Jumat, 09 April 2010

80 Tahun Soempah Pemoeda: MENIMBANG NASIONALISME INDONESIA KITA


KITA hidup dengan kontradiksi di tapal batas. Kini dengan cerdik dan cekatan pelbagai hal—demokrasi, lingkungan hidup, mode, buruh, komoditas, korupsi, agenda politik, terorisme—melintasi perbatasan. Tapi di sana-sini tembok nasional dibangun makin tinggi. Dunia menyempit, dunia kian sengit, dan wajar jika kita bertanya: Bisakah nasionalisme dielakkan? Haruskah?
Nasionalisme punya sejarah, punya jejak. Sebagai konsep, nasionalisme tidak muncul begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor yang berarti ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas.
Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Lalu, pada titik sejarah mana fenomena nasionalisme muncul dan apa yang menjadi materi dasar pembentuknya? Dalam kaca mata etnonasionalisme, fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith, ethnie merupakan sumber inspirasi yang mendefinisikan batas-batas budaya yang memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang.
Implikasi titik pandang ini adalah bahwa nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Namun, bila kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat kontemporer, perspektif etnonasionalisme tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti Jerman, Itali, dan Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat, Perancis, Singapura, dan Indonesia misalnya. Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik.
Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat.
Pembacaan sejarah yang demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.
Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.
Sebagai sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun, nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.
Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan.
Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial. Bukan kebetulan jika konsep Anderson sebagian besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya seminal Anderson yang dapat menjadi subyek kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat Simon Philpott, 2000).
Dalam bukunya, Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan Eropa (Partha Chatterjee, 1993).
Secara esensial nasionalisme masyarakat pascakolonial dibentuk berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. John Plamenatz (1976) membuat dikotomi antara nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Orientasi spiritualitas Timur mengilhami lahirnya Pancasila yang dilontarkan Soekarno kali pertama pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat Indonesia (Soekarno, 1955).
Jika dicermati secara kritis, ada beberapa poin yang problematis dengan klaim Soekarno di atas. Pertama, masa penjajahan 350 tahun adalah sebuah mitos (Onghokham, 2003). Mitos ini menjadi strategi retorika untuk membakar sentimen anti-Belanda saat itu. Kedua dan yang lebih penting, apakah Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous?
Dalam pidato Soekarno terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis.
Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya seperti yang diklaim Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pengamatan ini adalah bahwa penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur yang menjadi domain kedaulatan masyarakat pascakolonial menjadi problematis ketika dipakai untuk mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional. Problematis karena ketika kita mencari akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai produk "alamiah", yang kita temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (John Bowen, 1986).
Indikasi lain dapat ditemui pada salah satu elemen pembentuk nasionalisme Indonesia, yaitu budaya (aristokrat) Jawa yang diklaim sebagai akar budaya bangsa Indonesia. Klaim demikian menjadi goyah setelah kita membaca John Pemberton (1994) yang menunjukkan bagaimana budaya aristokrat Jawa itu sendiri tidak sepenuhnya bersifat lokal, melainkan terbentuk dari proses asimilasi dengan budaya Eropa selama masa kolonialisme beberapa abad. Tentu saja kita bisa mengkritik apa yang dikatakan oleh Bowen maupun Pemberton sebagai pengamatan yang mengandung bias orientalisme. Ironisnya, kita tidak memiliki bukti yang "autentik" untuk mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia dibentuk oleh warisan akar budaya lokal.
Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih kompleks dan ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pascakolonial mampu membangun autentitasnya. Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara "alami" pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.
Simpul ini tentu saja memiliki implikasi politik. Namun, ini tak berarti membatalkan bangunan nasionalisme yang telah dibangun oleh para elite nasionalis selama beberapa dekade terakhir. Hanya saja patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan nasionalisme Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis.IBA

0 komentar: