai negara demokrasi, dunia akan mengalami keruntuhan, yang oleh Beidenkopf disebut regierbarken. Keruntuhan yang dapat diperintah atau keruntuhan yang bisa diatur. Dan semua itu mewujud pada berbagai tindak kekerasan. Perang, terorisme dan sebagainya.
Dengan begitu, ekonomi pasar, bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum, yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil dicapai. Sebab secara prinsipil, ekonomi pasar memang tidak dapat diterapkan sama untuk semua bangsa. Nicht verallgemeinerungsfaehig.
Ya....aku rasa betul juga. Sistem ekonomi pasar yang dianut faktual oleh dunia Barat dan yang diterapkan secara luas di dunia Timur tanpa kritik, jelas bukanlah hasil hukum kodrat manusia. Seperti juga ekonomi terpusat yang kini runtuh.
Titik berangkatnya berasal dari konstruksi-konstruksi buatan pikiran, bayangan-bayangan instrumen, tata masyarakat yang datang dari ideologi tertentu, yang dikembangkan historis oleh manusia Barat tertentu untuk menangani masalah-masalah konkrit tertentu dalam alam sistuasi kondisi yang tertentu pula. Sekali lagi, bukan dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum yang seolah-olah tanpa itu kesejahteraan nyata mustahil untuk dapat diwujudkan.
Hanya persoalannya, bangsa Indonesia ini sepertinya sudah tidak lagi bisa terbebas dari pilihan tunggal. Ekonomi pasar. Juga dengan kiblat tunggal. Kelompok negara adidaya yang dikomandani Amerika Serikat. Meski sudah cukup lama, juga cukup intens sebagian dari para pakar ekonomi kita mencoba merumuskan ekonomi Pancasila.
Namun, dalam praktik keseharian kita, ekonomi pasarlah yang nyata berjaya.
Dan selanjutnya, godaan besar yang kemudian mencuat di hadapan kita, dan kita sepertinya juga tidak bisa mengelak, adalah pada munculnya ideologi yang mengerikan. Yakni, segala yang mungkin bagi manusia, boleh dikerjakan juga.
Kemudian, dari hari ke hari hutan-hutan dibantai dengan cara yang sungguh sulit dinalar. Tambang-tambang di perut bumi dikeruk tanpa kendali dan tanpa peduli lingkungan sekitarnya. Limpahan hasil laut terus pula diekspolitasi tanpa sedikit pun keinginan untuk mengembalikan agar bisa pulih lestari. Dan akhirnya, sumberdaya alam amanah Tuhan untuk anak cucu kita, kini teronggok tinggal sisa-sisa.
Lalu bencana?
Rakyat miskin di pedalaman kini selalu dicekam oleh datangnya aneka petaka. Banjir, longsor, serbuan aneka hama, juga kekeringan yang mengerontangkan jiwa raga. Semua sudah tidak lagi bisa kita hitung, berapa korbannya.
Berikutnya. Kita seperti berada pada lingkar keterjebakan.
Ya....deretan persoalan yang saling berkelindan. Begitu melelahkan. Juga begitu mengerikan akibatnya.
Tapi bagaimana konstruksi lingkar keterjebakan bangsa ini hingga kita begitu susah keluar dari belitannya itu?
Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man, John Perkins, warga Amerika Serikat itu mengungkapkan sejumlah fakta. Tentang sebuah potret jaringan corporatocracy elit politik dan bisnis AS yang begitu kuat menjerat kita. Cara kerjanya mirip mafia. Mereka menggunakan segala cara. Termasuk membunuh atau mempekerjakan pelacur. Semua upaya itu ditujukan untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi mereka.
”Kita melakukan pekerjaan kotor. Tak ada yang tahu apa yang kamu lakukan. Termasuk istrimu“, kata Charlie Illingworth, bos Perkins.
Untuk menjalankan operasinya, Perkins diberi dua tugas utama. Pertama, menyusun laporan fiktif agar IMF, Bank Dunia, dan USAID bersedia mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur. Kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang setinggi gunung, negara penerima hutang kemudian dijadikan kuda yang dikendalikan sang kusir yang duduk di ibukota negara Amerika Serikat sana.
Praktik corporatocracy itu di Indonesia ternyata disambut hangat para pejabat kita. Sebab, di negeri ini gerilya Perkins menemukan sekutu dengan kelompok yang telah disiapkan oleh Amerika Serikat sebelumnya. Kelompok itu dikenal dengan sebutan ’Mafia Berkeley’.
Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan, MAIN, dan para pejabat itu pun kemudian saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek pembangkrutan. Maaf, faktanya memang bukan pembangunan Indonesia itu pun dimulai. Dan, dimulai pulalah lingkaran setan utang luar negeri yang dielu-elukan sebagai ideologi pembangunan.
Tapi...ah, cerita corporatocracy AS di Indonesia itu sebetulnya punya akar sejarah cukup dalam dan waktu yang lama. Kuku-kukunya telah mulai ditanam sejak awal abad ke 20. Ketika imperialisme Amerika mulai menjadi tantangan bagi kekuatan kolonial Eropa. Terutama setelah AS menduduki Filipina, tahun 1898. Lebih seabad lalu.
Strategi AS di daerah ini waktu itu, seperti ditulis Terri Cavanagh dalam Lessons of the 1965 Indonesian Coup, dapat diringkas dari pendapat Senator William Beveridge:
"The Philippines are ours forever ... and beyond the Philippines are China's illimitable markets. We will not retreat from either. We will not repudiate our duty in the archipelago. We will not abandon our duty in the Orient. We will not renounce our part in the mission of our race, trustee under God, of the civilisation of the world ... We will move forward to our work ... with gratitude ... and thanksgiving to Almighty God that he has marked us as his chosen people, henceforth to lead in the regeneration of the world ... Our largest trade henceforth must be with Asia. The Pacific is our ocean ... and the Pacific is the ocean of the commerce of the future. The power that rules the Pacific, therefore, is the power that rules the world. And with the Philippines, that power is and will forever be the American Republic." (Emphasis in the original)
"Filipina adalah milik kita selamanya...dan lewat Filipina adalah pasaran Cina yang tak terbatas. Kita tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggungjawab kita di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan, untuk peradaban di dunia ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina, kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik Amerika."
Sejak itu, perusahaan minyak Standard (AS) mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak di Indonesia yang semula dikuasai penuh oleh Royal Dutch Company. Tahun 1907, Royal Dutch dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai mengebor minyak di Jawa Tengah. Dalam tahun yang sama perusahaan-perusahaan AS mulai menguasai perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre and Rubber membuka perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber membuka perkebunan-perkebunan karet di bawah satu kepemilikan yang terbesar di dunia.
Pada tahun 1939, lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah yang penting bagi Amerika Serikat dipasok dari Indonesia. Waktu itu masih dikenal dengan nama East Indies Belanda. Bagi Amerika Serikat, kekuasaan atas daerah ini merupakan misi utama dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dan setelah Perang Dunia II, kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.
17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Banyak negara-negara Asia-Afrika juga kemudian merdeka. Sejak itu, kapitalisme yang menjadi pendorong imperialisme, dan kolonialisme pun meluruh pamornya. Amerika Serikat sebagai pemenang atas Perang Dunia II merasa berhak mengambil manfaat atas kemenangannya itu.
Satu tahun sebelumnya. 1944, di pegunungan New Hampshire, di Bretton Woods, AS, dibentuklah IMF dan saudara kembarnya World Bank. Dari sana kemudian lahir gagasan Harrod-Domar yang menegaskan bahwa, pembangunan adalah masalah penyediaan modal semata. Dikembangkan pula gagasan David Mc Clelland yang menyatakan bahwa untuk menjadi maju, sebuah bangsa harus dibenahi mental dan motivasinya agar mereka mempunyai hasrat untuk meraih setinggi-tingginya prestasi dalam hidup. Need for achievement (n-ach). Untuk mewujudkan semua itu, perlu dikembangkan nilai-nilai budaya yang menjadi penunjangnya, usul Max Weber. Dan salah satunya adalah agama. Kemudian dilanjutkan oleh Rostow dan Hozelits yang mengusulkan perlunya lembaga-lembaga yang memungkinkan semua itu dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Dan itu adalah birokrasi, teknokrasi dan tentara.
Inilah garis besar tatanan ekonomi liberal yang dikenal dengan sistem Bretton Woods dan penerimaan atas cara pengelolaan ekonomi oleh kalangan elit-elit penguasa yang kemudian dikenal dengan nama Marshall Plan. Kompilasi atas teori-teori itu kemudian dikenal sebagai teori modernisasi. Di Indonesia, kita mengenalnya sebagai pembangunan.
Ya……sebuah ramuan lama dalam botol baru.
Dalam beleidnya, World Bank dimaksudkan untuk mengatasi kepincangan neraca pembayaran perdagangan internasional, terutama kelak sesudah perang selesai (setelah diyakini Sekutu akan menang). Tetapi secara tidak langsung, namun ini justru menjadi inti perkara: untuk konsultasi sistem liberalisme yang menjadi jiwa sistem mereka. Atau dengan kata lain, dan dari kacamata bekas negara-negara jajahan, untuk memperkokoh kembali struktur-struktur kolonialisme berpola menyetor bahan-bahan mentah (yang juga harus murah) dan menjual barang jadi (yang harus mahal), secara lebih intensif dan efisien dengan cara lain, mengingat dan kendali koloni-koloni itu politis resmi sudah merdeka.
Adapun IMF bertugas mendesak ditumbuhkannya keleluasaan maksimal untuk arus-arus barang-barang komoditi. Dan, Bank Dunia bertugas mempromosikan keleluasaan maksimal dalam arus internasional dari investasi modal.
Betul, IMF secara de yure hanya promotor, perantara dan penasihat bila menghadapi suatu pemerintah di suatu negara. Akan tetapi, praktis, segala penerimaan dan penolakan nasihat-nasihatnya adalah otomatis lampu hijau atau lampu merah yang menentukan suatu pemerintahan didukung atau dilawan. Sebab, liberalization is the prince of aid.
Januari 1948, pemerintahan Republik Indonesia, dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifuddin, menandatangani Perjanjian Renville. Perjanjian ini ditandatangani di atas kapal Amerika Serikat. USS Renville.
Fasilitasi oleh Amerika Serikat itu bukan bantuan gratis tentu saja. Peminjaman USS Renville untuk penandatanganan perjanjian itu juga dimaksudkan untuk memastikan keselamatan pasokan bahan mentah dari Indonesia ke negeri Paman Sam itu.
Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 persen dari karet Indonesia, 65 persen perkebunan kopi, 95 persen perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang difasilitasi AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran unit-unit rakyat bersenjata untuk kemudian disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia.
Desember 1948, Belanda menjalankan serangan militer. Tetapi perlawanan rakyat yang meluas memaksa Belanda menyerah dalam waktu enam bulan. Dan, konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Belanda itu diselenggarakan.
Inti perjanjian itu, Pemerintah Indonesia setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan di balik aling-aling pemerintahan parlemen di republik yang baru.
Tahun 1953, presiden AS Eisenhower, dihadapan konperensi gubernur negara-negara bagian mengatakan bahwa, pembiayaan oleh AS untuk perang kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.
Eisenhower menerangkan: "Sekarang marilah kita anggap kita kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan Tungsten yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India akan terkepung.”
Karena itu, Pemerintah AS memutuskan menyumbang US$ 400 juta untuk membantu perang di Indoncina. Kata Eisenhower, "Kita bukannya menyuarakan program bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan, kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia Tenggara."
Sampai kemudian, tahun 1954, Perancis kalah dalam perang di Indocina. Pemerintah AS menjadi khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol mereka atas Indonesia. Maka, didatangkan pasukan-pasukan Amerika Serikat ke wilayah Vietnam, juga ditebarkan ranjau darat serta bom-bom kimia yang bukan saja membunuh ribuan manusia. Tetapi juga kerusakan ekosistem yang luar biasa dan bayi-bayi dari perempuan tak berdosa yang mengalami mutagenik begitu luar biasa.
Tahun 1956-1965, Pemerintah Amerika Serikat mulai serius ’menggarap’ pemuda Indonesia. Kelompok ini disiapkan sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California.
Universitas Berkeley sendiri merupakan salah satu universitas terkemuka di Amerika dan para mahasiswanya terkenal progresif dan mayoritas anti perang Vietnam. Tetapi program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk di kemudian hari menjadi bagian dari hegemoni global Amerika. Disebut “Mafia”, mengambil idea dari organisasi kejahatan terorganisir di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisir menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Tahun 1965, sebelum kudeta 30 September, Richard Nixon, yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman saturasi guna melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelah itu, 1967, Nixon menyatakan bahwa, “Indonesia merupakan hadiah terbesar Asia Tenggara.”
Tahun 1971, Charlie Illingworth menuturkan pesan Nixon seperti ditulis John Perkins dalam Confessions of An Economic Hit Man yang populer itu. ”Presiden AS, Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China,“ kata bos Perkins itu, suatu kali di Bandung.
Aku tercenung…….entah murung, entah merenung, atau mungkin bingung…….
5 Juni 2006. Koalisi Anti Utang menyelenggarakan sebuah diskusi di Jakarta. Diskusi ini mengusung thema menarik. “Mafia Berkeley: Kegagalan Indonesia Menjadi Negara Besar di Asia.”
Ya....mereka membedah sebuah jaringan yang perannya begitu signifikan dalam perjalanan ekonomi, politik, sosial dan juga budaya Indonesia. Terutama sejak Pemerintahan Orde Baru menggantikan Orde Lama dan masih terus berlangsung hingga sekarang. Jaringan itu dikenal dengan nama Mafia Berkeley.
Dari cara kerja mereka, para pembicara menyebut bahwa, anggota Mafia Berkeley adalah pengabdi kekuasaan. Tak ada etis apapun, selain kekuasaan. Dalam banyak kasus, mereka juga menjadi public relations di berbagai forum dan media untuk memperlunak dan mempermanis image pemerintahan otoriter dan represif.
Efektifitas media relations itu terutama dilakukan dengan memberikan akses khusus, dalam bentuk bocoran informasi dan dokumen konfidential kepada satu media harian dan satu mingguan berita terkemuka. Kedua media tersebut memiliki pandangan yang sangat liberal dalam bidang politik dan sosial, tetapi sangat konservatif dalam bidang ekonomi.
Pola rekruitmen Mafia Berkeley dilakukan dengan prinsip utama loyalitas dan feodalisme, di atas kriteria profesionalisme. Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberikan kesempatan akademis di Amerika Serikat sehingga terjadi sikronisasi dan kesamaan cara berfikir.
Banyak di antara mereka kemudian diberikan kesempatan untuk menduduki berbagai posisi strategis. Di samping itu para kader diberikan berbagai bonus dalam bentuk perjalanan ke luar negeri, keanggotaan di berbagai komite dengan kompensasi finansial. Dengan struktur dan skala pendapatan yang berkali lipat lebih tinggi dari pegawai negeri dan ABRI, kader Mafia Berkeley merasa dirinya sangat elitis sehingga tidak memiliki emphati terhadap nasib pegawai-negeri, ABRI, dan rakyat.
Sumber pembiayaan utama dari lembaga-lembaga yang dikontrol mafia ini berasal dari bantuan dan grants dari IMF, Bank Dunia, USAID dan lembaga-lembaga kreditor internasional lainnya sehingga tidak aneh bila hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia, policy papers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Jika ada kebijakan Presiden atau menteri, yang bukan anggota Mafia Berkeley, dan menyimpang dari arahan Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia, USAID, anggota-anggota Mafia dengan cepat melaporkan kepada perwakilan IMF–Bank Dunia, USAID untuk dikritik di laporan-laporan resmi lembaga-lembaga kreditor. Kritik-kritik tersebut kemudian dipublikasikan di media-media kolaborator di dalam negeri.
Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dengan arahan IMF–Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman hutang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan global sehingga berbagai potensi Indonesia untuk menjadi negara besar di Asia tidak akan pernah terealisasikan. Mekanisme mengaitkan hutang luar negeri dengan covenants berupa penyusunan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, serta institusi-institusi baru yang makin super dan kompleks, juga memungkinkan adanya intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.
Adakah ini yang menyebabkan lingkar keterjebakan Indonesia kita?
Adakah karena itu pula, upaya bangsa ini dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan rasa-rasanya begitu sulit dan bahkan semakin jauh dari jangkauan?
Aku tidak tahu. Tetapi begitulah kenyataannya.......
Malam terus melarut.......hening....sepi....mengantar ingatanku singgah pada deretan waktu....
Sebuah layar bioskop seperti membentang di hadapan. Sebuah film disuguhkan.
”Need Full Things”, begitu judulnya.
......ketika laku setan dalam tubuh manusia mendatangi perkampungan. Di kampung yang damai itu, ia membuat berbagai macam jebakan. Tidak saja banyak jumlahnya. Tetapi juga disusun bertingkat. Saling kait dalam rumit. Complicated and multilevel traps, sehingga tidak satu pun penduduk kampung itu dapat terbebas dari jebakan sang setan.
Aku tercekat. Betapa cermat jebakan itu dibangun. Sebuah strategi penguasaan yang mengandalkan rasionalitas cerdas, seperti kerap dijumpai dalam dunia bisnis yang sarat persaingan atau perang moderen dewasa ini. Begitu tertata tertib jebakan demi jebakan itu dipasang. Sehingga manusia yang ada di dalam permainan itu tidak lagi merasakan bahwa yang ia dapati adalah jebakan. Para pemain justru merasa mengejar sesuatu yang ideal. Kerap, jebakan yang didapat justru dianggap sebagai solusi. Bahkan rakhmat Tuhan.
Tapi ternyata, satu solusi yang didapat, pada kenyataannya justru melahirkan dua permasalahan baru. Seperti deret ukur. Satu menjadi dua. Dua menjadi empat. Empat menjadi delapan, dan seterusnya. Sekali lagi, si penyusun strategi telah merancang sedemikian rupa cantiknya, sehingga para pemain tidak mudah sadar. Sampai kemudian, para pemain itu mendapati bahwa dirinya telah terjebak dalam sebuah lingkaran yang mungkin sudah tidak bisa lagi dilerai.
Plot film ini memang hampir serupa dengan The Devil’s Advocate yang terkenal itu.
Tapi.....Ah....kenapa begitu mirip dengan situasi Indonesia kita?
Ya....ketika situasi keterjebakan itu sudah terjadi, juga mantap dan melembaga dalam struktur sistem kepemerintahan suatu negari, maka hampir semua pilihan yang harus diambil untuk mengatasi suatu persoalan akan menempatkan kita seperti ”memakan buah simalakama.”
Atau.....
Aku merasa keadaan justru lebih parah dari itu. Dan mungkin lebih tepat bila disebut sebagai The Devil’s Alternative, seperti judul buku Frederick Forsyth. Ya...sebab apapun pilihannya, semuanya akan memakan korban. Ratusan, ribuan dan bahkan jutaan jiwa. Tanpa kuasa kita menghindarinya.
Aku tercenung…….entah murung, entah merenung, atau mungkin bingung…….
Sebab faktanya. Nyaris tidak ada kasus sejenis di dunia, di mana satu kelompok ekonom eksklusif berkuasa selama hampir 40 tahun nyaris tiada henti. Dari 1966-2006. Mereka menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi suatu negara.
Dan, negara itu bernama Indonesia.
Ya.....Indonesia telah mengalami pergantian presiden 5 kali sejak tahun 1966. Juga berulang kali melakukan perubahan sistem dan struktur politik. Pergantian pemimpin sipil maupun militer. Reformasi tentara dan sebagainya. Tetapi, pelaku perumus kebijakan ekonominya, nyaris tidak berubah selama 40 tahun. Tidak aneh tidak ada terobosan inovatif dalam strategi dan kebijakan ekonomi sehingga Indonesia semakin ketinggalan dibandingkan negara-negara besar lainnya di Asia.
Lalu, adakah pemerintahan kita yang telah dihasilkan dari pilihan rakyat secara langsung akan bertekuk-lutut di hadapan kekuatan serupa ini?
Aku tahu. Ini tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin.
Kita tahu pengalaman waktu Presiden BJ Habibie maupun Abdurrakhman Wahid tempo hari. Betapa segala penolakan dan penerimaan nasihat-nasihat IMF menjadi lampu merah dan lampu hijau yang menentukan suatu negara dilawan atau didukung?
Tapi, Malaysia di tangan Dr. Mahatir Mohammad terbukti bisa. Bahkan jauh memberikan maslahat yang lebih sempurna ketimbang kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis 1998 itu.
Sebab, seperti juga ditulis Cheryl Payer, kesediaan yang selalu dituntut IMF kepada negara-negara yang meminta bantuan ialah program stabilisasi. Hanya untuk apa?
”Liberalization of exchange and import control is the heart of each IMF stabilization programme,“ tulis Cheryl Payer dalam bukunya The Debt Trap. Stabil untuk siapa?
Ya...siapa lagi kalau bukan World Bank dan IMF yang menanamkan modal asing dalam negeri itu, agar arus import-export dapat diselenggarakan secara bebas maksimal.
Dalam buku The Debt Trap yang kini terasa sudah begitu klasik (terbit di pertengahan 70-an), dari sejak awal hingga akhir kita seperti ditunjukkan betapa bangsa-bangsa miskin berusaha keras untuk meraih kontrol sekadarnya atas ekonomi-ekonomi mereka, dan bagaimana peranan IMF yang justru meremuk (frustrating) usaha-usaha itu....selaku penghalang perkembangan bangsa yang otonom.
Sebagai ilustrasi, Cheryl Payer menguraikan penyelidikannya atas sejumlah kasus yang cukup tipikal. Mulai dari masalah impor-ekspor di Filipina, lika-liku panas perang Vietnam, kasus Yugoslavia selaku sistem sosialis yang terkena jaring-jaring IMF, penghancuran demokrasi di Brazil dan Korea Utara. Juga, satu bab penuh tentang kasus Indonesia dengan IMF, World Bank, IGGI dan sebagainya dalam judul, Indonesia: A“Success Story“ (dengan tanda petik), karena dalam bagian itu, Cheryl Payer berkesimpulan bahwa, Indonesia adalah sama sekali bukan kisah sukses.
Meski begitu, sebagian besar elit pemikir yang menjadi pengendali berbagai lembaga negara sejak masa awal Orde Baru justru terus saja berupaya keras untuk memastikan peran IMF/Bank Dunia dengan berbagai jejaringnya di negeri ini. Ya...jejaring pengendali di dalam negeri itu salah satunya adalah Mafia Berkeley ini. Dan jejaring ini telah membengkak dan berbiak selama 40 tahun, sehingga.........
Ya.....Aku tahu. Ini tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin.
Dan harapku. Ada baiknya kita mengingat kembali tekat para pendiri republik Indonesia ini. Bahwa, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Juga harapku, ada tekat untuk mandiri, dengan keluar dari segala bentuk penjajahan, juga berbagai bentuk jebakan.
Ya....tantangan hari ini memang jauh lebih majemuk ketimbang di masa lalu. Tetapi, seperti juga para pendiri republik ini yang dalam segenap keterbatasan, toh bisa mengatasi permasalahan, tantangan dan ancaman pada jamannya. Dan mewariskan kepada kita sebuah negara merdeka. Betapapun centang-perentangnya.
Meski tentu. Kita juga jangan pernah lupa. Bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu adalah, Berkat Rakhmat Allah Subhana Wa Ta’ala, juga.
Ya......semoga saja bisa segera.**


(2) INIKAH BABAD INDONESIA RAYA?
Tuhan Maha memahami bahasa setiap makhluk-Nya dan tidak meminta orang hutan belantara pedalaman menggunakan bahasa orang pesisir, karena sepatah kata bisa menentukan apakah sebilah pedang disarungkan atau ditancapkan.
MALAM telah cukup larut, di atas batu datar itu, di Lipuro, Panembahan Senopati lelap tertidur. Letih. Ia ingin bebas. Lepas dari kekuasaan Pajang. Begitu ditulis dalam Babad Tanah Djawi. Tak lama kemudian, ia dibangunkan Ki Mondoroko Juru Martani. Penasehat spiritualnya. Dan, ketika itu pula, sebuah bintang turun di dekat kepalanya.
Dan, terjadilah dialog itu. Si bintang berucap, keinginan Senopati akan diluluskan Hyang Maha Kuasa..........
Seting sejarah dimulai. Sebuah transformasi politik diawali. Dari gaya kepemimpinan pesisiran yang berwatak lebih terbuka, egaliter dan demokratis, menuju atau menjadi kekuasaan pedalaman yang relatif lebih tertutup. Proses pemusatan kekuasaan pun dibuat memusat agar stabilitas negara tetap terjaga.
Di mata para penelaah, ketertutupan dan pemusatan inilah yang menjadi awal dan sekaligus sumber kegagalan kerajaan Jawa, Mataram. Namun kemudian, di-copy begitu saja setelah Indonesia merdeka. Ya....sentralisasi kekuasaan. Pada satu tangan yang kemudian menghadirkan beragam persoalan.
Sebab, sentralisasi kekuasaan itu, tidak pernah bisa membawa kemajuan kepada rakyat Jawa. Dan, dalam pidato budayanya, WS Rendra menyebutkan bahwa, ”dipandang dari segi kepentingan rakyat, raja-raja Mataram adalah raja-raja yang gagal. Tidak ada kharisma mereka, sehingga gagal menyatukan Jawa”.
Rendra, dalam pidatonya itu kemudian mengutip laporan Joonnes de Barros, dalam bukunya Decadas Da Asia, yang juga merupakan sebuah dokumen pertama Eropa yang menuliskan nama Jayakarta. ”Orang Jawa itu angkuh, berani, berbahaya dan pendendam. Kalau tersinggung perasaannya sedikit saja, terutama kalau disentuh kepala atau dahinya, terus mengamuk dan membalas dendam.”
Seorang Portugis lain, Diego de Couto, yang juga dikutip Rendra, melaporkan bahwa ia mengagumi kecakapan berlayar orang-orang Jawa. Begini kutipan itu:
“Bahasa Jawa selalu berkembang dan punya aksara sendiri. Namun, mereka begitu angkuh sehingga menganggap bangsa lain lebih rendah. Maka kalau orang Jawa lewat di jalan, dan melihat ada orang bangsa lain yang berdiri di onggokan tanah atau suatu tempat lain yang tinggi dari tanah tempat ia berjalan, dan apabila orang itu tidak segera turun dari tempat semacam itu, maka ia akan dibunuh oleh orang Jawa itu. Sebab ia tidak akan memperkenankan orang lain berdiri di tempat yang lebih tinggi. Juga orang Jawa tak akan mau menyunggi beban di atas kepalanya, biarpun ia diancam dengan ancaman maut. Mereka adalah pemberani dan penuh keyakinan diri dan hanya karena penghinaan kecil saja bisa melakukan amuk untuk balas dendam. Dan meskipun ia telah ditusuk-tusuk dengan tombak sampai tembus, mereka akan terus merangsek maju sehingga dekat kepada lawannya.”
Ah....mungkin terlalu berlebihan gambaran itu. Tapi, ada juga kebenarannya. Orang Jawa akan mudah marah bila disentuh kepala atau dahinya.
Mereka penuh harga diri dan pasti diri. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab Salokantara dan Jugul Muda. Keduanya adalah kitab undang-undang semasa Demak yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para Wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun.
Hanya kemudian, begitu muncul Panembahan Senopati, rasa hormat pada daulat hukum itu dilecehkan. Sultan bergelar Sayidin Panatagama, dan terus sampai kepada seluruh keturunannya ini begitu fanatik terhadap kekuasaan raja yang mutlak dan sentralisasi kekuasaan. Rakyat disebut kawula (abdi) dan bukan warganegara. Hidup rakyat tidak pasti. Inisiatif mereka mulai terbatas. Banyak larangan untuk ini dan itu. Rakyat tak bisa mengontrol atau memberi tanggapan kepada kekuasaan. Maka daya hidup rakyat merosot.
Yacob Couper, panglima tentara Belanda, menganggap daya tempur tentara Mataram sangat rendah. Sangat jauh dari deskripsi yang dilukiskan Joonnes de Barros ataupun Diego de Couto.
Ah..... mungkin sejarah memang tidak ada, karena yang nyata adalah kekuasaan.
Dan, Babad Tanah Djawi, baik bentuk maupun isinya memang ditentukan oleh kepentingan raja-raja Mataram. Termasuk plot dialog antara bintang –mewakili penguasa semesta alam—dengan Panembahan Senopati.
“Karena Babad, memang diberi fungsi sebagai alat legitimasi yang melembagakan definisi dari realitas,” begitu kata ahli sejarah Sartono Kartodirdjo.
Dengan demikian, ia berfungsi pula sebagai pengelola universum serta orde yang berkuasa. Dan, di tengah tradisi yang tertutup diselimuti kabut ini, persoalan kepemimpinan di dalam tradisi Jawa nampak disarati misteri. Hal itu masih terus berlangsung hingga kini. Konsep ‘raja’ adalah penyangga dan sekaligus penghubung mikrokosmos dan makrokosmos kehidupan manusia dan alam semesta terus diberlangsungkan hingga kini.
Walau, menarik juga mengutip pemikiran A.Teeuw. Menurutnya, babad bukanlah sekadar cerita sejarah, tetapi juga sebagai karya sastra. Dalam babad sebagai karya sastra, genealogi, silsilah, raja-raja barangkali bisa dipandang sebagai plot cerita. Dengan kata lain, genealogi menentukan urutan peristiwa yang diceritakan. “Sebagian besar unsur-unsur cerita tidak saling berhubungan satu sama lain, tetapi unsur-unsur itu bertaut konsistensi dan relevansinya pada plot utama, yakni genealoginya,” begitu A.Teeuw dalam Genealogical Narrative Texts as an Indonesian Literary Genre.
Dan, si bintang, dalam Babad Tanah Djawi itu kemudian meneruskan ’titahnya’.....
Ia (Panembahan Senopati) akan memerintah Mataram, demikian pula putra dan cucunya. Tetapi, buyutnya akan menjadi raja terakhir dan Mataram kerajaannya akan ditimpa bencana.
Buyut itu tidak lain adalah Amangkurat I, putra Sultan Agung, cucu Seda ing Krapyak dan tentu saja buyut Senopati. Ia terpaksa meninggalkan Mataram, akibat pemberontakan Trunojoyo. Setelah peristiwa itu, kraton dipindahkan oleh Amangkurat II ke Wonokerto, yang kemudian diubah namanya menjadi Kartosuro.
”Kala semanten sang nata sabarang karsanipun ewah kalijan adatipun, asring misesa tijang, tansah nggelaraken sijasat. Para boepati, mantri toewin para sentana sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung resah tataning nagari. Tijang samatawis sami miris manahipoen, serta asring grahana woelan toewin srengenge; djawah salah mangsa, lintang koemoekoes ing saben daloe ketingal. Djawah awoe oetawi lindoe. Akatah delajat ingkang ketingal. Poenika pratandanipoen, jen negari bade risak.”
“Ketika itu, raja bertindak sekehendak hatinya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindakan kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalahgunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhana bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.”
Ya.....meski sempat dua kali Sultan Agung menyerang VOC, tetapi raja kedua Mataram ini tidak mampu menjamah Batavia. Dilemahkannya wibawa dan daulat rakyat oleh para raja Mataram menjadikan daulat raja semakin meluruh. Dan, pada masa Amangkurat I, kerajaan sudah mulai compang-camping. Rakyat semakin menderita. Baik oleh kelakuan raja maupun oleh letusan Gunung Merapi serta juga tertimpa kelaparan selama 1674-1676, begitu ditulis de Graaf.
28 Juni 1677, Kraton Mataram di Plered jatuh. Rakyat yang menderita kelaparan, serbuan tentara Trunojoyo, serangan pihak Makasar, intervensi bala tentara VOC dan pecahnya kekerabatan kraton menjadi komponen penyebabnya. Dan akhirnya, Amangkurat I pergi ke Tegal, meminta perlindungan kepada VOC. Belum sampai Tegal ia sudah sekarat. Di Tegal Wangi, pada 10 Juli 1677, Amangkurat I mangkat. Konon, dalam keadaan sekarat, ia diracun anaknya yang kemudian menggantikannya dan bergelar Amangkurat II.
Gubernur Jenderal VOC, Cornelius Speelman, menyebut Amangkurat II ini sebagai "anak emas kompeni". Raja ini menyebut Gubernur "Eyang" dan menyebut komandan militer lokal Belanda dengan sebutan "Romo". Dan, di tangan Amangkurat II inilah, hutan-hutan dan wilayah Semarang hingga Surabaya digadaikan kepada VOC.
Dan, si bintang, dalam Babad Tanah Djawi itu kemudian meneruskan ’titahnya’..... dalam ’Babad Indonesia Raya’, diakhir milenium II dan diawal milenum III ........
Babad ini sedang disusun sendiri oleh perjalanan sejarah.... yang sekali lagi seperti pemikiran A.Teeuw, . “Unsur-unsur cerita sebagian besar tidak saling berhubungan satu sama lain, tetapi unsur-unsur itu bertaut konsistensi dan relevansinya pada plot utama, yakni genealoginya,”
Juga seperti kata ahli sejarah Sartono Kartodirdjo: “Karena Babad, memang diberi fungsi sebagai alat legitimasi yang melembagakan definisi dari realitas”.....
Si bintangpun mengingatkan aku tentang drama pergulatan kita beberapa waktu lalu dengan ExxonMobil menyangkut sumber minyak dan gas di Blok Cepu yang begitu seru. Juga tentang Freeport McMoran dan berbagai sumber-sumber tambang yang mengisi perut bumi Indonesia. Apa yang terjadi dengan semua itu?
Dari waktu ke waktu. Dari kontrak karya ke kontrak karya lainnya......plot cerita dan deritanya hampir sama.
11 Agustus 2004, Widya Purnama diangkat menjadi Dirut Pertamina, menggantikan Ariffin Nawawi. Lima belas hari kemudian, 26 Agustus 2004, kerjasama ExxonMobil dan Pertamina di Blok Cepu dihentikan. Alasannya, ExxonMobil tidak beritikad baik.
Presiden AS, George W. Bush meradang. Dan Bush, konon mengagendakan hal itu pada saat berbicara dengan Presiden RI. Saat keduanya berjumpa di pertemuan APEC, di Cili November 2004.
Entahlah apa isi pembicaraan itu,
Bagi Bush, kehadiran ExxonMobil di Blok Cepu adalah sebuah keharusan. Dan, Bush merasa perlu ‘menekan’. Sebab, ExxonMobil kabarnya menyumbang US$ 2,8 juta kepada Bush dalam pemilu presiden 2004. Angka ini belum terhitung sumbangan-sumbangan lain terhadap orang-orang di sekitar Bush.
29 Maret 2005, Pulang dari Cile, pemerintah langsung berbenah. Meneg BUMN membentuk tim perunding dengan ExxonMobil. Tim itu diketuai Martiono Hadianto, yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Anggota tim 10 orang, terdiri dari Martiono, Roes Aryawijaya, Lin Che Wei, Muhammad Abduh, Umar Said, Mustiko Saleh, Iin Arifin Takhyan, Achmad Rochjadi, M. Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng.

Dalam daftar itu tidak tampak nama Widya Purnama. Direksi Pertamina hanya diwakili Mustiko Saleh, Wakil Direktur Utama Pertamina. Sedangkan semua anggota komisaris Pertamina ada di sana. Lin Che Wei adalah tenaga ahli Meneg BUMN, Sugiharto yang menjabat sebagai sekretaris dalam tim tersebut. Sedangkan M. Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng konon adalah orang dekatnya Aburizal Bakrie yang kala itu masih menjadi Menko Perekonomian.

Perebutan soal siapa pengelola Cepu ini memang sudah cukup lama. Sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid, Exxon sudah berulangkali melobi pemerintah agar bisa lolos. Begitu juga ketika Presiden Megawati. Tapi belum juga ada keputusan bulat. Kwik Kian Gie, konon merupakan menteri yang paling getol menolak Exxon.
Tarik ulur pengelolaan Cepu kembali marak setelah pertemuan di forum APEC itu. Pertamina dan Exxon masing-masing ngotot agar bisa menjadi pengelola. Keduanya merasa mampu mengelola lapangan minyak dan gas tersebut. Pertamina didukung oleh sebagian tokoh-tokoh kritis yang peduli terhadap nasib bangsa: Bangsa Indonesia. Exxon juga didukung mereka yang peduli nasib bangsa: Bangsa Amerika.
Lebih dari enam bulan, perang wacana dan perang data diluncurkan. Pemerintah mendapat tekanan dari tokoh-tokoh kritis dan anggota DPR agar Pertamina lolos. Pemerintah juga mendapat tekanan dari Amerika agar Exxon lolos. Entahlah apa alasannya. Hasil akhirnya, tekanan Amerika lebih dipertimbangkan: mereka (di)menang(kan).
Ahaa…..sebesar apa toh pepesan yang diperebutkan itu?
Menurut hasil kajian Humpuss Patragas (pemilik pertama blok ini), cadangan minyak yang bisa dieksploitasi mencapai 2,6 miliar barrel, dengan total produksi nantinya 170 ribu barel per hari. Kelak miliaran dolar akan bisa diraih dari sumber minyak dan gas ini.

Soal teknologi, Pertamina dengan pengalaman selama 48 tahun yakin betul mampu karena eksplorasi Blok Cepu ini memang relatif lebih mudah. ”It’s peanut”, begitu kata Widya Purnama ketika aku ketemu sendiri dengan dia. Soal pendanaan juga tidak terlampau susah.
Dengan cadangan yang luar biasa, bank mana yang tidak berminat membiayainya?

Namun, tarik-menarik berbagai kepentingan begitu kuat terasa. Pemerintah Amerika berkali-kali menekan agar Exxon dimenangkan, bahkan Presiden Bush sesekali turun tangan. Pemerintah cq. Wapres mengatakan bahwa, operasional Cepu bukan masalah nasionalisme tetapi profesionalisme. Menneg BUMN memberi prasyarat untuk mengelola Cepu adalah modal, sistem logistik, kemampuan teknologi, dan pengalaman eksplorasi daerah lain. Dan jika diperbandingkan antara Pertamina dan Exxon, maka pernyataan itu mengarah ke Exxon. Lalu, penegasan Presiden bahwa Pertamina akan di-overhaul menyiratkan bahwa Pertamina perlu berbenah diri dulu. Tergusurnya Widya Purnama dari dirut Pertamina, menjadi penutup cerita. Sebab, selama ini dialah yang paling ngotot agar Pertamina yang mengelola lapangan Cepu.
Dan............. Tuhan Maha memahami bahasa setiap makhluk-Nya dan tidak meminta orang hutan belantara pedalaman menggunakan bahasa pesisir, karena sepatah kata bisa menentukan apakah sebilah pedang disarungkan atau ditancapkan.

Namun, kata akhir dari semua itu ada di tangan Presiden…………

Prinsipnya hanya satu, konstitusi Negara Republik Indonesia ini dengan tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Senin, 13 Maret 2006. Pengelolaan tambang minyak Blok Cepu yang ramai dibicarakan masyarakat akhirnya berhenti dengan disepakatinya kerjasama Pertamina-Exxon tentang oganisasi pengelolaan bersama. Dalam Joint Operation Agreement (JOA) yang struktur organisasinya tertuang dalam Cepu Organization Agreement, Exxon resmi menjadi 'komandan' dalam pengelolaan ladang minyak dan gas di Cepu. Dan
Pertamina, sebagai pihak yang memiliki lapangan tersebut, cukup dijadikan wakil saja.

Rabu, 15 Mar 2006, Menlu AS Condoleeza Rice berkunjung ke Indonesia.

Dan, karpet merah kinyis-kinyis digelar……..
“Welcome, Condy”, begitu sapa ramah para pemimpin negeri …..
Dan, dengan segera pula Condoleeza Rice menjawab, “Well done, sir.”.
Ah....tapi …. inikah Babad Indonesia Raya?
Kantukku hebat berkecamuk. Hari sudah jelang subuh. Petang akan segera berganti pagi. Tapi si bintang, sebelum pamit ke asalnya, membawa ingatanku ke pertengahan tahun 1700-an. Kepada sepotong surat perjanjian, dari seorang Gusti Kanjeng Paku Buwono II, salah seorang cucu Amangkurat II kepada penjajah Belanda.
Kala itu, 11 Desember 1749, kepada Kompeni Belanda, Gusti Kanjeng Paku Buwono II menuliskan suratnya. Sebuah surat perjanjian, yang kemudian ternyata berulang kali ditiru para kanjeng susuhanan lainnya di generasi-generasi berikutnya. Begini bunyi surat itu:
"Inilah surat perkara melepaskan serta menyerahkan terhadap keraton Mataram, dari kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Panatagama, ialah dikarenakan oleh perintah Kanjeng Kumpeni yang agung itu, keratuan ini diserahkan kepada Kanjeng Tuwan Gupernur serta direktur di tanah Jawa Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf.
Hamba,
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama."
Ok…….Well done, tuan raja……..
Lalu akupun tertidur. Nyenyak betul tidurku. Senyenyak tidurnya Kumbakarno di Panglebur Gongso, karena tidak tega melihat kekejaman kakaknya. Rahwana**

Jumat, 09 April 2010

WARAS


MINGGU lalu, saya menonton di sebuah film dokumenter tentang Mordechai Vanunu, orang Israel yang membocorkan rahasia proyek senjata nuklir di Reaktor Dimona milik Israel. Pertama, saya merasa biasa-biasa saja. Saya tahu bahwa reaktor nuklir itu dibangun Israel atas bantuan AS dan Perancis; bahwa usia reaktor yang sudah hampir 30 tahun itu, sudah tidak layak beroperasi dan setiap saat bisa memuntahkan radiasi di area yang sangat luas; bahwa minimalnya, pada saat 1986, reaktor itu sudah memproduksi 200 hulu ledak nuklir, entah berapa persediaan mereka saat ini, bla…bla..bla…
Namun, film itu menjadi menarik ketika Vanunu menceritakan pengalaman batinnya. Dia mulai bekerja di reaktor nuklir Dimona sejak tahun 1976. Ketika ia mengetahui bahwa reaktor itu memproduksi senjata nuklir, batinnya mulai memberontak. Secara diam-diam, ia mengambil 57 foto (dan ini merupakan satu-satunya rangkaian foto bagian dalam reaktor Dimona yang sampai ke dunia luar hingga kini). Dia lalu memutuskan berhenti dari tempat kerjanya tersebut, dan hijrah ke Australia, sambil membawa rol film rahasia itu.
Di benua Kangguru itu, ia masuk Kristen dan bekerja sebagai sopir taksi. Dia pun kembali bergulat dengan batinnya sendiri. Bila ia membocorkan rahasia ini, nyawanya menjadi taruhan. Namun bila dia diam saja, nyawa seluruh umat manusia di dunia berada dalam ancaman. Akhirnya, Vanunu mengambil pilihan pertama: ia menyerahkan foto-foto itu kepada wartawan Sunday Times, sebuah surat kabar yang berpusat di London. Vanunu pun dipanggil ke London untuk dikonfirmasi dengan para pakar nuklir Inggris untuk membuktikan kebenaran laporannya.
Sunday Times bahkan juga mengirimkan pakar ke Israel, untuk mengecek identitas Vanunu dan reaktor Dimona. Namun inilah kesalahan besar Sunday Times, dan inilah awal dari malapetaka yang menimpa Vanunu. Mossad, Dinas Rahasia Israel, mencium jejaknya dan mengirimkan seorang agen cantik. Pada saat itu, kondisi psikologis Vanunu sangat down. Ia benar-benar ketakutan. Ia merasa dikhianati oleh Sunday Times yang tidak kunjung menerbitkan berita mengenai senjata nuklir Israel. Ia merasa sendirian. Si cantik agen Mossad itu datang menawarkan cinta dan Vanunu pun terpikat. Ia mau saja diajak ke Roma untuk berlibur. Di sana, Vanunu ditangkap dan diselundupkan dengan kapal ke Israel.
Pada tanggal 5 Oktober 1986, Sunday Times memasang sebuah headline: "Revealed: The Secrets of Israel's Nuclear Arsenal." Dunia pun gempar. Namun, di mana Vanunu? Dia saat itu berada di sebuah sel sempit, dengan lampu super terang yang bersinar 24 jam, yang membuatnya tidak bisa tidur. Dia dilarang bicara dengan siapapun. Dia tidak tahu hari, jam, detik. Dia tidak mendengar apapun, tidak melihat apapun. Dua setengah tahun ia menjalani kehidupan seperti ini. Mentalnya jatuh, jiwanya terkoyak. Namun ia bertahan.
Setelah melewati dua setengah tahun penyiksaan itu, dia menjalani pengadilan. Dia sama sekali tidak berhak berbicara satu patah katapun. Dia berkali-kali diberangus, ketika berusaha meneriakkan suatu kalimat. Vonis pun jatuh. Dia harus menjalani kehidupan penjara hingga tahun 2004. Selama 18 tahun masa penjara, 11 setengah tahun di antaranya, dilaluinya dalam sel isolasi. Sendiri. Namun ia bertahan.
Saya terus menatap layar televisi. Saya lihat rekaman ketika Vanunu dibebaskan tanggal 21 April 2004. Rambutnya memutih. Wajahnya yang dulu tampan, nampak mulai keriput. Saya perhatikan matanya yang memancarkan ketegaran, meski terkadang memancarkan kepahitan tak terkira ketika menceritakan pengalamannya di sel isolasi.
Saya bertanya-tanya, kekuatan apa yang membuatnya bisa bertahan menghadapi siksaan psikis selama 18 tahun itu? Kekuatan apa yang membuatnya tetap menjadi manusia waras dan bahkan langsung melanggar peraturan ketika ia dikeluarkan dari penjara: ia langsung melakukan wawancara dengan wartawan asing. Bila dia seorang muslim, akan mudah dicari jawabannya, mungkin keimanan pada Allah, mungkin jihad, mungkin…entahlah.
Di akhir film, baru saya tahu jawabannya: “Saya tidak mau mereka (Israel) merenggut kebebasan saya. Saya adalah manusia bebas dan tidak ada siapapun yang bisa mengambil kebebasan itu dari diri saya.” **IBA

SUMPAH


KITA tidak pernah tahu bagaimana api yang bergejolak di dada para moyang kita yang pada 28 Oktober 1928 lalu menggemakan sumpah. Sumpah tentang sebuah Indonesia. Saya juga tidak pernah tahu suasana hati Bung Karno ketika membacakan teks tentang sebuah Indonesia: Proklamasi. Kita juga tidak pernah tahu ketika anak-anak negeri belia ini nekat menantang kekuasaan tentara kolonial Belanda dengan hanya bermodalkan semangat dan sumpah: Merdeka atau Mati.
Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa, begitu kata Milan Kundera. Sebab, “setiap kebudayaan, setiap lapisan sosial, setiap abad, membangun alibinya sendiri untuk melakukan agresi,” tulis Peter Gay dalam sejarah tentang pengalaman kelas menengah Eropa, di sebuah jilid yang ia namai The Cultivation of Hatred.
Bagi Peter Gay, abad 19 adalah abad yang mengolah kebencian. Kebanggaan etnis dan kecemasan etnis dalam banyak hal tak bisa saling dibedakan, lanjut Gay.
Namun, seperti abad-abad lalu, termasuk tahun 2007 yang akan segera berlalu dan menjadi masa lalu, ia adalah sebuah teks, dan ingatan adalah sebuah tafsir. Tapi, adakah di balik teks itu tersembunyi sebuah medan magnet dan setiap tafsir tentang masa lalu itu bergerak tertarik ke arah sana? Dan siapakah yang ada di sana itu?
Dalam bacaan sejarah kita sebagai orang Indonesia, yang ada di sana adalah Tuhan, meskipun sejatinya Tuhan ada di sini. Jauh lebih dekat dari urat nadi kita sendiri.
Karena itu, jalan menemukan Tuhan. kata Gandhi, adalah dengan melihat Dia dalam ciptaan-Nya dan bersatu dengan ciptaan itu. Inilah kebenaran yang dimaksudkan Gandhi. Dan, cara bersatu, berdamai, selaras dengan alam ciptaan itu disebutnya sebagai ahimsa yang tidak hanya terbatas pada keyakinan atau sikap, melainkan merupakan suatu keseluruhan hidup yang meliputi pikiran, tindakan dan kata-kata.
Ahimsa dapat diartikan secara positif dan negatif. Dalam artian negatif, ahimsa adalah mengindari tindakan-tindakan, kata-kata, dan pikiran-pikiran yang melukai sesama. Secara positif, ahimsa berarti suatu sikap menyeluruh yang membangun cinta, berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada diri kita.
Gandhi melihat kebenaran bukan sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang konkret. Kebenaran itu menampakkan diri kepada kita sesuai dengan kondisi dan situasi kita. Manusia sebagai animal bersifat himsa, membunuh. Tetapi sebagai roh dia adalah ahimsa.
Hanya mereka yang mampu mengalahkan ketakutanlah yang sungguh-sungguh dapat memiliki ahimsa, sehingga mereka benar-benar menjadi orang yang dalam seluruh hidupnya hanya mau bepegang kepada kebenaran atau satyagraha. Ahimsa dapat dilihat sebagai dasar dan pedoman untuk bertindak, makanya satyagraha sebagai tindakan konkret bagi pecinta dan pejuang kebenaran haruslah bersifat dinamis, terus berjuang mengatasi rasa pusat diri setelah suatu perjuangan berhasil dicapai.
Pandangan Gandhi tentang ahimsa dan satyagraha juga sejalan dengan pandangan Teilhard de Chardin S.Y, tentang evolusi. Menurut Teilhard, puncak noosphere adalah cinta. Cinta merupakan daya kosmis yang paling universal dan misterius. Tanpa memahami peran cinta sebagai faktor dinamika yang secara mutlak di dalam evolusi alam semesta, maka pengertian tentang evolusi itu belum lengkap.
Cinta baru mendapat titik kesempurnaannya jika cinta itu membuka dirinya untuk dunia dan alam semesta serta umat manusia seluruhnya, jika cinta itu menjadi universal; dengan memeluk dunia, ia memeluk Tuhan. Titik. Inilah yang oleh Teilhard disebut sebagai Titik Omega. Cinta yang di hati adalah cinta sebagai energi yang selalu berkaitan dengan kearifan sebagai sikap hidup. Hal ini berarti bahwa orang membuka diri terhadap dunia dan melompat ke dalamnya. Dengan demikian, potensi cinta itu mewujud nyata. Seperti pada para pendiri negeri ini yang pada 1928 lalu, dengan cinta mereka melanggamkan sumpah:
Kami putra dan putri Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia
Sebab dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam setiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.**Sahabat Pena

BAHTERA NUH


AKHIR april lalu, puluhan warga Kecamatan Poncokusumo, berbondong-bondong memprotes penebangan empat pohon di areal konsesi Perhutani, Kabupaten Malang. Warga khawatir, penebangan itu akan menjadikan lereng Selatan Semeru yang kini telah rusak cukup parah akan semakin gundul.
Menurut warga, kerusakan hutan setahun terakhir di Poncokusumo telah menaikkan suhu lokal menjadi 24-26 derajat Celcius, sehingga tanaman apel yang membutuhkan suhu harian antara 18-20 derajat Celsius tidak lagi bisa tumbuh. Selain itu, warga juga mendapati matinya sumber air, juga longsor tahun lalu akibat banjir Kali Lesti yang menghantam rumah dan sawah di Kecamatan Wajak.
”Kita berdiam dalam suatu penggalan pendek sejarah manusia. Di antara zaman kendala ekologi dan zaman bencana ekologi”, tulis George Monbiot dalam bukunya, “Heat. Zona nyaman”.
Kini pilihan ada di tangan manusia: berbuat seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa (business as usual) atau segera menjalankan Plan B, seperti dituliskan Lester R Brown.
Pohon meranti, misalnya, butuh waktu lebih dari 50 tahun untuk mencapai diameter batang lebih dari 50 sentimeter. Namun, dengan mesin potong, ratusan tegakan pohon seukuran itu dibabat setiap hari. Di Kalimantan, Sumatera, juga di Poncokusumo.
Belum lagi sumber daya alam berupa gas, minyak bumi, batu bara, dan bahan mineral lain yang pembentukannya butuh waktu jutaan tahun. Ketika sumber daya dieksploitasi, karbon yang ada di dalam bumi dilepaskan. Di luar emisi karbon, kehidupan di atasnya pun punah karena hewan-hewan kehilangan habitatnya akibat kegiatan pembukaan hutan. Hewan akan punah karena suhu bumi naik, yang mengakibatkan perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan siklus kehidupan hewan terganggu. Uang tunai mengalir dalam waktu singkat, cash and carry, sementara dampaknya: tak tersembuhkan.
Jika kondisi bumi yang sudah nyaris sampai pada ambang ketahanannya ini tidak segera diatasi dengan tindakan radikal, pemanasan global akan berlangsung lebih cepat.
Jika tahun 2030 konsentrasi CO2 bertahan seperti saat ini (kemungkinan besar akan terjadi mengingat negara maju tidak mampu memenuhi kewajiban mengurangi emisi karbonnya 5-15 persen dari emisi tahun 1990 pada tahun 2012), bukan tidak mungkin pada 2030 konsentrasi CO2 akan sama seperti saat ini—sebab jumlah manusia semakin banyak sehingga emisi karbon pun semakin banyak.
Jika kondisi itu tercapai, suhu bumi akan meningkat 2°C di mana semua sistem mayor akan mulai kolaps sehingga karbon yang ada dalam bumi akan terlepas ke atmosfer dan saat itulah perubahan iklim tidak dapat lagi dikendalikan. Saat itulah kehidupan bumi dipertaruhkan. Saat itulah sebagian besar kehidupan di muka bumi akan punah—serupa dengan berakhirnya zaman Permian 251 juta tahun lalu.
Dan kita adalah generasi paling beruntung. Kita hidup pada sebuah jeda pendek, sebuah titik persimpangan eksistensial. Tapi tidak bagi generasi anak-cucu kita. Dan itu menempatkan kita untuk memilih satu diantara dua pilihan yang tersedia: berbuat seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa atau segera menjalankan Plan B.
”Tak pelak lagi, perubahan iklim adalah tantangan paling besar dan paling urgen saat ini,” ujar PM Inggris Tony Blair saat masih memegang jabatan.
Dan di 1.100 kilometer dari kutub Utara, di sebuah gunung beku, di Kepulauan Svalbard, Norwegia, akhir Februari 2008 yang lalu, Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg, memfungsikan sebuah Kubah Kiamat (Doomsday Vault) yang disebutnya sebagai ”Svalbard Global Seed Vault”.
"Ini adalah 'Bahtera Nuh' untuk melindungi keragaman biologi generasi masa depan," ujar Stoltenberg, dalam upacara pembukaan fasilitas ini yang juga dihadiri Presiden Komisi Eropa, Jose Manual Barroso, dan penerima Nobel Perdamaian 2004, Wangari Maathai, dari Kenya.
Kubah yang dibangun atas prakarsa Global Crop Diversity Trust, lembaga yang didanai badan PBB untuk urusan pangan dan Biodiversity Internasional yang berbasis di Roma, Italia, serta dibangun selama satu tahun dengan biaya pembangunan mencapai US$ 9,1 juta ini berada di dalam perut gunung sedalam 127,5 meter. Fasilitas ini akan menyimpan cadangan bibit dari ratusan bank benih dari seluruh dunia dengan kapasitas mencapai 4,5 juta sampel benih. Dan, jika terjadi bencana alam yang sangat besar sehingga memusnahkan sumber pangan, biji-bijian tersebut diharapkan menjadi penyelamat manusia dari kelaparan.
Seperti satu-satunya pilihan yang ditawarkan Brown, yaitu melakukan mobilisasi besar-besaran untuk menggembosi economic bubble sebelum dia mencapai titik ledak. Namun, sebuah ’Bahtera Nuh’ di tengah kedinginan yang membeku itu belumlah cukup.
Kerjasama internasional masih harus terus digalang untuk menstabilkan populasi, iklim, permukaan air tanah, dan tanah. Juga harus ada kejujuran pasar—memasukkan kalkulasi lingkungan dan sosial pada produknya, dan menggeser pajak bukan pada produk, namun pada kerusakan lingkungan.
Inilah ”perang” kita mulai hari ini dan seterusnya. Perang untuk memenangkan kehidupan anak cucu kita. Sebuah perang semesta, karena di dalam, kita masih menghadapi banyak petugas yang berperilaku seperti salah seorang petinggi Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kabupaten Malang, ketika menghadapi protes warga demi melihat hutannya yang gundul nestapa, namun masih tega berkata: "tanah itu kalau dibiarkan saja, ya akhirnya jadi hutan”.
Duh, Gusti Allah, dalem nyuwun pangapunten.**IBA

DESEMBER, 2008


SEPERTI tahun-tahun yang sudah, setiap Desember orang memperkirakan dan merancang. Mereka bertanya, suramkah tahun 2009? Akankah kembali ada teror? Pertumbuhan ekonomi di bawah 4,5 persen? Angka pengangguran meledak? Akankah kembali datang bencana dahsyat? Haruskah kita kembali terbelalak atas hadirnya jagal manusia?
Para peramal—bermodal statistik, astrologi, maupun ngapusi—berlomba memberi jawaban yang selalu siap untuk cacat. Pun pada seorang Ban Ki-moon, Sekjen PBB, yang di hadapan peserta konferensi ekonomi dan pembangunan, 29 November 2008, di Doha, Qatar, berujar getir, “jika tidak ditangani secara tepat, krisis keuangan akan menjelma menjadi krisis kemanusiaan di kemudian hari. Keresahan sosial dan ketidakstabilan politik akan meningkat, memperparah persoalan lainnya. Bahayanya, sebuah rangkaian krisis satu sama lain saling menghantam dengan potensi menghancurkan semua pihak.”
Kegetiran Ban sejalan dengan laporan Dewan Intelijen Nasional (NIC) dan sebangun dengan ramalan Huntington. Tiap ramalan adalah orakel. Walau kali ini—lagi—kita memasuki tahun baru—dengan pesta seru atau doa seorang diri dibekap sepi—dalam sebuah sikap yang mungkin tak terucap: sejatinya, hidup tak pernah indah, tapi berharga.
Dan, kalender pun tiba di lembar terakhir. Di jauh sana, kita pun tiba pada pangkal dari semua, benarkah harapan itu mungkin?
Takut akan kecewa, kita memainkan ironi. Begitu banyak cita-cita gagal, maka lebih baik menerima apa yang sementara. Yang penting kita tak berdusta pada diri sendiri bahwa kita memang menyukai manusia, kebersamaannya, dan lingkungannya. Kita tak mungkin akan angkat tangan bila malapetaka terjadi pada semua itu. Kita tak putus asa bahwa ada yang diperbaiki, meskipun kita tak akan sepenuhnya tahu, apa arti "baik" yang tersimpan dalam pengertian "diper-baik-i" itu. Sebab ukuran beragam, silih berganti. Bahkan titah Tuhan tak selamanya jelas; para orang pandai terus saja menulis beribu-juta buku untuk menafsirkannya.
Tahun 2009 ’kan segera jelang, kalender akan segera kita robek, dan begitu banyak hal yang kita tahu tidak beres. Tapi ironi saja tak akan membuat kita melangkah. Berpegang pada yang sementara dan titah kebaikan yang tak jelas, kita toh tetap memilih laku. Kita tak meng-harap. Kita ber-harap. Tanpa optimisme. Tapi kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya harapan: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya.
Kata Vaclav Havel, "harapan, bukanlah keyakinan bahwa hal-ihwal akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhirnya."
Havel, sastrawan, aktivis, dan juga politisi ini—ketika masih menjadi sastrawan ’penuh’—sempat menulis tentang beda harapan dengan optimisme. Tapi Havel tak menguraikan bagaimana halnya optimisme. Hanya barangkali: optimisme adalah keyakinan yang kurang-lebih utuh dan konsisten tentang masa depan. Mungkin sebab itu optimisme mengandung sikap yang gagah, tapi dapat juga berarti jumawa, dan itu berarti pongah. Sebab sebenarnya tak ada kemampuan dalam diri manusia yang secara konsisten dan utuh menangkap—bukan sekadar menduga-duga atau memperkirakan—“apa yang akan datang". Bahkan juga "apa yang lalu" pun pada "yang kini" terjadi, tak dapat sepenuhnya diketahui dan dijadikan dasar bagi tindakan. Optimisme ibarat iklan real-estate: selalu dengan cahaya benderang, cenderung menyenangkan calon pembeli, sehingga perlu ditambah ilusi, juga dusta di sana-sini, biarpun sedikit.
Dari sini kita pun tahu, ada beda yang jauh antara ber-harap dan meng-harap. Ber-harap adalah berada dalam harapan yang sudah ada. Di sini harapan bukanlah sesuatu yang disengaja dan diniatkan. Dalam ber-harap tersirat sikap yang lebih rendah hati menghadapi ruang dan waktu. Orang Islam menghubungkannya dengan taqwa. Sebuah konsep yang unik, sebab di situ sekaligus termaktub dua kecenderungan yang sebenarnya bertentangan: "pasrah" dan "tekad".
Taqwa merekatkan kedua kecenderungan itu—pasrah dan tekad—dalam "iman". Jika kita perhatikan benar, agama memang meletakkan "harapan" di pusat dirinya. Iman menghibur, meskipun sukar, walaupun sunyi. Kita diberi tahu bahwa hidup sebenarnya abadi, dan yang kekal akan datang setelah kematian. Kita diberi tahu tentang Surga, atau pencapaian rohani yang akhirnya berarti kebebasan dari kesengsaraan dunia. Bagi agama, tanpa iman, harapan menjadi mustahil.
Di abad ke-13 Santo Thomas—Thomas Aquinas—menjelaskan kenapa ”harapan” harus dibedakan dari "hasrat". Sebab katanya, harapan adalah "muskil" dan ”hasrat” tidak demikian. Harapan juga harus dibedakan dari putus asa, karena putus asa itu "mungkin". Bergerak bolak-balik dan timbul-tenggelam antara "muskil" dan "mungkin" itu, harapan membutuhkan Tuhan. "Tak ada orang yang mampu sendirian menangkap kebaikan luhur dari kehidupan abadi, ia perlu bantuan Ilahi," begitulah kata Santo Thomas. Maka ada satu hal yang berlipat dua, "kehidupan abadi ke mana kita berharap, dan bantuan Ilahi dengan apa kita berharap".
Hanya saja, gemuruh abad 21 berbeda dengan abad-abad yang sudah. Manusia abad 21 tidak lagi melihat harapan kerap bergerak terbanting-banting antara ”muskil” dan ”mungkin”. Harapan tak lagi sesuatu yang misterius, sehingga banyak orang lebih gemar berada pada posisi meng-harap dan bukan lagi ber-harap.
Dalam meng-harap, aku menghadapi masa depan sebagai sesuatu yang kukehendaki. ”Apa yang akan datang” kutarik ke arahku, dan dengan itu kuketahui dan kukuasai. Iman dan harapan tak lagi seperti apa yang dibayangkan Thomas Aquinas, tapi bertumpu pada subyektivitas yang kuat: aku melangkah ke masa depan karena sebuah kehendak, dengan kesadaran yang utuh karena sebuah niat, dengan langkah teratur dan efektif karena akal. Tuhan bersamaku: Ia membuat kehendak, niat, dan akalku menjadi bertambah dahsyat. Tuhan bersamaku: Ia hadir bukan untuk mengingatkan kelemahanku, melainkan untuk membuatku—sebagai subyek—mengatasi bagian diriku yang tak hendak ikut titah sang subyek, misalnya ketika tubuhku meriang.
Saya kira, subyektivitas yang kuat itulah yang membentuk dunia modern. Dan modernitas adalah optimisme. Dengan kehendak yang kukuh, kesadaran yang teguh, dan akal yang tajam, kemajuan pun melaju dan menderu. Dari deru itu bangkitlah sebuah masyarakat yang bagaikan tukang sihir menyulap lahan dan air menjadi sumber produksi yang megah perkasa.
Dalam ’Manifesto Komunis’, Marx dan Engels menulis, ”di tempat lahirnya modernitas—Eropa—dalam waktu tak sampai seratus tahun, telah lahir kekuatan produktif yang pejal dan lebih kolosal ketimbang himpunan hasil karya seluruh generasi sebelumnya.” Marx dan Engels juga menggambarkan tentang betapa gemuruhnya kemajuan manusia semenjak sejarah baru ini yang pada dasarnya sejarah kaum borjuis. Hanya barangkali, Marx dan Engels tidak pernah menyangka bahwa, kaum borjuasi inilah yang sampai hari ini tetap jadi penggerak optimisme, pun ketika krisis hebat melanda dan di jantung negeri kapitalis, Washington Post menurunkan artikel “The End of American Capitalism?”.
Memang ada yang membuat kita risau dalam proses itu. Ada yang menggambarkan zaman modern yang menang ini telah membentangkan jalan yang bersinar-sinar, tapi tiap cahayanya menyembunyikan petaka. Menurut Paul Krugman—The Conscience of A Liberal—selama tiga dekade kekayaan 0,01 persen orang terkaya AS bertambah 7 kali, sementara masyarakat lain hampir tak berubah, malah berkurang karena digerogoti inflasi. Tahun 1970-an, eksekutif puncak berpenghasilan 30 kali rata-rata pendapatan pegawainya. Sekarang lebih dari 300 kali. Kecenderungan yang sama terjadi di Indonesia.
Ironisnya, seperti ditulis Jean Ziegler—Les Nouveaux Maiters du Monde—semakin miskin sebuah bangsa, sering semakin mewah kehidupan dan "perilaku aneh'' segelintir elite penguasanya. Ziegler pun bercerita tentang para pejabat tinggi di beberapa negara Skandinavia yang berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor. Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paro terakhir hidup mereka.
-----------
Para cendekiawan, para pemuda progresif, para rohaniwan prihatin dan entah siapa lagi telah berulang-ulang mengecam kemajuan borjuis itu, dan mengutuk Tuan Modal sebagai sesuatu yang jahat. Teriakan itu masih keras, tapi belum ada juga yang tahu bagaimana menghentikan kapitalisme. Marx, Lenin, Mao pernah mencobanya, dan pernah sosialisme merupakan cara orang meng-harap. Sosialisme adalah optimisme. Tapi kemudian kita tahu ia gagal. Yang pandai merencanakan pembagian kue yang sama-rata tak dengan sendirinya pandai membuat kue yang cukup.
Kita pun tergoda dengan cerita dari Latin Amerika. Dan, Mark Weisbrot—Doing it Their Own Way—menulis, di sejumlah negara Amerika Latin yang telah menyingkirkan laissez-faire—Venezuela, Ekuador, Argentina, dan Bolivia—mereka mengalami sukses dalam mengurangi kemiskinan. Ekonomi Venezuela tumbuh 10 persen per tahun, dengan kemiskinan berkurang signifikan. Argentina bukan saja tumbuh 8 persen per tahun, tetapi keluar dari krisis ekonomi 2002, juga berhasil menghapuskan 8 juta orang miskin di negerinya.
Lalu apa yang tersisa, setelah halaman terakhir kalender kita robek?
Barangkali, harapan dan iman versi modernitas. Dalam arti bahwa, yang akan hadir adalah aku yang memandang "yang-akan-datang" dengan mantap, sebab aku adalah subyek yang terbangun oleh kehendak, niat, dan akal yang bertambah dahsyat karena aku punya kepastian, yakni kepastian yang diberikan agama. Masalahnya kemudian, bagaimana subyek-plus-iman yang menganggap diri dahsyat itu akan terhindar dari ilusi optimisme?
Dalam sebuah sajaknya, Iqbal—kita tahu Iqbal percara bahwa, manusia adalah Khalfah Tuhan di atas bumi dengan kemerdekaan ego-insani yang didapat dari sang Pencipta—menggambarkan dialog antara Tuhan dan manusia. Syahdan, manusia berkata, dengan bangga:
Kau buat malam, aku buat lampu
Kau buat lempung, aku bentuk cupu
Lalu Tuhan menjawab, mengingatkan manusia akan sisinya yang menakutkan:
Dari bumi kusediakan baja sentosa
Tapi kau menjadikannya pedang dan senjata
Siapa saja manusia yang mengerahkan diri untuk mengalahkan, menjinakkan apa saja yang di luar dirinya—malam, lempung, baja—pada akhirnya menobatkan diri sebagai maharaja alam: sang Khalifah menjadi berhala yang terasing.
Salah satu kekeliruan subyektivitas yang demikian perkasa ialah tak melihat bahwa harapan punya sisi lain, yakni "muskil". Kepastian tak pernah ada. Manusia, juga bila ia seorang yang dianggap dapat menjaga arah perjalanan orang beriman ke masa depan yang bukan jahiliyah, adalah makhluk dengan tubuh dan sejarah yang tak terduga.
Manusia bertindak, dan menjadi subyek, karena ia kurang.
Orang-orang alim, termasuk Thomas Aquinas, menyangka bahwa yang kurang akan dipenuhi dan yang tak terduga akan ditertibkan dan harapan akan beres dalam bimbingan ilahi. Tapi ini abad ke-21: Kita tak pernah tahu adakah Tuhan sedang "membimbing" atau kita saja yang mengkhayalkan-Nya. Tuhan, yang bahkan tak dapat dipikirkan, hanya datang meyakinkan kita di saat kita menemukan bayang-bayang-Nya—hanya bayang-bayang-Nya—dalam diri manusia yang kita temui sehari-hari. Itulah tanda bahwa manusia niscaya mulia, tapi dalam hidupnya, dalam sejarah, kemuliaan adalah sesuatu yang mustahil.
Optimisme mengabaikan ini, tapi harapan tidak: manusia adalah makhluk yang genting.***Sahabat Pena