Jumat, 09 April 2010

SUMPAH


KITA tidak pernah tahu bagaimana api yang bergejolak di dada para moyang kita yang pada 28 Oktober 1928 lalu menggemakan sumpah. Sumpah tentang sebuah Indonesia. Saya juga tidak pernah tahu suasana hati Bung Karno ketika membacakan teks tentang sebuah Indonesia: Proklamasi. Kita juga tidak pernah tahu ketika anak-anak negeri belia ini nekat menantang kekuasaan tentara kolonial Belanda dengan hanya bermodalkan semangat dan sumpah: Merdeka atau Mati.
Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa, begitu kata Milan Kundera. Sebab, “setiap kebudayaan, setiap lapisan sosial, setiap abad, membangun alibinya sendiri untuk melakukan agresi,” tulis Peter Gay dalam sejarah tentang pengalaman kelas menengah Eropa, di sebuah jilid yang ia namai The Cultivation of Hatred.
Bagi Peter Gay, abad 19 adalah abad yang mengolah kebencian. Kebanggaan etnis dan kecemasan etnis dalam banyak hal tak bisa saling dibedakan, lanjut Gay.
Namun, seperti abad-abad lalu, termasuk tahun 2007 yang akan segera berlalu dan menjadi masa lalu, ia adalah sebuah teks, dan ingatan adalah sebuah tafsir. Tapi, adakah di balik teks itu tersembunyi sebuah medan magnet dan setiap tafsir tentang masa lalu itu bergerak tertarik ke arah sana? Dan siapakah yang ada di sana itu?
Dalam bacaan sejarah kita sebagai orang Indonesia, yang ada di sana adalah Tuhan, meskipun sejatinya Tuhan ada di sini. Jauh lebih dekat dari urat nadi kita sendiri.
Karena itu, jalan menemukan Tuhan. kata Gandhi, adalah dengan melihat Dia dalam ciptaan-Nya dan bersatu dengan ciptaan itu. Inilah kebenaran yang dimaksudkan Gandhi. Dan, cara bersatu, berdamai, selaras dengan alam ciptaan itu disebutnya sebagai ahimsa yang tidak hanya terbatas pada keyakinan atau sikap, melainkan merupakan suatu keseluruhan hidup yang meliputi pikiran, tindakan dan kata-kata.
Ahimsa dapat diartikan secara positif dan negatif. Dalam artian negatif, ahimsa adalah mengindari tindakan-tindakan, kata-kata, dan pikiran-pikiran yang melukai sesama. Secara positif, ahimsa berarti suatu sikap menyeluruh yang membangun cinta, berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada diri kita.
Gandhi melihat kebenaran bukan sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang konkret. Kebenaran itu menampakkan diri kepada kita sesuai dengan kondisi dan situasi kita. Manusia sebagai animal bersifat himsa, membunuh. Tetapi sebagai roh dia adalah ahimsa.
Hanya mereka yang mampu mengalahkan ketakutanlah yang sungguh-sungguh dapat memiliki ahimsa, sehingga mereka benar-benar menjadi orang yang dalam seluruh hidupnya hanya mau bepegang kepada kebenaran atau satyagraha. Ahimsa dapat dilihat sebagai dasar dan pedoman untuk bertindak, makanya satyagraha sebagai tindakan konkret bagi pecinta dan pejuang kebenaran haruslah bersifat dinamis, terus berjuang mengatasi rasa pusat diri setelah suatu perjuangan berhasil dicapai.
Pandangan Gandhi tentang ahimsa dan satyagraha juga sejalan dengan pandangan Teilhard de Chardin S.Y, tentang evolusi. Menurut Teilhard, puncak noosphere adalah cinta. Cinta merupakan daya kosmis yang paling universal dan misterius. Tanpa memahami peran cinta sebagai faktor dinamika yang secara mutlak di dalam evolusi alam semesta, maka pengertian tentang evolusi itu belum lengkap.
Cinta baru mendapat titik kesempurnaannya jika cinta itu membuka dirinya untuk dunia dan alam semesta serta umat manusia seluruhnya, jika cinta itu menjadi universal; dengan memeluk dunia, ia memeluk Tuhan. Titik. Inilah yang oleh Teilhard disebut sebagai Titik Omega. Cinta yang di hati adalah cinta sebagai energi yang selalu berkaitan dengan kearifan sebagai sikap hidup. Hal ini berarti bahwa orang membuka diri terhadap dunia dan melompat ke dalamnya. Dengan demikian, potensi cinta itu mewujud nyata. Seperti pada para pendiri negeri ini yang pada 1928 lalu, dengan cinta mereka melanggamkan sumpah:
Kami putra dan putri Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia
Sebab dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam setiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.**Sahabat Pena

0 komentar: